DULU pernah ada para pemuda luar biasa. Para pemuda belia yang menggagas kesepakatan kumpul bersama, berikrar dan berpadu dalam Kongres Pemuda II.
Pertemuan yang diselenggarakan tanggal 27-28 Oktober 1928 itu, menghasilkan satu kesepakatan yang hingga saat ini dikenal sebagai Sumpah Pemuda.
BACA JUGA: Keberhasilan Rasulullah Mendidik para Sahabat
Peserta Kongres Pemuda II ini, berasal dari berbagai wakil organisasi pemuda yang ada pada waktu itu. Di antaranya Jong Java, Jong Ambon, Jong Celebes, Jong Batak, Jong Sumatranen Bond, Jong Islamieten Bond, Sekar Rukun, PPPI, Pemuda Kaum Betawi, dan sebagainya.
Pada kesempatan ini saya tak hendak membahas isi Sumpah Pemudanya, atau latar belakang dan sisi historis heroiknya. Biarlah menjadi bagian para sejarawan atau para ahli yang menjelaskannya.
Yang ingin kita dibincangkan saat ini adalah sosok para pemudanya. Yang enerjik, semangat, berani dan tampil terdepan.
Saya kadang suka berpikir, takjub dan merenung, betapa para pemuda saat itu sangat bebeda dengan pemuda hari ini.
Bila kita mendengar organisasi tertentu, ormas, partai politik, atau (maaf) sekedar organisasi yang lebih kecil semisal dewan keluarga masjid (DKM), biasanya yang menjadi ketua ialah orang tua yang berusia di atas 40-an atau bahkan 50-an tahun.
Memang ada yang menjabat sebagai ketua di usia 30-an, tapi jumlahnya bisa dihitung jari. Apalagi yang usianya 20-an, hampir tak ada. Kecuali organisasi mahasiswa.
Tapi tidak demikian dengan pemuda yang hidup pada masa pergerakan, mereka jauh lebih dewasa dan matang cara berpikirnya.
Banyak di antara mereka yang usianya muda belia sudah menjadi motor penggerak bagi perjuangan, bagi lajunya roda negara.
Bayangkan, Kongres Pemuda yang melibatkan hampir seluruh perwakilan pemuda Nusantara, mulai dari Jawa, Sumatera, Sulawesi dan sebagainya. Yang menjadi ketua kongres adalah seorang lelaki belia berusia 24 tahun, Sugondo Djojopuspito.
Pemuda belia lainnya yang aktif dalam kongres adalah J. Leimena dari Jong Ambon berusia 23 tahun, Mohammad Roem dari Jong Islamieten Bond 20 tahun, Johanna Tumbuan dari Jong Sulawesi 18 tahun, dan Muhammad Yamin tokoh paling sentral dan pelopor kongres pemuda baru berusia 25 tahun.
Muda-muda bukan?
Mereka sudah aktif dalam pergerakan negara.
Jangankan kongres yang sifatnya kontemporer, sekelas Panglima Besar Negara yang memegang kebijakan pertahanan dan keamanan negara pun dijabat oleh pemuda 30 tahun, Jenderal Sudirman.
Gelar kiyai haji (K.H) pun demikian, pakar sejarah Ahmad Mansur Suryanegara mengatakan bahwa yang menyandang gelar tersebut bukan orang yang sudah tua, berjenggot, dan rambutnya ubanan, tapi para pemuda saat itu sudah digelari kiyai haji karena pemahaman terhadap agama sudah mumpuni dan tak diragukan lagi kiprahnya untuk masyarakat.
Misalnya usia 20 tahun, Kiyai Haji Mas Mansur sudah mendirikan Nahdlatul Wahthan (kebangkitan negeri) bersama KH Wahab Chasbullah yang saat itu berusia 28 tahun.
Usia 26 tahun, Ir. Soekarno mendirikan PNI (Partai Nasional Indonesia).
Usia 24 tahun, Muhammad Hatta menjadi ketua Indonesische Vereeniging.
Usia 30 tahun, HOS Tjokroaminoto menjadi ketua SI (Sarekat Islam) Pusat.
Tan Malaka (24 tahun) dan Semaun (18 tahun) aktif di SI Semarang.
Buya Hamka yang saat itu berusia 15 tahun, turut aktif di pergerakan Sarekat Islam.
BACA JUGA: Pemuda Bangkitlah, Seperti Pemuda di Zaman Rasulullah
Terlepas dari setuju dan tidaknya kita pada ideologi yang mereka usung dan yakini, di sini kita mengambil pelajaran. Betapa bedanya pemuda saat ini dengan masa itu.
Dengan belajar sejarah semoga kita terdorong, bangkit, dan mulai berkiprah untuk perbaikan masyarakat. Sebisanya, sesuai kapasitas kemampuan kita.
Tidak ada amal yang kecil bila dilakukan dengan baik.
رب عمل صغير تعظمه النية، ورب عمل كبير تصغره النية
“Betapa banyak amalan yang kecil menjadi besar (pahalanya) karena sebab niat. Dan betapa banyak amalan yang besar menjadi kecil (pahalanya) karena sebab niat.” (Ibnu Mubarak). []