Oleh: Rifatul Farida, Jakarta
SENANG sekali rasanya mendapat kabar dari seorang sahabat akan segera menyempurnakan separuh Dien ini. Ucapan selamat dan doapun dipastikan turut serta mengiringi hari indah dan bahagia itu. Namun, haruskah kemudian berubah bentuk begitu, meski hanya sehari saja?
Al-Ukh yang biasanya, dalam hari-hari luar biasanya tampil begitu apa adanya, polos dan seindah warna aslinya. Hanya dalam selang waktu semalam tampil begitu berbeda, bahkan kontras. Lalu, sebenarnya pemaknaan apa yang ingin disuguhkan dihari yang diberkahi itu?
BACA JUGA: 9 Keburukan Tabarruj
“Hanya sehari, dan sekali seumur hidup mungkin” kata seorang sahabat lain menanggapi tanpa ingin mempersoalkan lebih lanjut.
“Hanya”? Saya mengerutkan dahi. Jelas-jelas bertabbaruj ria begitu dibilang ‘hanya’ dan semuanya seolah menjadi baik-baik saja? Ah, sepertinya tidak begitu halnya dengan saya.
Entah apakah saya yang terlalu mempersoalkan atau mereka yang tak mau ambil pusing. Yang jelas, dan yang saya pahami, seorang muslimah dilarang bertabbaruj kecuali di depan yang sudah menjadi haknya.
Tak pernah ada toleransi waktu apakah itu semenit atau sehari, pun tak ada toleransi momen entah itu nikahan, wisudaan atau hajatan-hajatan lainnya.
BACA JUGA: Tabarruj Muslimah Modern
Rasanya terlalu sayang, kalo ‘izzah’ keakhwatannya berakhir di moment berkah itu, yang seharusnya tetap Allah yang menjadi perhatian utama, bukan manusia dan yang lainnya.
Dan haruskah memang begitu? Masa ‘keakhwatan’ diakhiri dengan tabbaruj. Kalau toh alasannya biar kelihatan tidak pucat, Perlukah setebal itu? Bukankah sekedarnya saja sudah cukup?
Ayolah ukhti, Allah telah meninggikan kedudukan kita dengan penjagaan terbaik lewat syari’atNya. Maka, tak selayaknya kita merendahkan apa yang sudah Ia tinggikan. []