APA syarat tidur yang tidak membatalkan wudhu? Berikut penjelasan Ustadz Muhammad Abduh Negara.
Salah satu pembatal wudhu adalah hilangnya akal, baik karena tidur, pingsan, mabuk, gila, atau yang semisalnya.
Hal ini berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa aalihi wa sallam:
وِكَاءُ السَّهِ الْعَيْنَانِ، فَمَنْ نَامَ فَلْيَتَوَضَّأْ
Artinya: “Pengikat dubur itu kedua mata, maka siapa saja yang tidur wajib baginya berwudhu.” (HR. Abu Dawud dan Ibnu Majah, dari ‘Ali radhiyallahu ‘anhu)
Makna Hadits ini, saat seseorang sadar atau bangun, ia bisa menjaga agar tidak keluar sesuatu melalui duburnya, namun saat ia tidur ia tidak mampu lagi menjaga hal tersebut, dan sangat mungkin ada yang keluar tanpa ia sadari.
BACA JUGA: Hukum Tidur Pagi setelah Bekerja Malam
Gila, pingsan dan mabuk diqiyaskan atas tidur, karena sama-sama menghilangkan kesadaran, bahkan keadaannya lebih berat dari tidur. Orang yang tidur, biasanya terbangun saat ada yang menyadarkan atau membangunkannya, sedangkan orang yang gila, pingsan dan mabuk, tetap tidak sadarkan diri.
Namun, tidur dalam posisi duduk dengan pantat menempel ke lantai atau tempat duduknya, tidak membatalkan wudhu. Ini termasuk syarat tidur yang tidak membatalkan wudhu.
Hal ini ditunjukkan oleh Hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata:
أُقِيمَتِ الصَّلَاةُ وَالنَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُنَاجِي رَجُلًا، فَلَمْ يَزَلْ يُنَاجِيهِ حَتَّى نَامَ أَصْحَابُهُ، ثُمَّ جَاءَ فَصَلَّى بِهِمْ
Artinya: “Saat shalat akan didirikan, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sedang berbicara dengan seseorang, dan beliau masih berbicara sampai para shahabat tertidur. Setelah itu beliau datang dan shalat bersama para shahabat.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim, lafazh dari Muslim)
Ditegaskan lagi dalam Hadits riwayat Muslim, dari Anas radhiyallahu ‘anhu:
كَانَ أَصْحَابُ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَنَامُونَ، ثُمَّ يُصَلُّونَ، وَلَا يَتَوَضَّئُونَ
Artinya: “Para shahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tertidur (saat menunggu shalat), kemudian mereka shalat tanpa berwudhu lagi.”
Dan jelas, posisi tidur mereka saat itu adalah dalam kondisi duduk yang tetap, karena mereka sedang menunggu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk shalat.
Ulama Syafi’iyyah kemudian menjelaskan beberapa syarat tidur yang tidak membatalkan wudhu ini, yaitu:
Syarat Tidur yang Tidak Membatalkan Wudhu
Syarat tidur yang tidak membatalkan wudhu pertama: Tidur dalam posisi duduk, dengan pantat menempel di lantai atau tempat duduk, yang membuat tidak mungkin angin bisa keluar dari duburnya.
Syarat tidur yang tidak membatalkan wudhu kedua: Proporsi tubuh orang yang tidur ini normal, tidak terlalu gemuk, juga tidak terlalu kurus.
Syarat tidur yang tidak membatalkan wudhu ketiga: Saat ia bangun, posisinya tidak berubah dari posisi saat ia tidur.
BACA JUGA: Bolehkah Tidur dalam Keadaan Junub?
Syarat tidur yang tidak membatalkan wudhu keempat: Tidak ada seorang yang ma’shum (terbebas dari kesalahan, seperti seorang Nabi) yang memberitahu bahwa ia telah keluar angin saat tidur, menurut Ar-Ramli. Sedangkan menurut Ibnu Hajar, yang memberitahunya cukup seorang yang adil (yang kesaksiannya diterima).
Jika seorang yang ma’shum (menurut Ar-Ramli) atau seorang yang adil (menurut Ibnu Hajar) memberitahunya, bahwa ia telah keluar angin saat tidur, batal wudhunya.
Catatan:
Perbedaan tidur (نوم) dan kantuk berat menjelang tidur (نعاس) adalah, saat tidur seseorang tidak lagi mendengar suara atau ucapan orang di sekitarnya dan biasanya ditandai juga dengan adanya mimpi, sedangkan saat kantuk berat ia masih mendengar suara atau ucapan orang di sekitarnya meskipun ia tidak bisa lagi memahami ucapan tersebut. Kalau ia masih memahami suara atau ucapan orang di sekitarnya dengan baik, berarti ia sudah terbangun sepenuhnya. Demikianlah pembahasan tentang syarat tidur yang tidak membatalkan wudhu.
Wallahu a’lam. []
Rujukan:
1. At-Taqrirat As-Sadidah, Qism Al-‘Ibadat, karya Syaikh Hasan bin Ahmad Al-Kaf, Halaman 101, Penerbit Dar Al-‘Ulum Al-Islamiyyah, Surabaya, Indonesia.
2. At-Tadzhib Fi Adillah Matn Al-Ghayah Wa At-Taqrib, karya Dr. Mushthafa Dib Al-Bugha, Halaman 22-23, Penerbit Dar Al-Mushthafa, Damaskus, Suriah.
3. Al-Fiqh Al-Manhaji ‘Ala Madzhab Al-Imam Asy-Syafi’i, karya Dr. Mushthafa Al-Khin, Dr. Mushthafa Al-Bugha dan Syaikh ‘Ali Asy-Syarbaji, Jilid 1, Halaman 62-63, Penerbit Dar Al-Qalam, Damaskus, Suriah.
Oleh: Muhammad Abduh Negara