SEJAK pertama kali saya menuntut ilmu di negeri para ambiya’, negeri para ulama, negeri Al-Azhar Al-Syarif, saya begitu sering mendengar nama Syekh Syarawi disebutkan orang-orang sekitar saya.
Baik teman-teman sesama pelajar ataupun orang Mesir di wilayah saya tinggal dan yang saya temui-berpas-pasan di jalan, di kendaraan umum, jumpa di masjid, warung-warung kecil, mall, di ibu kota, di pelosok desa, di tv, di radio, di dinding-dinding segala bangunan, di banyak tempat dan kesempatan, nama Syekh Syarawi terlihat oleh mata, terdengar oleh telinga dan terasa akrab di hati dan jiwa.
Siapakah beliau sehingga begitu cintanya masyarakat Mesir kepada Syekh Syarawi?
Nama lengkap Syekhuna: Muhammad Mutawalli al-Sya’rawi. Lahir pada tanggal 15 April 1911, di desa Dakadus (دقادوس) , Mit Ghamr (مت غمر) , Ad-Dahqliyah ) (الدقهلية) , Mesir provinsi Tanta (طنطا).
BACA JUGA: Tips Menjaga Rumah ala Syeikh Sudais
Syekh Syarawi merupakan ulama mujadid pada abad ke 20. Penghulu para pendakwah.
Pada usia 87 tahun, tepat 17 Juni 1998, Syekhuna al-Syarawi menghadap ke Tuhannya. Sukses menyebarkan ajaran yang moderat. Menancapkan pokok-pokok akidah berhaluan aswaja. Dan menjadi sosok yang ditakuti oleh musuh-musuh Islam. Untuk beliau, al-Fatihah.
Ketika mobil kami tiba di jalur yang mengarah ke desa Daqadus, saya bertanya kepada pemilik bengkel di sana.
Dia menjelaskan kepada saya hampir satu jam pertemuan seperti guru mengajari muridnya. Mereka ramah, mengajak kami singgah untuk minum teh hangat, tidak hanya basa-basi, mereka seriusan, kami seperti dipaksa singgah. Ajakan itu lebih dari empat kali.
“Ta’ala inzilu nasyrab syai.” Mari turun minum teh.
“Syukran, ihna musta’gal, elmarrah gayyah insyaAllah.” Terima kasih, kami buru-buru. Lain kali insyaAllah.
Pemilik bengkel itu memberikan kertas yang ia coret-coret tadi kepada saya. Semacam peta untuk perjalanan jauh kami ke desa Daqadus.
Padahal kami telah menyetel GPS sejak dari Kairo ke Alexanderia, kemudian dari Alexanderia ke Tanta lalu titik terakhir di peristirahatan Syekh Syarawi.
Bos pemilik bengkel itu menjelaskan kepada saya dengan menuliskan peta dan nama-nama desa yang akan kami lewati.
“Kalian sekarang berada di jalan Mit Ghazali, tadi sebelum masuk ke jalan ini kalian telah melalui jalan Ziara’i. Di jalan Mit Ghazali, nanti sebelah kanan kalian akan melewati makam Syekh Mustafa Ismail. Seorang ulama qura’ yang masyhur di zamannya,” namun kami tidak sempat singgah karena tujuan akhir kami adalah fokus pada desa Daqadus, desa Syekh Syarawi.
“Setelah makam Syekh mustafa Ismail, nanti ada simpang dua kanan dan kiri, ambilah ke kiri. Lalu lurus, jauh kedepan, jumpa simpang empat Qubra/Syubra Qafi, ambil ke kanan. Lurus lagi, jauh lagi, jumpa dengan desa Santa (السنطة) lalu lurus lagi, jauh lagi, jumpa dengan desa Zefta (زفت),” dia menjelaskan sembari mencoret kertas yang telah terukir sebuah peta dengan pena tinta biru.
Dari Zefta, jauh lurus, kami singgah di masjid untuk menunaikan shalat di pinggir jalan sebelah kiri. Usai shalat, seorang bos penjual mobil Marcedes Benz menjelaskan lagi di mana lebih tepatnya desa Daqadus atau orang sana menyebutnya Dakdus sebab mesukunkan huruf qaf. Katanya pada kami.
BACA JUGA: Mahasiswa Kutu Buku
“Kalian telah tiba di Mit Ghamr (مت غمر) Desa Dakdus masih jauh, lurus, nanti ada lingkaran ambil ke kiri, lewat jembatan sungai Nile, agak jauh lagi dari jembatan kalian tanyalah di mana desa Dakdus.”
Tiap kali bertanya, mereka menjelaskan panjang lebar, kalau tidak pandai-pandai pamitan, bakal lama. Mereka ingin mengobrol lebih lama.
Setelah lima kali berhententi bertanya, lebih 30 kilo meter telah kami lalui, akhirnya kami tiba di desa Dakdus. Senang dan bahagia sekali rasanya tiba di kampung ulama.
Desanya sama seperti desa-desa orang Mesir di pelosok lainnya. Mungkin kata ‘sederhana’ lebih layak menggambarkan ungkapannya. Alhamdulillah, kami berziarah ke makam Syekh Syarawi di desa Dakdus.
Model bangunan makam beliau dua lantai. Lantai dasar adalah peristirahatan beliau, lantai atas semacam atap untuk menandai makam yang ada di lantai dasar.
Kalau saja jalan yang kami lewati bagus, tidak ada aspal yang pecah akibat roda berat, sepertinya satu jam sampai ke desa ini.
Tetapi sebaliknya lebih dari satu jam perjalanan. Siang kami dari Alexanderia, tiba di desa Dakdus sepuluh menit sebelum adzan magrib berkumandang.
Benar-benar terasa seperti pulang kampung, tinggal di desa terpencil. Dakdus, nama desa itu. Dan ternyata, GPS yang kami tentukan titiknya juga sama persis seperti realitanya. Kali ini GPS benar-benar pintar.
Kalau saja kami tidak meragukan GPS, harusnya kami tidak sekali pun bertanya. GPS di gawai kami sama persis behenti depan gerbang makam Syek Sya’rawi. Namun mendapat arahan alamat dari orang yang tinggal di sana punya nilai tersendiri. Setidaknya saya mengerti bagaimana bahasa arab amiyah orang Tanta.
BACA JUGA: Kisah Taubatnya Seorang Penari Terkenal Mesir
Orang Tanta masih fushah di huruf (jim:ج) Misalnya, (Jadid:جديد) mereka masih seperti yang seharusnya. Walaupun mungkin tidak semuanya. Beda dengan yang tinggal di ibu kota tentunya.
Tetapi saya mengerti betul ‘amiyah orang Tanta, mereka pun tahu maksud saya saat bertanya. Saya merasakan kehangatan persaudaraan mereka sesama muslim, kami yang datang dari jauh, keseriusan mereka menjelaskan pertanyaan kami.
Paling tidak saya telah tahu dan faham bagaimana rute ini saya dapatkan langsung dari lisan orang desa di sana.
Akhirnya saya terkesan, bahagia, senang, riang gembira, wajah berseri-seri ketika langkah kaki pertama kami langkahkan di desa Dakdus. Alhamdulillah. Washallallahu ‘ala sayidina Muhammad wa ‘ala alihi wasahbihi ajma’in. []
-Daud Farma
Darrasah-Kairo, 3 Agustus 2021. | ulviyeturk94@gmail.com