Suatu malam saya terbangun mendengar suara senjata dan ledakan sangat keras. Saat itu saya belum bisa tidur karena suara itu masih sangat terdengar jelas.
Lalu suara kaki orang-orang terdengar. Situasi menegang. Semua orang melarikan diri. Saya pun ikut bersama mereka. Kami berlari mencari tempat aman. Setidaknya menjauh dari orang-orang pembawa senapan itu—militer Myanmar.
Butuh dua hari bagi saya dan saudara Muslim Rohingya yang lain untuk sampai di Bangladesh. Perjalanan yang kami hadapi sangat sulit terlebih bagi saya yang memerlukan tongkat untuk berjalan. Dalam perjalanan itu, saya pernah mendengar suara kapal yang berpatroli di sungai perbatasan. Kapal itu milik militer Myanmar. Ketakutan pun muncul seketika mendengar suara kapal itu.
Sekarang, saya sudah berada di Bangladesh. Tapi ketakutan itu masih menyerang saya. Tetapi saya jauh merasa bahagia di sini, karena tak ada suara senjata atau ledakan di Bangladesh.
Mendengar dan menyaksikan kesengsaraan kami muslim Rohingya, dunia luar mulai tersentuh. Mereka semua mendukung. Itu membuat saya merasa lebih baik. Saya ingin semua orang mendengar cerita ini. Mendengar cerita penderitaan dan perjuangan kami.
Itu adalah ungkapan hati Begum Jaan, seorang wanita berusia 65 tahun yang dulunya tinggal di Rakhine.
Kehidupan ini baginya adalah perjuangan yang panjang. Suaminya sudah meninggal 25 tahun yang lalu. Kedua anaknya (Perempuan) sudah menikah. “Jadi saya tidak punya seseorang yang mendukung saya,” tutupnya. []