MEMAKAI garis sebagai sutrah, merupakan perkara yang diperselisihkan oleh para ulama’. Akan tetapi yang rajih ( kuat ), adalah boleh. Dan ini merupakan pendapat jumhur ulama’ ( mayoritas ulama’ ) dari Asy-Syafi’iyyah, Al-Hanabilah, dan para ulama’ belakangan dari kalangan Al-Hanafiyyah. [ Lihat “Al-Mausu’ah Al-Kuwaitiyyah” : 24/180 ].
Telah diriwayatkan dari Abu Huroiroh –rodhiallohu ‘anhu- beliau berkata, Rosulullah-shollallahu ‘alaihi wa sallam- bersabda :
إِذَا صَلَّى أَحَدُكُمْ، فَلْيَجْعَلْ تِلْقَاءَ وَجْهِهِ شَيْئًا، فَإِنْ لَمْ يَجِدْ فَلْيَنْصِبْ عَصًا، فَإِنْ لَمْ يَجِدْ فَلْيَخُطَّ خَطًّا، ثُمَّ لَا يَضُرُّهُ مَا مَرَّ بَيْنَ يَدَيْهِ”
“Apabila salah seorang diantara kalian sholat, hendaklah dia menjadikan sesuatu ( sebagai sutrah ) di hadapannya. Jika tidak mendapatkan, hendanya dia menancapkan tongkat, jika tidak mendapatkan ( tongkat ) hendaknya dia membuat garis kemudian apa yang lewat di hadapannya tidak akan memudhorotkannya.”
BACA JUGA: Bagaimana Mencegah Orang yang Berjalan di Depan Kita ketika Shalat?
Hadits di atas telah diriwayatkan oleh Abu Dawud : ( 2/96 : 943 ), Ibnu Majah : ( 943 ), Ahmad : ( 7392 ), Ibnu Hibban : ( 2361 ), Al-Baihaqi dalam “Al-Kubro” : ( 2/270 ) dan yang lainnya. Semuanya dari jalan : Ismail bin Umayyah dari Abu Amer bin Muhammad bin Amer bin Huraits, dari kakeknya Huraits bin Sulaim, dari Abu Huroiroh…dengan lafadz hadits di atas.
Hadits ini memiliki dua cacat :
1). Abu Amer bin Muhammad bin Amer bin Huraits seorang rowi yang majhul ( tidak dikenal ).
2). Telah terjadi idhthirab ( kegoncangan ) di dalam sanadya. Terkadang dikatakan: Dari Abu Amer bin Muhammad bin Amer bin Huraits dari kakeknya, terkadang dikatakan: dari Abu Muhammad bin Amer bin Huraits dari kakeknya, terkadang dikatakan : dari Abu Amer bin Huraits dari bapaknya.
Namun, sebagian dari para imam ahli hadits menghasankan riwayat ini. Diantara mereka adalah : Ahmad bin Hambal, Ibnul Madini (sebagaimana dinukil oleh Ibnu Abdil Barr dalam “Al-Istidzkar”), Abdul Haq Al-Isybili, Ibnu hibban Al-Busti, Ibnu hajar Al-Asqolani dalam “Bulughul Maram”, dan selain mereka.
Dan penilaian hasan mereka terhadap hadits di atas tidak bisa dianggap enteng. Karena mereka adalah para gunung-gunug besar di dalam ilmu hadits. Bahkan mereka adalah para “amirul mukmin fil hadits” (pemimpin kaum muslimin dalam bidang ilmu hadits).
[ Simak kitab : “Al-Badrul Munir” karya Ibnu Mulaqqin Asy-Syafi’i Al-Mishri ( wafat : 804 ) : 4/202, Khulashotul Ahkam karya An-Nawawi : 1/520, At-Talkhish Al-Habir karya Ibnu Hajar 8/823 dan yang lainnya ].
Tahsin (penghasanan) para ulama’ terhadap hadits di atas tidak boleh dianggap enteng. Karena mereka adalah para ahli hadits di zamannya. Mereka bukanlah orang sembarangan. Mungkin dasar mereka, apa yang telah diriwayatkan oleh Abu Dawud ( 690 ) dari jalan : Ali bin Al-Madini, dari Sufyan bin Uyainah, dari Ismail bin Umayyah, dari Abu Muhammad bin Amer bin Huraits dari kakeknya dari Abu Huroiroh.
Ibnul Madini berkata : “Aku berkata kepada Sufyan : Sesungguhnya mereka berbeda pendapat tentang ( rawi ini, yaitu : Abu Amer atau Abu Muhammad ). Maka beliau berfikir sejenak, kemudian berkata : Aku tidak hafal kecuali Abu Muhammad bin Amer.” [ Lihat : Tahqiq Asy-Syaikh Syu’aib Al-Arnauth terhadap Sunan Ibnu Majah : 2/97 ].
Seandainya kita anggap hadits ini dhoif secara sanad, akan tetapi kandungan makna yang ada di dalamnya shohih. Tidak semua hadits yang dhoif ( lemah ) secara sanad periwayatan, berarti dia lemah secara makna.
Oleh karena itu, Al-Imam Al-Baihaqi –rohimahullah- berkata tentang hadits di atas :
وَلَا بَأْس بِالْعَمَلِ بِهَذَا الحَدِيث فِي هَذَا الحكم إِن شَاءَ الله
“Tidak mengapa untuk mengamalka hadits ini ( maksudnya hadits tentang sutrah berupa garis yang telah kami sebutkan di atas ) dalam hukum ini insya Alloh.” [ Sebagaimana dinukil oleh Al-Imam An-Nawawi dalam kitab “Khulashotul Ahkam Fi Muhimmatis Sunan Wa Qowa’idul Ahkam : 1/520 ].
Setelah menyebutka perkataan Al-Imam Al-Baihaqi di atas, Al-Imam An-Nawawi –rohimahullah- mengomentari dengan berkata :
وَهَذَا الَّذِي يختاره هُوَ الْمُخْتَار
“Dan pendapat ini yang dipilih oleh beliau ( Al-Imam Al-Baihaqi ), adalah pendapat yang terpilih.” [ Khulashotul Ahkam Fi Muhimmatis Sunan Wa Qowa’idul Ahkam : 1/520 ].
Al-Imam An-Nawawi –rohimahullah- berkata di tempat yang lain :
وَالْمُخْتَارُ اسْتِحْبَابُ الْخَطِّ لِأَنَّهُ وَإِنْ لَمْ يَثْبُتْ الْحَدِيثُ فَفِيهِ تَحْصِيلُ حَرِيمٍ للمصلي ……..وَمِمَّنْ جَزَمَ بِاسْتِحْبَابِ الْخَطِّ الْقَاضِي أَبُو حَامِدٍ الْمَرْوَزِيُّ وَالشَّيْخُ أَبُو حَامِدٍ وَالْقَاضِي أَبُو الطَّيِّبِ وَالْبَنْدَنِيجِيّ وَأَشَارَ إلَيْهِ الْبَيْهَقِيُّ وَغَيْرُهُ قَالَ الْغَزَالِيُّ وَالْبَغَوِيُّ وَغَيْرُهُمَا وَإِذَا لَمْ يَجِدْ شَاخِصًا بَسَطَ مُصَلَّاهُ
“Pendapat yang terpilih, dianjurkannya ( menggunakan ) garis ( untuk sutrah sholat ). Karena sesungguhnya walaupun haditsnya lemah, ( akan tetapi ) telah terwujud adanya tempat yang harus dijaga oleh orang yang sholat.…..termasuk yang telah memastikan akan dianjurkannya garis ( sebagai sutrah sholat ), adalah Al-Qodhi Abu Hamid Al-Marwazi, Asy-Syaikh Abu Hamid, Al-Qodhi Abu Thoyyib, Al-Bandaniji, serta telah diisyaratkan ( akan bolehnya hal ini ) oleh Al-Baihaqi dan selainnya. Al-Ghozali, Al-Baghawi, dan selain keduanya telah berkata : “Jika seorang tidak mendapatkan sesuatu yang bisa dijadikan tanda yang jelas untuk sutrah, maka dia boleh menggelar sajadah/tikar kecil miliknya.” [ Majmu’ Syarhul Muhadzdzab : 3/248 ].
Maksud dari ucapan Al-Imam An-Nawawi –rohimahullah- di atas, bahwa seorang yang yang menggunakan garis untuk sutrah dalam sholatnya, telah terwujud isyarat dan tanda daerah yang terlarang untuk dilewati. Sebagaimana hal ini juga sudah terwujud dengan sajadah atau tikar kecil.
Asy-Syaikh Abdul Aziz bin Baz –rohimahullah- berkata :
الصلاة إلى سترة سنة مؤكدة وليست واجبة فإن لم يجد شيئا منصوبا أجزأه الخط………وقوله صلى الله عليه وسلم: «إذا صلى أحدكم فليجعل تلقاء وجهه شيئا فإن لم يجد فلينصب عصا فإن لم يجد فليخط خطا ثم لا يضره من مر بين يديه (1) » . رواه الإمام أحمد وابن ماجه بإسناد حسن، قاله الحافظ ابن حجر في (بلوغ المرام) .
BACA JUGA: Dilewati Orang Ketika Shalat, Mengurangi Pahala?
“Sholat dengan menghadap ke sutrah, hukumnya sunnah yang ditekankan akan tetapi tidak sampai derajat wajib. Maka jika seorang tidak mendapatkan sesuatu yang dia tancapkan, maka garis telah mencukupi baginya. Nabi shollallahu ‘alaihi wa sallam- bersabda : “Apabila salah seorang diantara kalian sholat, hendaklah dia menjadikan sesuatu ( sebagai sutrah ) di hadapannya. Jika tidak mendapatkan, hendanya dia menancapkan tongkat, jika tidak mendapatkan ( tongkat ) hendaknya dia membuat garis kemudian apa yang lewat di hadapannya tidak akan memudhorotkannya.” Diriwayatkan oleh Ahmad dan Abu Dawud dengan sanad yang hasan, sebagaimana telah dinyatakan oleh Al-Hafidz Ibnu Hajar dalam Bulughul Maram. [ Majmu’ Fatawa Asy-Syaikh Bin Baz : 11/96 ]
Simak juga penjelasan Asy-Syaikh bin Baz –rohimahullah- yang lebih detail akan bolehnya sutrah dengan garis di kitab : Fatawa Nur ‘Alad Darb : ( 9/318 ).
Asy-Syaikh Muhammad bin Sholih Al-Utsaimin –rohimahullah- berkata :
السترة في الصلاة سنة مؤكدة إلا للمأموم، فإن المأموم لا يسن له اتخاذ السترة اكتفاءً بسترة الإمام.فأما مقدارها فقد سئل النبي صلى الله عليه وسلم عنها فقال: ((مثل مؤخرة الرحل)) .لكن هذا أعلاها ويجزء ما دون ذلك فقد جاء في الحديث: ((إذا صلى أحدكم فليستتر ولو بسهم)) . وجاء في الحديث الآخر الذي رواه أبو داود بإسناد حسن ((أن من لم يجد فليخط خطّاً)) قال الحافظ ابن حجر في بلوغ المرام . لم يصب من زعم أنه مضطرب، فالحديث ليس فيه علة توجب رده. فنقول: أقلها خط، وأعلاها مثل مؤخرة الرحل.
“Sutrah hukumnya sunnah mu’akkadah kecuali bagi makmum. Karena makmun tidak disunnahkan untuk mengambil sutrah karena telah cukup dengan sutrah imam. Adapun ukurannya, maka nabi –shollallahu ‘alaihi wa sallam- telah ditanya tentangnya : “semisal kayu yang diletakkan di punggung hewan tunggangan’. Akan tetapi ini, ukuran tingginya ( maksudnya : idealnya. -pentj- wallohu a’lam- ) dan apa yang dibawah itu telah mencukupi. Telah datang dalam sebuah hadits : “Apabila salah seorang dari kalian sholat, hendaknya dia bersutrah walaupun dengan anak panah.” Telah datang dalam hadits yang lain yang diriwayatkan dari Abu Dawud dengan sanad yang hasan : “sesungguhnya seorang yang tidak mendapatkan ( sesuatu yang dipakai untuk sutrah ) hendaknya dia menggaris suatu garis ( untuk sutrah ).” Al-Hafidz Ibnu Hajar berkata dalam Bulughul Maram : “Tidak benar seorang yang menyangka sesungguhnya hadits ini goncang. Hadits ini tidak memiliki cacat yang mengharuskan untuk ditolak.” Maka kami mengatakan : minimalnya garis dan tingginya semisal kayu yang diletakkan di punggung hewan tunggangan. [ Fatawa Arkanil Islam : 1/343 ]. []
Facebook: Abdullah Al Jirani