Oleh: KaysaVha
Penulis Tinggal di Majalengka, Vha.afeevha30@gmail.com
Aku, menulis ini dengan hati yang remuk.
Sedih saat harus menyaksikan ke-istiqomah-an ditanggalkan.
Perih melihat kenyataan saudara sendiri yang melakukan.
Yang tadinya berkerudung lebar, sekarang perlahan dipendekkan.
Yang tadinya anggun bergamis ria, sekarang celana jadi keseharian.
Yang tadinya kaus kaki jadi teman setia, sekarang dilupakan begitu saja.
Yang paling sedih itu, saat yang tadinya memesona bepakaian ‘kamilah’ (berpakaian muslimah lengkap; sempurna –pen), sekarang terbuka tanpa ampun.
Tanpa bersalah, berselfie ria membuka aurat, upload…
Yang tadinya terjaga kehormatannya, kini jadi tak tentu arah mempertahankan ego dan nafsu.
Innalillah, semoga itu bukan kamu, juga bukan aku…
Dan kita selaku saudaranya, bukannya mengingatkan, malah ikut like postingan selfie-nya. Ck!
Bukankah like itu berarti suka? Pertanda dukungan?
Saudaramu yang dalam keadaan terpeleset dan butuh uluran tangan darimu, lalu kau malah mendukungnya? Saudara macam apa itu?
Kau tahu?
Like yang kau berikan itu akan membuat dia bangga melakukan kesalahannya. Akan merasa benar dengan apa yang dilakukannya. Sehingga dia akan mengulanginya lagi dan lagi. Apa itu maumu?
Ada lagi, yang ketika diingatkan, dia malah merasa benar. Padahal dia tahu itu salah, ayat tentang perintah menutup aurat pun sudah sampai padanya. Lalu, apa sebenarnya yang dia inginkan?
Sedih? Iya.
Perih? Sangat.
Kecewa? Tentu.
Benarlah kiranya, istiqomah itu mahal harganya. Pun memang benar melaksanakan ketaatan itu seperti menggenggam bara api. Pantas saja Rosul menyuruh kita menggigitnya dengan gigi geraham. Berharap dengan cengkraman kuat geraham, iman kita senantiasa teguh dan istiqomah kita tidak goyah.
Dan, Sholihah, Allah itu Maha membolak balikkan hati. Siapa tahu suatu saat aku, saudaramu, ikut terpeleset dalam jurang maksiat. Tidak ada yang tahu, bukan?
Maka, tolong ingatkan aku!
Raih aku!
Mari kita sama-sama genggam erat bara itu! Pegang bersama-sama, saling membahu. Tanpa diingatkan kita akan merasa selalu benar. Tanpa disemangati, rasa lelah dan keluh kesah akan senantiasa menggerogoti. Sama-sama kita berdo’a, karena tanpa Allah kita bukan apa-apa.
Semoga kita senantiasa diberikan keistiqomahan itu, dan senantiasa dianugerahi rasa condong pada kebenaran. Aamiin Allahumma Aamiin…
Untukmu yang dalam keadaan khilaf, mari kita perbaiki semuanya selagi bisa.
Dan untukmu saudariku, ingatkan aku saat pada akhirnya aku yang tersesat. Mari kita saling menguatkan. Tanpamu apa artinya aku.
Uhibbukunna fillah… []
Bumi Allah, 05122017