Oleh: Yani Fahriansyah
LANGIT kota Jakarta terlihat cerah tak bermendung. Awan putih padat tengah bergerombol pelan mengikuti tiupan angin.
“Afif, sekarang giliranmu untuk maju,” tutur syaikh di kelas sambil meminta Afif untuk menjelaskan tugas kuliah yang diberikan beberapa hari yang lalu.
Afif, ikhwan asli Jakarta itu, segera maju memperbaiki posisi kacamatanya. Tangan kanannya dihiasi jam tangan hitam. Penampilannya rapi. Berjenggot dan berjambang tipis.
Ia mulai menjelaskan namun tidak lancar sebab terbata-bata. Seolah-olah ada sesuatu yang mengganjal lidahnya untuk memaparkan ‘’wajibat almanzil” (tugas rumah). Hingga pada detik kesekian ia berhenti total, tak bisa lagi mengungkapkan sesuatu dan selalu saja begitu.
“Duduklah,” Syaikh memerintahkannya untuk kembali ke kursinya.
Kembali Afif menyandarkan diri sambil menghembuskan nafasnya.
Syaikh memandangnya. Beliau heran kenapa Afif selalu saja begitu padahal dia adalah mahasiswa yang mampu dalam hal akademik.
“Kenapa Afif? Apa yang kamu pikirkan? Badanmu dalam dalam kelas tapi pikiranmu selalu melanglang buana entah kemana. Kamu selalu saja begini. Ada masalah apa? Kamu terlihat letih di kelas,” pengajar kami yang berasal dari sebuah daerah dekat dengan perbatasan Saudi-Yaman itu memandang Afif sedikit lebih tajam.
Pertanyaan syaikh membuat Afif terdiam. Pandangan mata Afif seolah tembus jauh meninggalkan ruang kelas. Sepertinya luar sana, ada sosok yang membuatnya selalu gundah dan selalu menguras pikiran.
Dia masih terdiam seiring semakin dinginnya AC yang bergerombol menyapu semua sudut ruang kelas LIPIA.
Bahasa Arab adalah bahasa sehari-hari di kampus itu. Syaikh memberikannya kesempatan berbicara.
Ketua kelas mencoba menjelaskan ke syaikh: “Afif sepulang dari kampus langsung pergi ke tempat kerja, syaikh. Dan baru pulang ke sakan (asrama) jam sebelas malam. Sepertinya Afif letih dan kurang istirahat.”
Syaikh kembali menoleh ke Afif dan bertanya: “Kenapa kamu bekerja?”
Berat sekali Afif menjawab dan syaikh tetap menunggu. “Ibu dan adik saya yang cewek butuh uang, wahai syaikh.”
Oh, ternyata dua wanita yang begitu ia cintai itu lah yang menjadikan pikirannya pecah bercabang. Saya begitu merasakan, tak mudah untuk fokus belajar pada kondisi demikian.
“Baik. Kamu kerja 10 jam. Kapan kamu belajar?” tanya syaikh kembali.
“Pas pembeli lagi sepi.”
“Berapa gajimu?”
“Sekian, dan sekian.”
“Apa? Kenapa sedikit sekali? Dengan keletihan seperti itu hanya segitu gajimu?”
“Iya, syaikh”
“Berapa juz hafalanmu?”
“15 juz, wahai Syaikh.”
“Sekarang saya akan hubungi seorang teman dan minta agar bisa membantu kamu memberikan 1 juta perbulan. Ini dengan syarat kamu harus menghubungi bos kamu. Aku minta kamu keluar dari pekerjaan tersebut. Kamu harus fokus belajar di sini.”
Beberapa detik kemudian Afif mengangguk tanda setuju. Keesokan harinya syaikh memberikannya uang sejumlah yang dijanjikan.
___
Untuk masalah ilmu, syaikh tak akan tanggung-tanggung mengeluarkan dananya. Kami yakin bahwa uang yang beliau keluarkan itu dari beliau sendiri, bukan orang lain.
Suatu ketika, kami bertemu dengan beliau di asrama. Ternyata hari itu beliau bersama seorang karyawan sebuah toko membawa sekitar 40 kulkas baru untuk 40 kamar asrama. Jika satu kulkas sehara 1-2 juta, beliau menghabiskan dana 40-80 juta. Entah itu dana pribadi atau dari kampus. Tak menutup kemungkinan bahwa dana itu dari pribadi beliau.
Beliau paham bahwa ilmu adalah pondasi Islam dan merupakan salah satu prinsip baku Ahlussunnah Waljama’ah. Dakwah yang tidak terpondasikan di atas dasar ilmu akan rapuh dan terkikis seiring ganasnya zaman.
Ada kesan sensitif ketika mendengar ketidakmampuan ekonomi para muridnya. Beliau rela mengeluarkan uangnya untuk keberlangsungan proses belajar mereka yang merupakan amanat dari Allah. Kami melihat beliau adalah lelaki penyayang dan beliau begitu disayangi.
Menyaksikan episode kehidupan beliau ini, kami teringat sebuah ungkapan emas syaikh ‘Abdurrahman bin Nashir as-Sa’diy dalam tafsirnya yang mengungkapkan bahwa shalat dan infaq/sedekah adalah dua sejoli yang begitu kerapkali Allah sanding dan gandengkan dalam sebuah kalimat atau ungkapan dalam al-Qur-an maupun hadits-hadits sang nabi.
Syaikh as-Sya’di menuturkan:
كثيرا ما يجمع تعالى بين الصلاة والزكاة في القرآن لأن الصلاة متضمنة للإخلاص للمعبود والزكاة والنفقة متضمنة للإحسان على عبيده فعنوان سعادة العبد إخلاصه للمعبود وسعيه في نفع الخلق كما أن سقاوة العبد عدم هذين الأمرين منه ولا إخلاص ولا إحسان
“Shalat dan zakat adalah hal yang begitu dominan Allah gandengkan dalam al-Qur-an. Dalam shalat terkandung keikhlasan terhadap yang disembah (Allah). Sedangkan zakat dan nafkah/sedekah mengandung kebaikan terhadap hamba Allah.”
Kualitas kebahagiaan seorang hamba adalah tergantung keikhlasannya kepada Allah dan keluasannya dalam memberikan manfaat kepada orang lain. Sebaliknya penderitaan seseorang adalah ketika dua perkara ini yaitu ikhlas dan kebaikan untuk orang lain lenyap dari jiwanya” (Taisiir ar-Rahmaan fiy Tafsiir Kalaam al-Mannaan, hal 29, penerbit Dar Ibnu Jauziy, Saudi Arabia)
Syaikh yang dermawan tadi begitu memahami dengan baik bahwa penuntut ilmu adalah salah satu pihak yang semestinya mendapat perhatian dalam masalah ini.
Dana, bagi para penuntut ilmu, mutlak diperlukan selama proses pembelajaran yang mereka lalui.
Tak sedikit para penuntut ilmu di tempat kami berasal dari keluarga yang tidak mampu. Mereka tertatih-tatih dalam belajar sekaligus mencari rizki.
Kami memiliki rekan kelas asal Filipina dua tahun lalu. Penampilannya amat sederhana tetapi begitu gigih belajar.
Dia rela meninggalkan, untuk sementara, istri dan anaknya di sana. Ini dengan harapan kelak ia bisa menjadi pewaris dan penyambung lidah para ulama di Philipina yang mayoritas penduduknya beragama Kristen.
Hanya saja di semester selanjutnya, dia tidak kembali ke kampus usai liburan panjang. Saya mengetahui bahwa latar belakang ekonomi lah yang menjadi alasan utama.
Hal terbesar yang memudahkan penuntut ilmu dalam mengais pundi-pundi warisan para nabi adalah kekuatan fokus. Fokus akan memudahkan mereka untuk menyerap ilmu.
Sayangnya, amat sering kemampuan ekonomi menjadi tembok raksasa sekaligus badai yang menghancurkan, meluluhlantakkan dan menggugurkan kami para penuntut ilmu agama. Tak bisa terhitung, ada banyak yang gugur dan terhempas.
Di antara hal terbesar yang menjadi perhatian para penuntut ilmu dan sulit untuk mereka penuhi sendiri adalah keberadaan kitab-kitab yang merupakan lautan ilmu tak bertepi. Bukan penuntut ilmu jika tidak berkitab. Kitab adalah salah satu sumber primer yang harus ada. Dan memang demikian petuah ulama.
Suatu ketika, saya mengajak seorang rekan Philipina lainnya untuk mengunjungi pameran buku dan kitab yang sedang berlangsung di Senayan saat itu. Hari itu adalah hari terakhir ajang yang diadakan secara berkala dalam setahun tersebut.
Dia meminta maaf dan mengatakan tak bisa ikut.
“Tidak tertarik untuk beli kitab?” saya bertanya.
“Bukan sekarang,” jawabnya.
Belakangan saya mengetahui bahwa dia berlatar belakang ekonomi tak mampu di negerinya.
Tuturan bahasa arab yang keluar dari lisannya begitu berkelas. Orangnya rajin shalat malam dan gigih dalam belajar. Saya mengetahui semua ini sebab kami pernah sekamar di asrama selama setahun.
“Syaikh Fahri, saya pinjam sabun mandi antum,” ungkapnya kala itu.
Tanpa pikir panjang, saya segera memberinya kelebihan sabun baru yang saya miliki. Dalam hati, saya meminta maaf sebab hanya hal-hal kecil itu yang bisa saya berikan dan bantu.
“Maafkan saya, syaikh Fahri, tidak bisa makan bersama dengan antum dan rekan-rekan di kamar. Pasalnya, hal-hal demikian akan membuat saya teringat dua puteri saya yang masih kecil,” tuturnya suatu ketika. Rekan-rekan asal luar negeri menggunakan bahasa Arab sebagai bahasa komunikasi di asrama.
Iya, dia lelaki yang telah menikah dan dianugerahi dua puteri. Saya yakin, tangisan rindu untuk dua anaknya selalu dia tutupi.
Sungguh saya mencintainya karena Allah. Semester ini, dia tidak kembali dari Philipina usai libur panjang yang biasanya berlangsung selama tiga bulan. Ini mengacu pada kurikulum pendidikan di Arab Saudi.
Setelah liburan musim panas usai, dan kegiatan belajar telah dimulai, saya bertanya kepada rekan-rekan Philipina. Ternyata dia mengidap penyakit TBC dan butuh perawatan yang mengharuskannya cuti di semester ini.
Di antara hal yang amat membantu para penuntut ilmu untuk fokus adalah donasi/infaq dari orang-orang diberikan kelebihan harta oleh Allah. Tak pelak lagi, ikut berdonasi dan membiayai penuntut ilmu adalah amal agung di zaman ini, dan juga merupakan wasilah untuk menggandakan rizki itu sendiri.
Saya merenungi, jika harta bersumber dari hal yang halal dan penggunaannya benar maka harta yang berlimpah ruah sama sekali tidak tercela dalam Islam sebab harta juga salah satu wasilah untuk mengembangkan peradaban.
Saya membayangkan, orang-orang kaya sebenarnya adalah orang yang berkesempatan untuk meraih limpahan kebaikan yang tidak bisa digapai dan dicapai oleh orang-orang miskin dan tak berpunya. Mereka, orang-orang kaya adalah orang yang Allah pilih untuk merauk sejuta kebaikan.
Dengan kelebihan harta, mereka bisa melakukan ibadah agung haji dan umrah, membantu orang sakit, mengembangkan dakwah dan pendidikan, membiayai penuntut ilmu, membantu korban bencana alam, memberi hadiah untuk kerabat, membantu ekonomi orang tua, membangun masjid dan rumah sakit, mengentaskan kemiskinan, dan seabrek amal-amal sosial lainnya.
Saya membayangkan, pahala jerih payah dan energi yang dikeluarkan penuntut ilmu agama di masa studinya juga diraih oleh sang penderma. Begitu pula, kebaikan ilmu yang mereka sebarkan dan diamalkan oleh publik, sang penderma harta juga mendapat pahala yang mengalir tiada henti. Dan pahala ini tetap mengalir walau mereka, para penderma itu, bercengkrama dan bermain asyik dengan keluarga mereka.
Begitu bijak, pas dan tepat sekali jika mereka yang Allah limpahkan kekayaan memasukkan para penuntut ilmu dalam list yang menjadi daftar penerima infaq. Sebab arah dan misinya jelas yaitu menyiapkan punggawa-punggawa ilmu.
Agar tak salah sasaran, salah satu karakter penuntut ilmu yang berhak mendapat perhatian ini adalah mereka yang tak mampu dari segi ekonomi dan menjadikan proses menuntut ilmu sebagai rutinitas utama.
Dominan waktu mereka adalah untuk ilmu. Mereka berusaha menghafal Alqur’an, menghafal hadits, mempelajari bahasa Arab, ilmu ushul dan kaidah ber-istinbat. Mereka terdidik atau mendidik diri untuk menjadi penyambung lidah para ulama.
Akhirnya, begitu lengkapnya kebahagiaan para hamba Allah yang diberikan rizki lebih dibanding yang lain. Dengan infaq (salah satuny -ed) yang mereka ulurkan untuk para penuntut ilmu, mereka telah melengkapi piranti-piranti takwa dan bahagia yang Allah senaraikan di awal-awal surat al-Baqarah:
الَّذِينَ يُؤْمِنُونَ بِالْغَيْبِ وَيُقِيمُونَ الصَّلَاةَ وَمِمَّا رَزَقْنَاهُمْ يُنْفِقُونَ
“Yaitu mereka yang mengimani perkara ghaib, menegakkan shalat, menginfakkan sebagian dari apa yang Kami rizkikan.” (Al-Baqarah: 3)
Semoga Allah membalas Anda dengan kebaikan yang berlimpah. []