Assalamu’alaikum Warahamtullahi Wabarakatuh, Ustadz, perkenalkan saya Nurmilah dari Purwakarta, Jawa Barat. Saya ingin segera menikah.
InsyaAllah akhir bulan Mei ini saya akan dikhitbah. Tetapi rencana pernikahannya seminggu setelah bulan Syawal, jadi dari khitbah saya dan calon suami masih menunggu sekitar dua bulan ke pernikahan.
Kami berdua sebenarnya ingin langsung menikah setelah khitbah karena kami berdua sangat khawatir terjerumus ke dalam fitnah, apalagi sampai zinah, baik zinah kecil yang terkadang suka dianggap lumrah oleh sebagian orang.
Yang jadi masalah, ibu saya masih di luar negeri dan beliau melarang saya untuk segera melangsungkan pernikahan walau hanya akad nikah saja. Ibu inginnya kami menikahnya menunggu beliau pulang dari luar negeri yaitu nikahnya bulan Syawal itu tadi. Ini karena ibu ingin menghadirinya.
BACA JUGA: 6 Tujuan Menikah Menurut Islam
Kami berencana melangsungkan pernikahan tanpa sepengetahuan ibu dan pernikahan setelah Syawal pun tetap berlangsung sesuai dengan rencana ibu. Ustadz, apakah hal yang kami rencanakan ini baik ataukah tidak? Kami mohon solusinya.
Jazakallah khoiran katsiran
Nurmilah-Purwakarta
Wa’laykumussalam warahmatullahi wabarakatuh. Ukhti Nurmilah rahimakumullah, setelah mencermati niat baik Saudari untuk menyegerakan rencana akad nikah, saya secara pribadi mengapresiasi niat tersebut dengan bangga, karena saudari termasuk salah seorang muslimah yang masih berusaha untuk menjaga diri (iffah) dari perbuatan yang diharamkan Allah SWT mudah-mudahan Saudari termasuk ke dalam kelompok yang mendapatkan keberuntungan dari Allah, karena telah menjaga harga dirinya.
Berdasarkan firman Allah swt. dalam al-Qur’an Surat al-Mu’minun[23]:5, “ dan orang yang memelihara kemaluannya.” Mudah-mudahan kebaikan ini juga diikuti oleh remaja-remaja muslimah yang lainnya. Hal ini penting mendapatkan perhatian, karena tidak sedikit generasi muda saat ini, lebih senang menikmati masa remajanya dengan kemaksiatan.
Salah satu bentuk kemaksiatan yang marak menimpa kawula muda adalah pacaran. Pacaran dianggap ajang untuk saling mengenal calon pasangan masing-masing agar lebih dekat dan memahami karakter masing-masing.
Padahal berpacaran termasuk kedalam perbuatan mendekati zina (qurb al-Zinâ) yang diharamkan Allah swt. Hal ini ditegaskan dalam al-Qur’an Surat al-Isra’[17]: 32: “ dan janganlah kamu mendekati zina; (zina) itu sungguh suatu perbuatan keji, dan suatu jalan yang buruk.”
Banyak bentuk kemaksiatan yang terjadi menimpa generesi remaja putra maupun putri saat ini, maka upaya yang harus dilakukan guna menangkal budaya tersebut dengan cara menguatkan akidah generasi muda kita, juga membekali mereka tentang pemahaman Islam (tsaqofah islamiyah) dengan cara mengkaji secara intensif ajaran Islam melalui lembaga-lembaga pranata pendidikan keagamaan seperti majelis ta’lim.
Meminang dalam Islam dikenal dengan istilah khitbah. Menurut Sayyid sabiq dalam fiqih sunnah (juz II, hlm. 195). Khithbah secara bahasa berasal dari kata khathaba-yakhthubu-khathba[an] artinya bicara.
Khithbah merupakan pendahuluan dari pernikahan dengan tujuan agar tiap-tiap pasangan yang akan menikah mengenal pasangannya, sehingga mendapatkan kemantapan hati untuk melaksanakan pernikahan.
Pelaksanaan khithbah tidak berakibat hukum apa-apa kecuali wanita yang telah dikhitbah oleh seorang laki-laki haram hukumnya menerima pinangan laki-laki lain.
Hal ini berdasarkan riwayat dari Uqbah bin Amir r.a, meriwayatkan bahwa Rasulullah ﷺ bersabda: “Orang mukmin itu bersaudara dengan orang mukmin yang lain.
Karena itu, ia tidak diperbolehkan untuk membeli barang yang sedang ditawar oleh saudaranya dan tidak diperkenankan untuk meminang pinangan saudaranya hingga saudaranya itu meninggalkannya (memutuskan pertunangannya),” (HR. Muslim, dalam shahih muslim, bab tahrîm al-khithbah ‘alâ khithbati akhîkhi hatta lâ ya’dzna aw la yatruka, no 56).
Tidak ada keterangan dari baginda Rasulullah ﷺ tentang batasan waktu khitbah secara jelas, namun pada prinsipnya antara khitbah dengan akad nikah tidak terpaut waktu terlalu lama agar tidak terjadi fitnah apalagi menghalalkan khalwat (pacaran).
Terkait dengan pertanyaan ukhti Nurmala, kami memberikan saran berikut ini:
1. Yakinkan bahwa keputusan untuk naik ke pelaminan setelah proses khitbah dilaksanakan benar-benar bertujuan ibadah karena Allah swt. Bukan atas dorongan hawa nafsu atau yang lainnya, sebab nikah adalah salah satu bentuk ibadah yang dianjurkan oleh baginda kita Rasulullah ﷺ.
BACA JUGA: Menikah dengan Satu Pengajian
2. Mintalah kepada wali saudari untuk segera dinikahkan secara agama dan tercatat secara administrasi dalam lembaran negara, sebab seorang gadis itu yang lebih berhak adalah walinya daripada dirinya.
3. Terkait permintaan ibu yang masih di luar negeri, alangkah baiknya rencana gembira ini disampaikan saja, namun yang menyampaikan rencana akad nikah disegerakan adalah wali Anda.
Hal ini tentunya akan lebih memudahkan dan insyaallah tidak menyakiti perasaannya karena rencana itu disampaikan oleh wali mujbir (ayah atau yang mewakilinya) jika telah merestuinya.
Tentu berita ini disampaikan kepada ibu Anda dengan dilandasi alasan-alasan syar’i agar terhindar dari perbuatan zina, terlebih jika dikhawatirkan terjerumus zina maka nikah menjadi wajib hukumnya dan harus segera didahulukan. Wallahu a’lam bi al-shawab. []