Oleh : Noor Ainy El Mansyur
noerabby.isyqu@gmail.com
HIDUP adalah permainan kata dan peran. Jika kau pandai memainkan peran, maka keberpihakkan dunia bersamamu. Begitulah prinsip dangkal dari orang awam sepertiku. Terlahir dari keluarga sederhana membuat tatapan cemooh mengitari setiap langkah.
Tak terhitung berapa banyak duri yang kutelan paksa. Terbunuh oleh kata-kata yang dilemparkan orang terhadapku. Jujur, sabar, tawakal dan ikhlas. Begitulah yang dinasihatkan ibuku tiap berkesah perihal kesulitanku.
“Hey, mundur! Dasar budeg!” hardik Rena, teman sekelasku.
Tatapan cemooh ia hunuskan tepat pada iris hitamku. Aku mundur teratur tanpa komentar. Cahaya surya membuat upacara hari ini serasa di tengah gurun.
Dua jam berdiri di tengah terik pun usai. Seluruh siswa SMAN Bunga Bangsa kembali ke ruang kelas. Rena yang tak pernah menyukaiku kembali berulah. Ia menyenggol tubuh kurusku tanpa ampun. Anak kaya yang congkak itu tak pernah menyukai anak sederhana sepertiku masuk ke sekolah populer. Apalagi karena bantuan beasiswa.
“Oh, Ibu. Andai kau tahu jika praktek tak semudah teori. Mungkin aku takkan tumbuh serapuh ini,” benak ini.
Melangkahkan kaki ke dalam kelas lalu mengikuti pelajaran seperti biasa.
**
Bel istirahat berbunyi nyaring. Seluruh siswa berhamburan bak laron di musim penghujan. Kantin menjadi tujuan utama mereka saat ini. Sementara perpustakaan adalah pelarian bagiku saat istirahat tiba. Konsentrasi buyar ketika telingaku menangkap isak kecil. Pandangan menyisir ke sekitar. Tak jauh dari tempatku duduk, gadis berambut coklat menelungkupkan wajah di atas meja.
“Maaf, kamu kenapa?” tanyaku.
Gadis itu menoleh. Raut yang tengah kusut dan tatapan sayunya langsung kukenali.
“Mira? Kamu kenapa? Sakit ya?” lanjutku.
Orang yang kutanya menggeleng kecil. Kehadirannya di perpustakaan bisa dikatakan keajaiban. Sama seperti Rena, anak pengusaha ternama ini, akan lebih memilih menghabiskan waktu di kantin daripada bulukan di perpustakaan. Kutarik kursi hingga beberapa senti di dekatnya.
“Ada apa? Ga biasanya kamu gini?”
“Uang untuk bayar SPP ku ilang. Padahal sisanya jatah jajanku. Aku takut dimarahi ayah nanti. Aku juga malu kalau diem terus di kelas karena ga jajan,” terang Mira.
Aku bungkam. Kebiasaan hidup mewah telah meninggalkan rasa gengsi berlebih di hati teman sekelasku ini.
“Coba kamu ingat-ingat lagi di mana kamu nyimpan uangnya tadi? Mungkin jatuh,” lanjutku kemudian.
“Aku belum ke mana-mana selain ke toilet dan koprasi. Habis upacara tadi, aku beli balpoint,” jawabnya.
“Sudah dicari sekitar sana?”
“Udah. Tapi ga ketemu.”
Aku kembali bungkam. Bunyi perut Mira yang keroncongan kembali menyita perhatian.
“Kamu lapar?”
Mira mengangguk pasrah, memegangi perut.
“Tadi pagi belum sempat sarapan.”
“Gini aja, aku bantu kamu nyari uangmu. Siapa tau jatuh. Sementara itu, kamu isi perut dulu
deh!” saranku.
“Tapi aku ga ada uang sama-sekali. Gimana mau beli makanan?” protesnya. Aku
menggumam kecil.
“Mungkin aku ga punya uang jajan sebanyak kamu. Tapi kuharap ini cukup untuk beli roti, sekadar pengganjal lapar,” saranku, menyerahkan selembar uang lima ribuan.
Mira memandangi uang di tanganku. Tatapannya menyisir dari ujung kepala hingga ujung kakiku. Mengerti tatapan selidiknya, diam-diam kusembunyikan jempol kaki yang keluar karena sepatu bolongku.
“Kamu sendiri ga makan? Kenapa malah ngasih uang jajanmu padaku?” ujarnya.
“Gak apa-apa. Kamu lebih membutuhkannya saat ini. Lagipula, aku sedang puasa. Ini ambilah! Biarpun ga seberapa,” jawabku.
“Makasih ya. Maaf sudah merepotkan,” ujarnya.
Aku mengangguk kecil kemudian berlalu. Kususuri semua tempat yang Mira datangi hari ini. Lima belas menit kemudian, lembaran kertas merah menggulung, bersembul di balik daun kering. Langkah semakin dipercepat. Aku tersenyum penuh syukur ketika benda yang kucari ditemukan.
“Uangmu ketemu, Mir!” seruku girang.
“Benarkah? Ketemu di mana?” balas Mira, tak kalah sumringah.
“Di lapang. Kehalang daun kering tadi,” jawabku.
“Halah alasan! Bilang aja kamu yang nyuri kan? Pake alasan nemu lagi!” tuduh Rena, teman sebangku Mira.
Aku mengelus dada. Hampir saja amarah yang kutahan sejak pagi buyar.
“Aku ga habis pikir kenapa kamu bisa bilang gitu padaku. Tapi, terserah apa katamu. Aku ga mau berurusan denganmu!” elakku, menyerahkan uang ke tangan Mira.
“Kalau maling ngaku, penjara pasti penuh!” Rena masih belum menyerah.
Aku membalas tatapan nyalang si gadis berambut pirang.
“Percayai aja apa yang menurutmu benar! Kebenaran itu takkan berubah warna ataupun bau!” balasku.
Tatapan menyelidik semua orang bagai pisau yang dihujamkan tepat di ulu hati. Kalau boleh jujur, aku sangat terganggu dengan semua itu. Selama ini, aku sudah kenyang dengan tatap iri dan curiga orang-orang di sekeliling.
Bagai terdakwa, aku duduk di atas kursi pesakitan. Menunggu hukuman atas kesalahan yang tak kulakukan.
Beruntung bel yang berdering menghentikan perhelatan kami. Pelajaran kembali berlanjut hingga bel pulang berbunyi. Segera kami membereskan alat tulis kemudian bergegas pulang.
“Mir, uangmu jatuh lagi tuh! Orang kaya senang membuang-buang duit ternyata ya?” sindirku, menghentikan langkah Mira dan Rena yang berjalan dua langkah di depanku.
Mira memungut kembali uangnya. Tak kuhiraukan ucapan terimakasih Mira atau tatapan benci Rena. Aku tetap berlalu tanpa menoleh keduanya.
**
Semburat keemasan menghias indah di ufuk barat. Avanza putih berhenti tepat di depan gubuk reyotku. Mira dan ayahnya keluar dari dalam mobil. Kubuka pintu usai mendengar ketukan.
“Maaf, ada apa ya?” selidikku.
Ayah Mira tersenyum menatapku kemudian beralih memandang putrinya yang menundukkan wajah.
“Mira, ayo bicara!” suruh ayahnya.
Mira mengangkat wajah, memandangku.
“Aku mau minta maaf untuk kejadian siang ini. Aku sempat termakan ucapan Rena. Makanya pulang sekolah tadi, aku sengaja menjatuhkan uangku untuk menguji kejujuranmu.” Mira terbata.
“Lalu?” balasku mangkel.
“Lalu dugaanku ternyata salah. Kamu orang jujur. Tak seharusnya mendapat perlakuan jahat setelah membantu kesulitan orang lain. Untuk itu aku minta maaf,” lanjut Mira.
“Oh begitu. Ya sudah, tak ada yang perlu dimaafkan. Lain kali hati-hati aja kalau nyimpen uang. Aku ga mau kejadian kayak gini terulang lagi,” jawabku. Mira mengangguk setuju.
“Oh iya, kami bawakan ini untukmu. Terima, ya!” pinta Mira, menyerahkan plastik putih ke tanganku.
“Apa ini? Maaf, aku ga bisa menerimanya,” jawabku, menyerahkan lagi kantong plastik.
“Jangan ditolak, Ainy! Ga baik menolak rizki. Kami ikhlas ko ngasihnya!” bela ayah Mira.
Sejenak aku merenung. Menimbang antara menerima atau menolak. Ayah Mira kembali memintaku menerima hadiah mereka.
“Baiklah, hadiahnya kuterima. Makasih ya, Mir, Om. Semoga kebaikan kalian jadi ibadah,” jawabku.
Mira dan Ayahnya tersenyum mengangguk. Kemudian pamit pulang
Hadiah kubuka lepas mereka berlalu. Aku bersyukur ketika sepasang sepatu cantik terlihat dari dalam kotak. Sudah lama aku mengumpulkan uang untuk membeli sepatu baru yang rusak. Dan hari ini aku mendapatkannya dengan cuma-cuma. []
WJ, 1006016