Oleh: Ratna Dewi Idrus
Penulis, Ibu Rumah Tangga
SUATU hari saya hendak mengambil helm di laundry. Sesaat setelah memberikan nota yang sudah dibayarkan pada karyawan, perhatian saya tertuju pada seorang anak laki-laki kecil yang berusia kurang lebih tiga tahun. Wajahnya putih dengan rambut sedikit ikal. Di samping anak itu berdiri seorang wanita yang sedang sibuk menyetrika.
Bocah laki-laki kecil itu saya pandangi wajahnya. Memandang wajah anak-anak selalu membuat hati bahagia, menyejukkan dan memberi kedamaian, membuat kita selalu tersenyum melihat tingkah polahnya.
“Ada uang logam di mulutnya, Bu!” ucap saya pada wanita itu.
Kontan ibu itu mengambil paksa uang logam yang ada dalam mulut sang anak hingga anaknya meringis kesakitan.
Ya Allah, wajah bocah kecil itu mencebik, ekspresi hendak menangis menahan kesakitan, sedang air mata sudah menggenang di pelupuk matanya. Melihat pemandangan itu saya tak tega, entahlah, mengapa saya sensitif sekali.
“Nggak apa-apa ya, sayang. Jangan nangis ya, Ibu kan nggak sengaja…” hibur saya pada anak itu, sembari melihat ekspresi wajahnya yang tak kunjung hilang, masih mencebik menahan sakit.
“Ibu, tolong anaknya jangan dikasari, kasihan… ” ucap saya, buru-buru berlalu setelah mengucap terima kasih pada karyawan yang mengambilkan helm saya. Tak tahan menahan air mata yang mau tumpah, sekelebat saja saya teringat Yahya, anak lelaki saya yang berusia hampir dua tahun. Apakah ini namanya naluri keibuan yang Allah ilhamkan kepada setiap perempuan?
Sahabatku mungkin pernah mengalami dan merasakan hal yang sama seperti saya. Pun demikian pula ibu sang anak, jika beliau melihat ekspresi wajah anaknya tadi. Pasti beliau menyesal telah memperlakukan anaknya seperti itu.
Dan saya pun, juga bukanlah ibu yang sempurna dalam bersikap terhadap anak, pernah khilaf, ibarat menonton kembali adegan film yang kita mainkan tidak dengan penuh penjiwaan menurut skenario Allah. Andai waktu bisa diputar, tentunya kita ingin mengubah dan memperbaiki sikap kita padanya. Apalagi saat adegan film itu dikisahkan kembali oleh anak, penyesalan itu tentunya semakin tak berujung.
“Bagaimanakah menghilangkan kekeruhan dalam jiwa anak akibat renggutanmu yang kasar?” tanya Rasul pada Ummu al-Fadhl, ketika bayinya yang digendong Rasulullah, tiba-tiba buang air kecil dan mengenai pakaian Rasul.
Baca Juga: Bangun Hidup Baru, Pemuda Suriah Buka Restoran Kecil di Gaza
Segera Ummu al-Fadhl merenggut secara kasar bayinya dari gendongan Rasul. Melihat hal itu, Rasul menegurnya, “Pakaian yang basah ini dapat dibersihkan dengan air, tetapi bagaimana menghilangkan kekeruhan dalam jiwa anak akibat renggutanmu yang kasar?”
Seakan hadits ini menyindir kita, jika berani bersikap kasar pada anak, maka orang yang paling membela anak kita dan menegur kita adalah Rasulullah Saw sendiri. Rasulullah begitu penyayang, hatinya lebih lembut dari perempuan, beliau sangat menghargai anak kecil.
Suatu ketika Rasulullah diberi air minum. Di samping kanan beliau ada anak kecil bernama al-Fadhl bin al-Abbas, dan di samping kiri beliau ada orang-orang dewasa. Jika bergiliran, secara adab harus dilakukan dari sebelah kanan terlebih dahulu. Maka, Rasulullah bertanya pada anak kecil yang berada di sebelah kanannya. “Apakah engkau mengizinkan saya memberi minum mereka terlebih dahulu?”
Tanpa terduga anak kecil itu menjawab, “Tidak, wahai Rasulullah.” Kata anak kecil itu, “Aku tidak akan mengutamakan siapa pun sebelum aku mendapat bagianku darimu.” Rasulullah pun menyerahkan air minum itu padanya.
Kisah-kisah itu menyadarkan kita untuk bersikap baik dan menghargai anak-anak.
Setiap perempuan, pastilah sangat menyayangi anak-anaknya. Bukankah Allah ciptakan rahim dan dominan perasaan pada dirinya agar ia punya rasa kasih sayang? Jikalau rasa sayang itu terkalahkan dengan amarah atau sikap yang tidak semestinya pada anak-anak, boleh jadi saat itu perempuan atau ibu sedang lelah, lelah bekerja mencari tambahan uang untuk kebutuhan dapur dan anak-anak, lelah berfikir karena beragam persoalan dan aktivitas kesibukan, ataupun jenuh yang melanda karena rutinitas yang dihadapi sehari-hari.
Namun jikalau kita lebih teliti menyadari, di manakah letak surga itu? Yang membuat hati selalu bahagia, menggairahkan jiwa hingga membangkitkan semangat untuk hidup? Ya, saat-saat kita masuk ke dalam dunia anak-anak, melihat wajah-wajah polos mereka dengan segala tingkah polahnya. Mereka adalah surga yang terkadang luput dari kita.
Tulisan ini sungguh pertama-tama untuk mengingatkan pada diri saya sendiri; sebenarnya apa tujuan Allah menciptakan kita sebagai perempuan? Dan pada akhirnya sebutan ‘ibu’-lah jabatan tertinggi untuk kita.
Jikalau Allah telah memuliakan kita dengan mengabadikan nama kita “perempuan” dalam salah satu surat-Nya, “An-Nisaa.” Jikalau Rasul telah bersabda kita adalah sebaik-baik perhiasan di dunia ini dan sekolah terbaik untuk anak-anak, seakan semua pernyataan itu telah membentuk kepribadian kita bagaimana seharusnya kita bersikap.
Jikalau alasan kita kurang memperhatikan anak-anak karena harus bekerja mencari tambahan penghasilan untuk keluarga, apalah arti kita dibandingkan bunda Hajar yang harus berjuang seorang diri menghidupi buah hatinya Ismail yang kelak menjadi Nabi? Demikian pula perjuangan Bunda Fathimah, yang telah melahirkan imam Syafi’i, yang banyak berjasa meletakkan dasar-dasar ushul-fiqih, padahal mereka hidup dalam kemiskinan, namun hatinya dan bunda-bunda hebat itu tak pernah miskin dalam mendidik anak-anak hingga tumbuhlah anak-anak yang cemerlang, begitu baik akhlaknya dan sangat menghargai orang lain khususnya kaum perempuan.
Saat ini, jikalau kita dapati ada laki-laki yang tidak menghargai perempuan, di mana mereka bersikap tidak santun dalam berakhlak ataupun bertutur kata, bahkan ada yang tanpa malu-malu melampaui batas, menganggap perempuan bisa dipermainkan. Mungkin, ada yang salah dalam sikap kita, lebih memperhatikan kecantikan wajah daripada kecantikan hati kita sendiri, lebih memilih dunia daripada akhirat kita untuk menjadi pendidik, yang seutuhnya sudah dibentuk menjadi perempuan atau ibu yang patut dihargai dengan kedudukan yang begitu tinggi di bumi ini.
Akhir kata, banyak yang berharap pada kita untuk menjadi baik, karena baik buruknya dunia ini tergantung pada kita, perempuan! []