Oleh: Ana Nazahah
Penulis tinggal di Aceh
TAHUN baru, selalu identik dengan suka cita. Wajar, karena manusia fitrahnya memang suka yang baru-baru. Baru menikah misalnya, pasti hari-hari diliputi bahagia tak terkira.
Lalu bagaimana dengan orang yang baru patah hati? Mistaqan qhaliza yang selama ini dipertahankan harus kandas di tengah jalan. Berbuntut perceraian yang tak pernah dibayangkan. Pastinya, hari akan selalu sama baginya, tak beda tahun baru atau masa lalu. Luka perceraian itu akan membekas selamanya.
BACA JUGA: Hati dengan Kondisi Baik, Apa Ciri-cirinya?
Sudah menjadi fitrah manusia, merasa sedih, kecewa, dan sakit hati saat dilukai. Namun fitrah itu bukan berarti pembenaran untuk terus melarutkan diri dalam penderitaan, dan keputus-asaan. Kita harus yakini, setiap yang Allah takdirkan, adalah skenario terbaik untuk hambaNya.
Pertemuan, perpisahan semua atas kehendak Allah. Meski setiap apa yang kita lakukan tetap akan dihisab baik dan buruknya. Selama kita telah berjalan di atas SyariatNya yang benar, apa yang harus kita sesalkan? Perceraian bukan akhir dari mimpi-mimpi.
Karena hari-hari yang terus berganti. Susah atau senang, waktu berjalan tiada henti, sedetik sekalipun. Batas usia kita semakin berkurang. Inilah yang seharusnya lebih berhak untuk kita perhitungkan!
Tahun baru, adalah momentum yang tepat untuk mulai menata hati. Melakukan perbaikan untuk diri. Tentunya, dengan menetapkan berbagai resolusi. Karena perubahan itu diawali dari rencana. Bukan tiba-tiba berubah sendiri.
Sejauh ini tidak ada orang, yang bisa menghilangkan luka di hati karena disakiti. Apalagi akibat perceraian, yang melibatkan keluarga besar kedua belah pihak. Juga status mereka, sebagai ayah atau ibu bagi anak-anak, yang tak akan terputus sampai kapanpun.
BACA JUGA: Istirahatkanlah Hatimu Sekadarnya, karena …
Yang harus dilakukan bukan menghilangkan luka, tetapi belajar menerima, belajar mensyukuri nikmat yang Tuhan beri. Sembari terus melakukan introspeksi diri. Dari sanalah perubahan itu dimulai, dari diri kita sendiri.
Allah Subhana wa Taa’ala berfirman :
إِنَّ ٱللَّهَ لَا يُغَيِّرُ مَا بِقَوْمٍ حَتَّىٰ يُغَيِّرُوا۟ مَا بِأَنفُسِهِمْ
“Sesungguhnya Allah tidak merubah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka merubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri.” (ar-Ra’d : 11).
Karena itu, seseorang yang ingin berubah, selalu dituntut untuk bisa berdamai dengan masa lalunya. Yang terjadi biarlah berlalu. Anggap sebagai pelajaran dan ambil sisi positifnya. Siapapun yang menerima apapun kondisinya, sembari terus memperbaiki diri dengan penuh perencanaan, maka dia akan meraih kebahagian meski kadang yang diharapkannya tak sesuai dengan yang diinginkan.
Ya, perubahan itu bukan selamanya tentang apa yang kita inginkan. Tapi tentang bagaimana kita menyikapi hari ini. Orang-orang yang tidak mensyukuri nikmat Tuhan, adalah orang-orang yang menyerah pada luka, pada kegagalannya. Sementara orang-orang beriman, mereka akan selalu berfikir positif, bahwa Allah, tidak menakdirkannya sesuatu, kecuali itu yang terbaik.
وَعَسَى أَنْ تَكْرَهُوا شَيْئًا وَهُوَ خَيْرٌ لَكُمْ وَعَسَى أَنْ تُحِبُّوا شَيْئًا وَهُوَ شَرٌّ لَكُمْ وَاللَّهُ يَعْلَمُ وَأَنْتُمْ لَا تَعْلَمُونَ
“Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.” (QS. Al-Baqarah: 216). []
Kirim RENUNGAN Anda lewat imel ke: redaksi@islampos.com, paling banyak dua (2) halaman MS Word. Sertakan biodata singkat dan foto diri. Isi dari OPINI di luar tanggung jawab redaksi Islampos.