Oleh: Rizki Lesus
Wartawan, pegiat Jejak Islam untuk Bangsa
ADA akar sejarah sangat kuat antara Mesir dan Indonesia. Teringat kisah utusan Indonesia—yang saat itu belum dikenal dan belum diakui internasional—yang ditanya “Are you Moslem?” ketika tiba di Mesir tahun 1947. Dengan serempak mereka menjawab “Yes”.
Lalu petugas berkumis Bandara itu bilang “Well, then, Ahlan Wa Sahlan, Welcome!” dan H. Agus Salim, AR Baswedan, Mr Nazir dan Prof Rasjidi lewat begitu saja tanpa diperiksa petugas bersiap menghadap perdana menteri Mesir, dan Raja Farouq. Dengan pakaian sederhana. 3 bulan lamanya mereka bernegosiasi, menjelaskan tentang Indonesia ke wartawan-wartawan, mencari dukungan, dan lain-lain.
Nama Indonesia sayup-sayup muncul menghiasi media di Mesir. Hingga pada suatu malam mereka bertemu Raja Farouq dan raja berkata “Karena persaudaraan Islam-lah, terutama, kami membantu dan mendorong Liga Arab untuk mengakui kedaulatan Bangsa Indonesia.”
Tanggal 10 Juni 1947, jam 9.00 para delegasi RI tiba di ruang Kemenlu Mesir, sekaligus PM Mesir Nokrashi Pasha. Namun mereka menunggu sekitar setengah jam, dan tiba-tiba keluar seorang—duta Besar Belanda—dari ruang PM Mesir. Belanda memprotes Mesir karena akan mendukung Indonesia.
Dengan tegas, PM Mesir bilang, “Menyesal sekali kami menolak Tuan, sebab Mesir selaku negara berdaulat, dan sebagai negara yang berdasarkan Islam, tidak bisa membiarkan perjuangan bangsa Indonesia yang beragama Islam.”
Detik-detik itu digambarkan oleh AR Baswedan sangat mengharukan tak terlukiskan dengan kalimat. “Lega dan syukur kepada Allah, karena Republik Indonesia pada akhirnya mendapat pengakuan De Jure dalam dunia Internasional,” katanya.
Bulir-bulir bening air mata membasahi pipi para delegasi. Bergetar tangan H. Agus Salim menandatangani perjanjian persahabatan antara RI dan Mesir 10 Juni itu. Kairo menjadi saksi, bahwa di sanalah, tonggak RI dikenal, bahkan suaranya mulai didengar.
29 Juni, Libanon mengakui kedaulatan RI, satu per satu pengakuan berdatangan. Pupus harapan Belanda yang menandatangani perjanjian Linggarjati pada Maret 1947, bahwa nanti akan membentuk Indonesia Serikat, akan dikuasai Belanda. Pengakuan Mesir telah menghancurkan harapan tersebut. Tak lama, Juli 1947 Belanda melancarkan Agresi pertama. Dengan dukungan Internasional, RI saat itu bisa bersuara di PBB, hingga diinisiasi perundingan Renville—oleh PBB—yang akhirnya dilanggar Belanda sendiri pada Agresi Militer Belanda II.
Kini, Mesir kembali bergejolak. Ikatan batin itu mungkin terasa samar-samar. Kalau awal tahun 1947, Abdul Mun’im (diplomat Mesir) datang bertaruh nyawa -menyelinap- menembus blokade Belanda, menyewa pesawat dari Singapura ke Yogyakarta bertemu Soekaeno, Sri Sultan, untuk shalat Jumat.
Surat yang dibawa AR Baswedan, penandatangan pengakuan kedaulatan, yang sendirian ia bawa kembali ke Indonesia bertaruh nyawa, surat cinta ini melebur hingga RI dapat tegak, tempat kita berdiri sekarang. []