“BU Disekolahnya nggak ada PR, ya?”
“Iya tidak ada,” ujar saya.
“Boleh tau alasannya?”
Sekolah Dasar Inklusi Sentra Salsabila Purwakarta, Juga SD Inklusi Yayasan Azaddy Al-Ghozali Jatinangor, tidak memberi PR, karena siswa belajar melalui proyek, setiap kegiatan ada prosedurnya, salah satu prosedurnya adalah tuntas, start finish lancar, ini untuk membangun fokus perkembangan industry pada anak.
Selanjutnya, kami sangat peduli terhadap membangun kemampuan klasifikasi, salah satunya adalah tugas sekolah ya harus dikerjakan di sekolah agar kelak saat dewasa dia tak akan membawa bawa pekerjaan kantor ke rumah. Saat di rumah, dia fokus dengan kegiatan rumah bersama keluarganya, membangun Quality time.
Bukankah seharusnya sekolah itu membuat anak memiliki kemampuan yang dia butuhkan untuk hidup?
Untuk apa anak mengerjakan PR jika dia malah jadi tertekan dan benci belajar. Apakah target guru memberi PR agar anak mau belajar? Nah, bagaimana jika tujuan baik guru malah membuat anak tertekan dan malas belajar? Atau bahkan orangtuanya yang malah sibuk mengerjakan PR.
Bukankah ada banyak cara selain PR agar anak mau belajar? Itu di SD kami, apalagi untuk TK, PAUD atau RA yang kami kelola, haram hukumnya guru memberikan anak PR.
Simpan dulu kedalam keranjang pemahaman kita yang dulu bahwa belajar itu, membaca buku paket lalu menyelesaikan soal-soal LKS, menulis pada buku tulis bergaris 2, 3 atau lebih, menghapal rumus, perkalian, tanggal, nama pahlawan dan tempat lahir.
Baca Juga:Â Wahai Anak Perempuanku! Jagalah 10 Perkara Ini
Mari kita ganti dengan menyimpan memori baru pada limbik kita, bahwa belajar itu memiliki makna yang luas dan sangat dalam. Sehingga akan banyak cara, kita lakukan bersama anak-anak untuk belajar.
Belajar setiap saat sepanjang hayat dari buaian hingga liang lahat. Hmmm itu amat sangat dahsyat.
Bagaimana caranya? Misal hari ini kita ingin menguatkan anak kita dalam bidang sains, maka kita buat saja kegiatan cooking, buat kue, mulai dari mencari resep, belanja ke toko, membuat adonan dilakukan oleh anak, kita mendampingi saja.
Saat membuat kue, bisa kita alirkan pengetahuan tentang pencampuran warna, perbandingan, perubahan wujud benda. Bahkan saat buat kue, bukan hanya belajar sains, matematika, seni, bahasa, agama juga bisa diajarkan.
Bahasanya bagaimana? Anak bisa mulai baca buku resep, menyalinnya dalam jurnal mereka. Seninya bagaimana?/banyak warna, menyajikan kue, memotong atau cetak kue. Agamanya? Memulai dan mengakhiri dengan do’a, sikap sabar saat proses membuat kue, selalu dialirkan sikap syukur, bisa juga setelah kue matang disedekahkan.
Seandainya setiap sekolah dan rumah tangga, membangun suasana belajar demikian, alangkah bahagia anak-anak kita melahap berbagai pengetahuan. Asyik kan? []