Oleh: Yus Firdaus
Suasana kota ini memang asyik, romantis dan penuh kenangan, aku jatuh cinta untuk pertama kali disini.
Perempuan itu memegang pinggangku erat, ada getar ketakutan, aku mengusap tangannya lembut, mencoba menenangkan, baru tersadar memacu kendaraan terlalu kencang… segera aku melepaskan gas perlahan.
“Kita sudah sampai…” aku menggandeng tangannya, dia memandangku, mata yang indah penuh dengan kenangan cinta, sorot yang sayu menyimpan beribu cerita kasih… dia tersenyum manis.
“Aku sayang padamu…” aku mengucapkannya dalam hati, tidak, aku tidak pernah kuasa menzaharkan kata itu keluar dari mulutku, hanya dalam hati.
BACA JUGA: Ummu Haram Dinikahi Seorang Lelaki yang Setara dengan Seribu Lelaki
Dia terlihat senang dan menikmati suasana hangat kota ini, kota yang menyimpan berjuta kenangan baginya, tidak kuasa aku ingin seperti dulu, tidur dipangkuannya sementara dia mengusap rambutku dengan cinta, tapi aku tidak melakukannya hanya membiarkannya duduk bersimpuh sendiri.
Lembayung senja masih seperti dulu, memberi semangat untuk masa depanku dibalik cahayanya, dibalik mega yang tidak pernah kuasa memutihkan langit yang tetap saja menguning.
”Dulu kita sering kemari, berbagi cerita dan saling mencurahkan isi hati”, dia tidak mengajakku berbincang hanya berbicara dengan waktu, dengan kenangan dalam pikirannya.
BACA JUGA: Wasiat Seorang Ibu untuk Putrinya yang Telah Menikah
“Kita sering kesini setiap pekan, aku, dia dan kamu, kamu tidak pernah tenang membiarkan kita berdua bercengkrama, selalu mencuri perhatian” dia tersenyum, namun bibirnya bergetar.
“Kau ingat…?”, kali ini dia memandangku.
Aku mengangguk…
“Sekarang hanya kau kenangan dari masa lalunya”, dia menunduk tidak kuasa menahan embun dari matanya yang indah, embun itu akhirnya meleleh membasahi wajah cantiknya, dia menangis halus.
Aku menghampirinya, memeluk tubuhnya, menggenggam jemarinya, mengusap air mata dari pipi keriputnya, dan menangis dipangkuannya.
Aku terlalu banyak berkata cinta untuk kekasihku namun tidak untukmu, aku menyayangi anakku tapi aku melewatkanmu, aku selalu pergi dan membiarkan dirimu menyendiri, memenjaramu dengan masa lalu, tentang masa kecilku dan masa mudamu bersama cinta sejatimu, aku terlalu sering tertawa disela tangismu, aku terlalu banyak meluangkan waktu untuk kesenanganku diantara do’a-doamu.
Padahal kau mewariskan begitu banyak cinta untukku.
“Maafkan aku, Ibu….” Aku masih saja berbisik….