UTSMAN bin Affan adalah sahabat Rasulullah shalallahu alaihi wasallam dan sekaligus khalifah ketiga dari Khulafa’ur Rasyidin. Lahir enam tahun setelah tahun Gajah dan beriman melalui Abu Bakar ash-Shidiq. ‘Utsman memiliki wajah yang tampan, kulitnya lembut, dan berjenggot lebat. Ia sangat pemalu hingga malaikat pun malu kepadanya.
Utsman dikenal sebagai pedagang kaya raya yang dermawan. Julukannya adalah Dzun-nurain, yang artinya memiliki dua cahaya. Karena Utsman mendapatkan kemuliaan menikahi dua putri Rasulullah yaitu ruqayyah dan Ummu Kultsum (setelah Ruqayyah wafat).
Ketika musim paceklik melanda Madinah, sumber-sumber air kering. Sulit ditemukan air bersih untuk digunakan sehari-hari.
BACA JUGA: Inspirasi Sumur Wakaf Ustman bin Affan
Tinggallah sebuah sumur milik seorang Yahudi, ketika sumber air lain kekeringan, namun sumur milik Yahudi ini tetap mengalirkan air, bahkan airnya segar dan bening, tak seperti umumnya air di Madinah yang asin.
Orang Yahudi yang memiliki sumur itu tak menyia-nyiakan kesempatan. Ia tak membolehkan penduduk Madinah mengambil air secara gratis dari sumurnya. Mereka harus membelinya.
Untuk mendapatkan air, kaum Muslim harus mengantri serta membayar air dengan sangat mahal. Melihat semua ini Rasulullah sangat kasihan, sehingga terpikir oleh beliau, andai saja sumur itu menjadi milik kaum Muslimin, tentu tak perlu membeli untuk mendapatkan airnya. Beban hidup kaum Muslimin akan berkurang karenanya.
Beliau lantas berkata kepada sahabatnya, “Wahai sahabatku, siapa saja di antara kalian yang bersedia menyumbangkan hartanya untuk membeli sumur itu, lalu menyumbangkannya untuk umat, maka sebagai gantinya adalah surga.”
Utsman bin Affan yang terkenal kaya raya di antara sahabat yang lain langsung menyatakan dirinya untuk membeli sumur milik Yahudi tersebut, “Aku akan membelinya, wahai Rasulullah.”
Utsman segera menemui Yahudi pemilik sumur Rumah itu. “Wahai Fulan, bolehkah aku membeli sumurmu?” tanya Utsman.
“Jika aku menjual sumurku, aku tidak akan memperoleh penghasilan lagi,” jawab si Yahudi.
Utsman bin ‘Affan tidak kehabisan akal. Bagaimana pun, ia ingin mendapatkan sumur itu.
“Bagaimana jika aku beli separuh dari sumurmu?” Tanya Utsman lagi.
“Apa maksudmu?” si Yahudi terheran-heran.
“Kita pakai sumur itu bergantian. Hari ini milikku. Besok milikmu, dan seterusnya. Dengan begitu, engkau tetap bisa mendapatkan penghasilan,” jelas Utsman.
Si Yahudi sangat senang. Ia akan menjual separuh sumurnya dengan harga tinggi dan ia akan tetap mendapatkan penghasilan dari sumurnya. Ia menyetujui penawaran dari Utsman bin Affan.
Setelah membeli sumur tersebut, Utsman lalu mengumumkan kepada penduduk kota Madinah Perihal kepemilikan sumurnya.
“Wahai penduduk Madinah, ambillah air dari sumur itu saat sumur itu menjadi milikku. Aku tak mengambil hak apa pun dari kalian sebagai penggantinya. Ambillah air sebanyak yang kalian mampu agar air kalian masih cukup untuk esok hari,” kata Utsman.
BACA JUGA: Besarnya Sumbangan Utsman untuk Tentara Perang Tabuk
Sejak hari itu, penduduk Madinah mengambil air sebanyak-banyaknya saat sumur itu menjadi milik Utsman bin ‘Affan. Akibatnya, saat menjadi milik si Yahudi, sumur tersebut menjadi sepi karena semua orang masih memiliki persediaan air bersih. Si Yahudi menjadi sedih karena penghasilannya berkurang. Ia pun mendatangi ‘Utsman bin Affan.
“Wahai Utsman, orang-orang kini tak mau membeli air dariku lagi. Aku mohon, belilah lagi separuh sumurku dengan harga yang sama seperti sebelumnya,” pinta si Yahudi.
Utsman bin ‘Affan menyetujui permintaan itu. la membeli separuh sumur tersebut seharga 20.000 dirham. Sejak hari itu, sumur Rumah menjadi milik Utsman bin ‘Affan sepenuhnya. Ia mengizinkan penduduk kota Madinah mengambil air dari sumur itu secara gratis termasuk si Yahudi pemilik sumur sebelumnya. []
Sumber: 77 Cahaya Cinta di Madinah/ Penulis: Ummu Rumaisha/ Penerbit: al-Qudwah Publishing/ Februari, 2015