TAJDID ushul fiqih (pembaruan ushul fiqih) yang didukung oleh Al-Qaradhawi bukanlah upaya untuk merusak sendi-sendi pemikiran Islam dan menghancurkan fiqih Islam. Hal itu jauh sekali dari cara berpikir Al-Qaradhawi.
Bahkan beliau sendiri menolak isu “pembaruan” yang dikemukakan oleh orang-orang yang tak memahami fiqih Islam, dengan menabrak hal-hal yang qath’i dan mujma’ ‘alaih. Semisal pembagian harta waris anak laki-laki dua kali lipat dari anak perempuan yang disebutkan secara sharih dalam Al-Qur’an. Mereka katakan, pembagian itu karena dulu perempuan tak bekerja, sedangkan sekarang kondisinya sudah berbeda, sehingga hak waris anak laki-laki dan anak perempuan harus dibagi sama rata. Mereka lupa bahwa meski perempuan bekerja, nafkah dirinya tetap ditanggung dan menjadi kewajiban laki-laki, entah ayah, saudara atau suaminya.
BACA JUGA: Ahli Fiqih Ibarat Dokter
Al-Qaradhawi mencela sikap-sikap melampaui batas semacam ini, yang berusaha menabrak perkara-perkara qath’i, muhkam, dan mujma’ ‘alaih. Orang-orang seperti ini ingin menundukkan Syariat di bawah hawa nafsunya. Padahal yang dituntut adalah, hawa nafsu tunduk pada Syariat.
Lalu, tajdid semacam apa yang diusung oleh Al-Qaradhawi dalam ushul fiqih? Bukankah ushul fiqih itu ilmu yang menjadi landasan dalam istinbath ahkam syar’iyyah (penggalian dan penyimpulan hukum Syari’at), jika ia pun perlu diperbarui, lalu apa yang tersisa dari agama ini?
Yang perlu dikritisi pertama kali adalah pemahaman bahwa bahasan ushul fiqih itu semua qath’i. Asy-Syathibi termasuk yang berpendapat semua masail ushuliyyah itu qath’i, dan ini dikritik oleh Al-Qaradhawi. Beliau, mengutip Abu Bakr Al-Baqillani, menyatakan bahwa sebagian bahasan ushul fiqih itu zhanni.
Harus diakui, bagi yang mengkaji bahasan-bahasan ushul fiqih, akan menemukan sebagian bahasannya diperdebatkan oleh para ulama, semisal dalil-dalil yang diperselisihkan kelayakannya sebagai dalil, semisal mashalih mursalah, istihsan, qaul shahabi, dan lainnya. Atau qiyas yang dikritisi oleh kalangan Zhahiriyyah. Bahkan dalam bahasan ijma’, para ulama juga berdebat tentang kemungkinan terwujudnya, terutama pasca era Shahabat radhiyallahu ‘anhum. Ini semua menunjukkan sebagian bahasan ushul fiqih itu zhanni, dan bisa diperdebatkan.
Pada sisi yang mukthalaf inilah, yang kajiannya sangat luas, tajdid bisa bermain. Dan proses tajdid yang dimaksud adalah memilih pendapat yang terkuat dari pendapat-pendapat yang ada.
BACA JUGA: Bermadzhab dalam Fiqih, Pentingkah?
Sisi tajdid lainnya adalah menghidupkan lagi ruh ijtihad, yang selama masa tertentu dibatasi oleh sebagian orang, bahkan sebagian dengan jelas mengatakan pintu ijtihad telah tertutup. Tajdid ushul fiqih berarti menghidupkan lagi semangat ijtihad, mendorong para ulama untuk berijtihad, sesuai dhawabith syar’iyyah, bukan serampangan.
Apa yang beliau kemukakan ini, tentu membuka ruang sangat terbuka untuk didiskusikan, didukung atau dibantah. Namun yang jelas, semangat tajdid yang beliau bawa, bukan pembenaran bagi orang-orang bodoh untuk berijtihad tanpa alat yang memadai, dan hanya bermodal kebebasan berpikir tanpa batas dan slogan “fiqih bukan syari’at”, ungkapannya benar, namun mereka pahami secara keliru. Wallahu a’lam. []
Facebook: Muhammad Abduh Negara