Oleh: Shinta Wahyu, sintawahyu2@gmail.com
PERTEMUANKU dengan dokter itu hasilnya nihil. Biaya operasi terlalu mahal. Karena itu aku merencanakan untuk mengumpulkan uang dulu, hingga cukup untuk operasi. Kubuat skala di sebuah buku. Membuat target sepuluh juta yang harus terkumpul dalam jangka waktu tiga tahun. Aku menyisihkan sedikit dari gajiku setiap bulan.
***
Kuraba isi kaleng biskuit. Meraih tujuh lembar ratusan ribu yang tersisih selama tiga bulan, dalam kaleng itu. Sekali lagi kutengok pesan singkat dari Ibu.
“Nak, ibu perlu uang untuk biaya sekolah adikmu.”
Persis seperti tiga bulan yang lalu, uang yang kusisihkan selama beberapa bulan harus kuhapus lagi dari catatan. Selama dua tahun membuat rencana tetapi tidak pernah mencapai target dan aku membuat skala baru, dari nol lagi.
“Iya, Bu. Besok saya kirim uangnya,” balasku.
BACA JUGA: Amplop Titipan Ustad
Selama ini aku tidak mengatakan apapun tentang konsultasiku dengan dokter mata itu pada Ibu. Aku juga tidak mengatakan bahwa aku harus menabung untuk biaya operasi. Jadi Ibu tidak tahu aku harus menyisihkan uang. Tetapi tidak mengapa, memang ini jalannya. Allah menginginkan aku membantu Ibu dan adik-adik. Mereka adalah segalanya. Aku tidak ingin egois dan mengutamakan kepentingan diri sendiri. Apa artinya keinginan terpenuhi jika di sana wajah lugu mereka diselimuti kabut kesusahan?
***
Aku sudah menyerah. Biar kuterima saja takdirku dengan menyandang cacat seumur hidup. Mungkin ini memang yang terbaik bagiku dan terbaik dalam pandangan Allah Subhana Wa Ta’ala. Tak ada lagi kaleng dan catatan menabung setiap bulan untuk biaya operasi. Seperti biasa, aku tetap menyisihkan uang. Tak lama kemudian, orang tua memintanya.
Suatu hari, atasanku bernama Mrs.Sammi, wanita keturunan China berkebangsaan Amerika, menemukan kartu rumah sakit milikku.
“Shinta, apa ini?”
“Ah! ini kartu rumah sakit, Mrs.”
“Kamu sakit?”
“Tidak, dulu aku memeriksakan kelainan pada mataku.”
“Oh! Apa yang dikatakan dokter tentang mata kamu?”
“Jika aku mau, mereka akan melakukan operasi.”
“Kamu tidak mau? Kenapa? Kamu bisa terlihat lebih cantik.”
“Aku mau, Mrs. Tetapi biayanya cukup mahal. Aku sedang menabung untuk itu.”
“Sudah berapa tabunganmu sekarang?”
“Oh… Emm… Saya tidak tahu. Ibuku menyimpannya.”
“Tanya pada ibumu!”
“Oh, i… iya.”
Aku gugup. Haruskah dia mengetahui apa yang kualami selama tiga tahun berusaha menabung? Bahkan sampai hari ini aku sebenarnya tidak memiliki uang sepeserpun. Entah apa yang akan kukatakan jika besok dia bertanya lagi.
***
Mudah-mudahan atasanku itu tidak membahas lagi percakapan yang kemarin. Aku benar-benar tidak punya jawaban apapun jika dia bertanya lagi tentang tabunganku. Aku tidak mungkin mengatakan bahwa sebenarnya aku tidak punya, karena kemarin aku terlanjur mengatakan punya.
“Shinta, hari ini kita akan ke rumah sakit.” Katanya mengagetkanku.
“Iya, apa yang harus kusiapkan?”
“Tidak. Bawa saja kartumu yang kemarin. Kita ke rumah sakit itu.”
“Hah?! Baiklah, Mrs.”
Duh! Jangan-jangan dia mengira aku sudah memiliki uang yang cukup. Apa yang akan kukatakan nanti? Bagaimana aku menjelaskan? Aku tidak ingin membuatnya kecewa dengan kebohonganku.
Jakarta Eye Center (JEC) menteng, ruangan dr. Made Susianty, Spm.
“Hai, Shinta. Apa kabar?” dokter wanita itu menyambut kami dengan ramah. Salah satu yang kusukai darinya adalah sikapnya yang bersahabat dengan pasien. Aku tidak gugup berkonsultasi dengannya.
BACA JUGA: Sedekah Perasaan
“Hai, dok. Perkenalkan ini atasan saya, Mrs. Sammi. Mrs, ini dokter Susi.” Aku mengenalkan mereka. Setelah itu, mereka terlibat percakapan tentang kelainan pada mata kiriku.
“Jadi, dia bisa dioperasi?” tanya Mrs. Sammi.
“Tentu saja. Kita akan buat jadwalnya. Paling cepat minggu depan.”
“Berapa biayanya?”
“Tidak mahal. Hanya lima belas juta.”
Ya Allah… Itu sangat mahal. Kenaikannya 50% dari tiga tahun lalu, yang diperkirakan sepuluh juta. Jadi kalupun aku menabung sejumlah itu maka tetap tidak akan cukup aku pakai sekarang. Bagaimana ini?
“Ok. Lakukan saja, saya akan membayar semua biayanya. Kamu siap, Shinta?”
Aku tidak percaya dengan yang kudengar. Hanya mampu mengangguk lemah. Otakku masih berusaha mencerna keajaiban ini. Allah menabung doaku, di langit. Dan kini menurunkannya. Subhanallah, Alhamdulillah, laa ilaha ilaa Allah, Allahu akbar. []
Surakarta, 24 Januari 2016.