MARI kembali ke masa lalu. Kembali ke Madīnah, melalui masjid dan rumah Nabi (sal Allahu alayhi wa sallam). Kita melihat dia di sana, di kegelapan malam, berdoa kepada Tuhannya. Dia menangis saat membaca Ayat Al Qur’an. Dia telah berdiri begitu lama, dan kita melihat bahwa kakinya yang diberkahi telah membengkak dan kulitnya pecah-pecah.
Banyak dari kita akan berpikir apa Aisyah, istri tercintanya, (radhiallah anha) bertanya kepadanya sesudahnya. Aisyah berkata, “Hai Nabi Allāh, mengapa kau begitu bersusah payah, sedangkan kenyataannya Allāh telah mengampuni dosa-dosamu?” Nabi (sal Allahu alayhi wa sallam) menjawab, “Afala akuna abdan shakura? Tidak bolehkah aku membuktikan diri sebagai hamba yang bersyukur?”
Kita belajar dari hadis ini bahwa rasa syukur ditunjukkan melalui perbuatan. Syukur adalah dengan tindakan. Nabi (sal Allahu alayhi wa sallam) tidak diperintahkan untuk beribadah dalam tahap ini tapi lebih merupakan pengabdian dan rasa syukur sepenuhnya kepada Allāh (azza wa jalla).
Bila kita ingin berterima kasih kepada seseorang, kita bekerja ekstra untuk membuat mereka bahagia, terutama saat mereka dicintai oleh kita. Kita berusaha keras untuk menunjukkan kepada orang tua, pasangan atau teman kita bahwa kita menghargai mereka. Kita menawarkan bantuan kita tanpa mereka meminta. Kita merencanakan waktu untuk bersama. Kita memberi mereka hadiah tanpa mengharapkan balasan. Kita melakukan apapun yang akan membuat mereka bahagia. Kita menunjukkan kasih dan penghargaan kita melalui tindakan kita.
Namun, bagaimana kita bisa mengklaim bahwa kita mencintai Allāh saat kita bahkan tidak bertindak seperti yang dilakukan oleh Nabi terhadapNya? Kita tidak mematuhi keputusan-keputusan-Nya. Kita bahkan hampir tidak lulus dalam ibadah-ibadah yang sifatnya enteng. Kita tidak menghormati Kitab-Nya. Kita bersumpah demi namaNya dengan sia-sia. Kita tidak malu berbuat dosa di depannya sementara kita malu saat orang lain sedang mengetahu. Kita menunda pembicaraan kita sehari-hari dengan Dia, dan ketika akhirnya kita berdoa padaNya, kita melakukannya secepat mungkin—kembali kepada apa yang kita anggap lebih penting daripada Dia.
Apakah kita pernah mengaku mencintai ibu, pasangan, atau teman kita jika kita memperlakukan mereka seperti ini? Apakah mereka merasa bahwa kita mencintai mereka dan menghargai mereka jika kita memperlakukan mereka seperti ini?
Bukankah kita malu bahwa kita memperlakukan keluarga dan teman kita lebih baik daripada Pencipta kita sendiri? Tentunya untuk Allāh adalah Tertinggi.
Allāh (azza wa jall) tidak membutuhkan kita atau ibadah kita sama sekali. Kita tidak menyakiti Dia atau menguntungkan Dia dengan cara apapun dengan menyembah Dia atau tidak menaati Dia. Dia tidak membutuhkan seseorang atau apapun. Perumpamaan ini adalah untuk menunjukkan bagaimana kita bertentangan dengan diri kita sendiri—kita mengatakan bahwa kita mengasihi Allāh, bahwa kita bersyukur kepada-Nya, namun tindakan kita menunjukkan kebalikannya. Tindakan kita menunjukkan bahwa kita ceroboh, tidak bersyukur dan kita sangat pandai mengatakan apa yang tidak kita maksudkan.
Semoga kita bisa meneladani Nabi tercinta—beribadah kepadaNya bukan semata-mata ketika membutuhkan, namun karena kita adalah hamba yang patut bersyukur. []