SELEPAS tiga hari bersembunyi di Gua Hira’, Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam, dan Abu Bakar melanjutkan perjalanan menuju Madinah. Mereka ditemani dua sahabat yang lain, yaitu Amir bin Fuhairah dan Abdullah bin `Uraiqith. Mereka berempat berjalan dengan menyusuri padang pasir dan tebing-tebing terjal. Abdullah sebagai penunjuk jalan, memilih jalan yang jarang dilalui, agar terhindar dari kejaran kaum Quraisy.
Sesampainya di sebuah perkampungan bernama Khuza’ah, Rasulullah dan ketiga sahabatnya kehausan dan kelaparan. Beruntung, mereka melihat sebuah kemah di kejauhan. Mereka segera menuju ke sana. Rupanya, kemah itu milik Ummu Ma’bad. Wanita tua itu sengaja mendirikan kemah di tengah gurun untuk menjual makanan dan minuman bagi para mesafir.
“Bu, adakah makanan dan minuman yang dapat engkau sediakan untuk kami?” tanya Rasulullah.
BACA JUGA: Sifat Ihsan Anak Kecil Penggembala Kambing
“Oh, maaf, Tuan. Daging dan susu kambing kami baru saja dibawa suami saya untuk dijajakan pada para kafilah,” jawab wanita itu.
Di saat yang sama, Rasulullah melihat seekor kambing kurus yang ditambatkan di samping kemah.
“Wahai Ibu, bolehkah kami memerah susu dari kambingmu itu?” tanya Rasulullah.
Ummu Ma’bad memandang kambingnya sejenak, lalu memandang Rasulullah. Karena ia tak yakin dengan kambing kurusnya tersebut. Baginya tak mungkin kambing kurusnya tersebut akan mengeluarkan air susu.
“Tuan, kambing itu sangat kurus dan sudah tidak menghasilkan susu,” jawab Ummu Ma’bad jujur.
“Tidak apa-apa, Bu. Bolehkah kami memerahnya?” tanya Rasulullah lagi.
“Jika Tuan merasa dapat memperoleh susu darinya, silakan!” jawab Ummu Ma’bad.
Rasulullah kemudian melepas kambing itu. Beliau mengusap puting susu kambing itu seraya berdoa sebelum memerahnya. Atas kuasa Allah Subhanahu wa ta’ala, kambing kurus itu mengeluarkan banyak susu. Rasulullah menaruhnya ke dalam mangkuk, lalu memberikannya kepada Ummu Ma’bad dan ketiga sahabat.
Setelah semuanya kenyang, barulah beliau minum. Kemudian Rasulullah memerah satu mangkuk lagi. Ummu Ma’bad menerimanya dengan terbengong-bengong. Ia masih tak percaya kambing kurusnya menghasilkan banyak susu.
“Berikan susu ini kepada suamimu nanti, Bu,” sabda beliau.
“Ya…, ya, Tuan,” jawab Ummu Ma’bad gugup, karena masih belum percaya dengan apa yang dilihatnya.
Usai melepas dahaga, Rasulullah dan ketiga sahabatnya pun berpamitan. Tinggallah Ummu Ma’bad sendirian.
Namun tak lama kemudian, suaminya pulang. Ia terkejut mendapati semangkuk susu untuknya.
“Dari mana kaudapatkan susu ini, sedangkan tak seekor pun kambing kita yang mengeluarkan susu?” tanyanya.
Ummu Ma’bad lantas menceritakan kejadian aneh yang baru dialaminya.
BACA JUGA: Keberkahan Daging Kambing
“Bagaimana ciri-ciri orang itu, Istriku?” tanya Abu Ma’bad penasaran.
“la seorang laki-laki yang tampan dan gagah. Tuturnya katanya lembut namun berwibawa. Wajahnya bercahaya seperti rembulan, seluruh alam seolah terang karenanya. Tingkah lakunya sangat sopan, hatinya begitu lembut. Jika dia berbicara, ketiga temannya selalu menurutinya. Rambut dan alisnya tebal, serta matanya bercelak,” jawab Ummu Ma’bad.
“Beliau pastilah Rasulullah, Muhammad SAW. Beliau adalah orang Quraisy yang dikabarkan menjadi utusan terakhir. Sejak lama aku ingin bertemu dan mengikutinya,” kata Abu Ma’bad.
“Kalau begitu, kita berangkat sekarang, Suamiku.” kata Ummu Ma’bad.
Maka, kedua orang itu segera bersiap mengejar Rasulullah dan ketiga sahabat ke Madinah. Di sana, mereka bertemu Rasulullah dan menyatakan masuk Islam. []
Sumber: 77 Cahaya Cinta di Madinah/ Penulis: Ummu Rumaisha/ Penerbit: al-Qudwah Publishing/ Februari, 2015