PERDEBATAN dalam agama seringkali mendatangkan keburukan dan merupakan sumber dari seluruh akhlak yang tercela di sisi Allah ta’ala dan disenangi oleh musuh Allah, yaitu Iblis.
Ini karena perdebatan seringkali dilandasi oleh keinginan untuk menang dan menjatuhkan lawan debat, serta untuk mendapatkan kehormatan dan pengakuan di tengah-tengah manusia.
Adapun, jika perdebatan ditujukan untuk mencari kebenaran dan ta’awun dalam meraih ilmu, sebagaimana yang berlaku di kalangan Shahabat radhiyallahu ‘anhum ajma’in dan para imam rahimahumullah, ia merupakan sesuatu yang baik. Namun perdebatan untuk meraih al-haq yang mendatangkan kebaikan ini memiliki syarat, yaitu:
BACA JUGA:Â Jaminan Surga bagi Orang yang Tinggalkan Debat
1. Tidak boleh menyibukkan diri dengan perdebatan, yang ia merupakan fardhu kifayah, sedangkan ia belum memenuhi kewajiban fardhu ‘ainnya.
Jika seseorang menyibukkan diri dengan fardhu kifayah, sampai-sampai ia mengabaikan hal yang fardhu ‘ain, dan ia mengklaim bahwa itu untuk meraih kebenaran, ia sebenarnya seorang pendusta.
2. Jika ada fardhu kifayah lain yang lebih urgen dari perdebatan, kemudian ia sibuk dengan perdebatan dan mengabaikan hal yang lebih urgen tersebut, ia telah jatuh pada perbuatan dosa.
Ini seperti seseorang yang melihat ada sekelompok orang sedang kehausan dan hampir jatuh pada kematian, dan tidak ada orang yang menolong mereka, sedangkan ia bisa menolong mereka dengan membawakan air dan memberi minum mereka.
Namun ia malah menyibukkan diri mempelajari bekam dan mengklaim bahwa hal itu termasuk fardhu kifayah. Sikapnya ini jelas keliru, karena ia meninggalkan hal yang jauh lebih urgen.
3. Pihak yang berdebat haruslah seorang mujtahid, yang bisa berfatwa secara mandiri, tidak terikat dengan salah satu madzhab aimmah mujtahidin.
Hal ini agar, jika ia mendapatkan kekeliruan dalam pendapat Asy-Syafi’i misalnya dan kebenaran ada pada pendapat Abu Hanifah, ia bisa meninggalkan pendapat Asy-Syafi’i yang sebelumnya disetujuinya dan beralih pada pendapat Abu Hanifah yang lebih dekat dengan kebenaran.
BACA JUGA:Â 5 Alasan Mengapa Debat di Media Sosial Harus Dihindari
Jika ia terikat dengan madzhab imamnya dan tidak bisa keluar darinya, dan hanya boleh berfatwa sesuai madzhab imamnya, lalu untuk apa ia berdebat? Apa gunanya perdebatan, jika setelah ia tahu kelemahan pendapat imamnya, ia juga tak boleh meninggalkan pendapat tersebut?
4. Hanya berdebat dalam persoalan yang telah ada faktanya atau kemungkinan besar akan segera ada. Para Shahabat radhiyallahu ‘anhum hanya bermusyawarah (membahas masalah agama) dengan sesama mereka, pada persoalan yang sedang terjadi atau ghalabatuzh zhann akan terjadi.
5. Perdebatan tertutup lebih disukai dari perdebatan terbuka dan disaksikan orang banyak. Perdebatan secara tertutup, umumnya lebih bisa membuat pihak yang berdebat fokus pada tema, dan itu memudahkan pemahaman dan sampainya kebenaran.
Sebaliknya, perdebatan yang disaksikan orang banyak, lebih membuka peluang munculnya sifat riya, dan berusaha keras untuk membuktikan bahwa ia yang lebih unggul dalam berdebat, sehingga peluang berupaya meraih kebenaran dari mana pun datangnya sangat kecil.
6. Upaya untuk mencari kebenaran dalam perdebatan harus semisal orang yang sedang sibuk mencari hartanya yang hilang. Ia benar-benar mengupayakan mendapatkannya, dan ia tak peduli, kebenaran itu datang dari dirinya atau dari lawan debatnya, karena yang ia cari adalah kebenaran, bukan menang-menangan.
Ia menganggap lawan debatnya adalah orang yang membantunya mencari kebenaran, bukan musuhnya yang harus ia kalahkan. Dan ketika ia menemukan kebenaran dari lawan debatnya, ia gembira dan berterima kasih padanya, bukan malah mencela dan mengecamnya.
7. Mempersilakan lawan debat untuk berpindah dari satu dalil ke dalil yang lain, dari satu argumentasi ke argumentasi yang lain. Karena kebenaran yang dicari, maka setiap dalil dan argumen yang bisa mengarahkan kita pada kebenaran, harus diterima dan tidak ditolak.
BACA JUGA:Â Kisah Nabi Ibrahim Berdebat dengan Ayah dan Kaumnya
8. Memilih berdebat dengan orang-orang yang memiliki keluasan dan kedalaman ilmu, sehingga bisa beristifadah (mengambil faidah) darinya.
Banyak orang yang tidak bersedia berdebat dengan ulama besar nan mendalam ilmunya, karena takut kebenaran akan muncul dari lisan ulama tersebut. Dia memilih berdebat dengan orang yang level keilmuannya rendah, dengan harapan mereka tak bisa mengalahkannya dalam argumentasi.
Jika delapan syarat yang disebutkan ini tak bisa dipenuhi dalam perdebatan, maka menghindari perdebatan jauh lebih baik dibandingkan terlibat di dalamnya.
Karena perdebatan yang tak memenuhi syarat di atas, biasanya bukan karena Allah ta’ala dan tidak bertujuan sampai pada kebenaran, tapi hanya untuk unjuk kemampuan dan kehebatan saja, dan menunjukkan penyakit hati dari orang yang menyibukkan diri pada perdebatan semacam ini.
Wallahu a’lam. []
Rujukan: Ihya ‘Ulumiddin, karya Imam Abu Hamid Al-Ghazali, Juz 1, Halaman 117-124, Penerbit Dar Al-Fikr, Damaskus.
Facebook: Muhammad Abduh Negara