Oleh: Azzamuddin Ilham
Mahasiswa Sekolah Tinggi Ekonomi Islam SEBI, Prodi Manajemen Bisnis Syariah 2021
azzambu2020@gmail.com
TRANSAKSI merupakan salah satu kegiatan sosial setiap masyarakat. Salah satu di antaranya adalah transaksi jual beli atau sewa menyewa. Dalam fiqih muamalah transaksi biasa disebut dengan akad. Kegiatan transaksi atau akad akan berimplikasi hukum terhadap para pelaku yang melakukan akad tersebut.
Jika akad tersebut dilakukan sesuai norma hukum Islam atau hukum positif yang mengatur tentang transaksi atau akad, maka akad tersebut sah secara hukum dan mempunyai kekuatan hukum mengikat.
Sebaliknya, jika suatu akad atau perjanjian tidak sesuai dengan norma hukum Islam atau hukum positif maka akan berdampak kepada kekuatan hukum akad itu sendiri yakni tidak mempunyai kekuatan hukum atau akad tersebut tidah sah untuk dilakukan.
A. Pengertian Akad
Akad dalam bahasa arab artinya ikatan (penguat dalam ikatan) antara ujung-ujung sesuatu, baik ikatan nyata maupun maknawi dari satu segi maupun dua segi.
Akad secara etimologi diartikan untuk menggabungkan antara ujung sesuatu dan mengikatnya, lawannya adalah “Al-Hillu”(melepaskan), juga diartikan mengokohkan sesuatu dan memperkuatnya.
BACA JUGA: Apa Itu Akad Samsarah?
Adapun pengertian akad secara khusus yang dikemukakan oleh fuqaha Hanafiah, akad adalah pertalian antara ijab denga qobul menurut ketentuan syara yang menimbulkan akibat hukum pada objeknya atau dengan redaksi yang lain: Keterkaitan antara pembicaraan salah seseorang yang melakukan akad dengan yang lain menurut syara pada segi yang tampak pengaruhnya pada objek.
B. Pengertian syarat akad
Menurut bahasa akad mempunyai beberapa arti, antara lain الربط) mengikat) yaitu mengumpulkan dua ujung tali dan mengikat salah satunya dengan yang lain sehingga bersambung, kemudian keduannya menjadi sepotong benda, عقدة) sambungan) yaitu sambungan yang memegang kedua ujung itu dan mengikatnya, الهد) janji) sebagai mana dalam QS Ali Imran: 76, Terjemahnya: “(Bukan demikian), sebenarnya siapa yang menepati janji (yang dibuat)nya dan bertakwa, maka sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertakwa. Istilah ahdu dalam Al-Quran mengacu kepada pernyataan seseorang untuk mengerjakan sesuatu atau untuk tidak mengerjakan sesuatu dan tidak ada sangkut pautnya dengan orang lain.
Menurut istilah yang dimaksud dengan akad adalah : ارتباط االجياا بقبل عى جه شررج جيبب البراى Artinya: Perikatan ijab dan kabul yang dibenarkan syara yang menetapkan keridhaan kedua belah pihak.
Berdasarkan uraian di atas dapat dipahami bahwa aqad mencakup tiga unsur :
1. Perjanjian
2. Persetujuan kedua belah pihak atau lebih
3. Perikataan. Akad atau dalam bahasa arab aqad berarti ikatan atau janji (ahdun).
Menurut Wahbah al-Zuhaili, akad adalah ikatan antara dua perkara, baik dalam ikatan nyata maupun ikatan secara maknawi, dari satu segi maupun dari dua segi. Sedangkan menurut ulama hukum Islam akad adalah ikatan atau perjanjian
C. Rukun dan Syarat Akad
1. Rukun akad terdiri dari :
A. Ijab dan Qabul
Ijab merupakan penawaran yang disampaikan dari pihak pertama, dan qabul adalah jawaban persetujuan yang diberikan mitra akad sebagai tanggapan terhadap penawaran pihak yang pertama.
Ijab dan qabul ini begitu penting dalam akad sehingga berakibat hukum, maka para ulama fiqh mensyaratkan bahwa ijab dan qabul itu sungguh – sungguh dikehendaki oleh para pihak, dinyatakan secara jelas,pasti, dan bebas, serta adanya kesesuaianantara ijab dan qabul, dan pernyataan ijab dan qabul ini berdasarkan kehendak masing-masing pihak secara pasti, serta tidak ragu-ragu.
B. Pihak yang berakad
Pihak-pihak yang melakukan akad merupakan faktor utama pembentukan akad. Pihak yang berakad (subyek akad) tidak saja berupa orang perorangan tetapi juga berbentuk badan hukum.
Menurut fiqh, dalam akad perorangan, tidak semua dipandang cakap mengadakan akad. Ada yang sama sekali dipandang tidak cakap, ada yang dipandang cakap mengenai sebagian tindakan dan tidak cakap sebagian lainnya, dan ada pula yang dipandang cakap melalukan segala macam tindakan.
BACA JUGA: Lebih Dekat dengan Multiakad, Apa Itu Akad-akad Baru?
Dari kondisi perorangan yang berbeda tersebut, maka yang layak melakukan akad adalah ahliyatul ada’, yaitu kelayakan seseorang untuk memenuhi kewajiban yang ditetapkan syara’ atau orang yang layak dengan sendirinya melakukan berbagai akad, dimana orang tersebut layak mendapatkan hak dan kewajibannya, serta tindakan-tindakan sesuai dengan perjanjian yang dibuatnya yang dibenarkan oleh syara’.
C. Objek akad
Obyek akad atau benda-benda yang dijadikan akad bentuknya tampak dan membekas. Obyek akad ini tidak hanya suatu benda yang bersifat material tetapi juga bersifat subyektif dan abstrak.
Dengan demikian, obyek akad tersebut dapat berbentuk harta benda seperti dalam jual beli atau berbentuk manfaat seperti dalam upah mengupah. Prinsip umum dalam akad ini adalah terbebas dari gharar dan hal-hal yang dilarang oleh syara’.
Para fuqaha memberikan syarat khusus yang harus terpenuhi pada saat kontrak. Syarat tersebut biasa dikenal dengan syarat sahnya akad. Pertama, obyek harus diketahui pasti tentang sifat, jenis, jumlah, dan jangka waktu, kedua dapat diserahkan pada waktu akad, ketiga dimiliki secara sah.
D. Tujuan akad
Tujuan setiap akad menurut ulama fiqh, hanya diketahui melalui syara’ dan harus sejalan dengan kehendak syara’. Atas dasar itu, seluruh akad yang mempunyai tujuan atau kibat hukum yang tidak sejalan dengan syara’ hukumnya tidak sah, seperti berbagai akad yang dilangsungkan dalam rangkamenghalalkan riba, menjual yang diharamkan syara’ seperti khamar, atau tujuan melakukan tindak pidana seperti untuk pembunuhan, penipuan, pelacuran.
Bahkan kontrak yang akan menimbulkan pelanggaran terhadap nilai-nilai moral atau kepatutan dan ketertiban umum juga bukan menjadi tujuan akad yang dibenarkan syara’. Begitu juga larangan terhadap akad yang bertujuan untuk melakukan diskriminasi,monopolistik, dan penindasan. Tujuan akad merupakan hal yang penting untuk mengetahui apakah suatu akad dipandang sah atau tidak. Tujuan ini berkaitan dengan motivasi atau niat seseorang dalam melaksanakan akad.
2. Syarat-syarat Akad
Berdasarkan rukun akad, maka para fuqaha menjelaskan bahwa ada beberapa syarat akad, yaitu syarat terjadinya akad (syurut al-in’iqad), syarat sah (Syurut ash-shihhah), syarat pelaksanaan (syurut an-nafadz) dan syarat keharusan (syurut an-al-luzum) (al-Zuhaily).
Tujuan dari syarat-syarat tersebut adalah untuk menghindari terjadinya perselisihan dan terciptanya kemaslahan bagi para pihak yang melakukan akad.
Pertama, syarat terjadinya akad adalah segala sesuatu yang disyaratkan untuk terjadinya akad yang sesuai menurut syarat.
Apabila tidak memenuhi syara’ maka akad menjadi batal. Syarat ini terbagi dua yaitu syarat yang bersifat umum, yakni adanya rukun-rukun yang harus ada disetiap akad, dan syarat yang bersifat khusus, yakni syarat-syarat yang harus ada pada bagian akad dan tidak harus ada pada bagian yang lainnya seperti syarat harus adanya saksi pada akad nikah.
BACA JUGA: Akad Riba yang Menjerumuskan
Kedua, syarat sahnya akad adalah segala sesuatu yang disyaratkan syara’ untuk menjamin keabsahan dampak akad.
Apabila dampak akad tersebut tidak terpenuhi, maka kadnya dinilai rusak dan karenanya dapat dibatalkan.
Ketiga, dalam pelaksanaan akad terdapat dua syarat yaitu kepemilikan dan kekuasaan.
Kepemilikan adalah sesuatu yang dimiliki oleh seseorang sehingga ia bebas melalukan aktifitas dengan apa yang dimiliki sesuai ketentua syara’. Sedangkan kekuasaan adalah kemampuan seseorang dalam mendayagunakan sesuatu yang dimilikinya sesuai dengan ketetapan syara’, baik secara langsung oleh dirinya sendiri maupun sebagai kuasa dari orang lain.
Keempat, syarat kepastian hukum adalah terhindarnya dari beberaa pilihan, seperti khiyar syarat, khiyar aib, atau khiyar majlis.
Jika masih terdapat syarat khiyar ini maka akad tersebut belu memiliki kepastian dan karenanya akad tersebut menjadi batal. []