ABU Ubaidah bin Jarrah gundah. Ada perintah dari orang yang sangat dihormati kaum Muslimin. Juga olehnya. Umar bin Khattab. Sang amirul mukminin memerintahkannya untuk keluar dari negeri Syam.
Tujuan Umar sangat jelas, ia ingin gubernur kepercayaannya jangan sampai tertular oleh wabah sampar yang sangat ganas. Syam waktu itu memang sedang didera penyakit mewabah ini.
“Aku memiliki keperluan yang tak boleh engkau wakilkan kepada siapapun kecuali engkau sendiri yang mendampingiku di sini,” tulis Umar dalam suratnya. “Jika surat ini sampai di tanganmu pada malam hari, segeralah berangkat tanpa menunggu pagi. Dan jika surat ini sampai di tanganmu pada siang hari, segeralah berangkat tanpa menunggu malam tiba.”
Mendapat surat perintah tersebut, Abu Ubaidah tidak berangkat ke Madinah. Ia hanya mengirimkan sebuah surat jawaban.
“Wahai Amirul Mukminin,” demikian isi surat tersebut dibaca oleh Umar bin Khattab, “aku telah memahami keperluan Anda. Namun aku sedang berada di tengah-tengah kaum muslimin yang sedang ditimpa malapetaka di Syam ini. Tak pantas bagiku menyelamatkan diri sendiri. Aku tak mau meninggalkan mereka hingga Allah menetapkan takdirNya atas diriku dan mereka. Jika surat ini sampai di tangan Anda, bebaskanlah aku dari perintahmu dan izinkan aku tetap tinggal di Syam ini.”
Usai membaca surat tersebut, Umar bin Khattab menangis tersedu-sedu. Sebagian sahabat bertanya,
“Apakah Abu Ubaidah wafat wahai Amirul Mukminin?”
“Tidak… namun kematian itu telah dekat kepadanya,” jawab Umar bin Khattab, masih dengan mata sembab. Basah oleh air mata.
Dugaan Umar benar. Tak lama setelah itu tersiar kabar bahwa Abu Ubaidah wafat tertular sampar. []