TANYA: Sebagian kalangan Sufi enggan berikhtiar dengan alasan bertawakkal kepada Allah dan berserahdiri kepada takdir dan ketentuan-Nya. Apakah pendapat itu benar? Bagaimana seharusnya?
JAWAB: Pandangan seperti itu adalah musibah yang sudah menyebar luas dan menjadi batu ujian yang besar, dalam ukuran pribadi maupun masyarakat. Islam sudah keluar dari persepsi sesat semacam itu. Islam memandang berikhtiar adalah sebuah kewajiban dan setiap Muslim harus bisa meneliti sebab akibat, baru menentukan sikap. Masuk rumah, haruslah melalui pintu. Maka dengan izin Allah, mereka akan dapat melewati masa-masa krisis dan berbagai musibah, sehingga kembalilah kejayaan Islam. Karena demikianlah kondisi Islam di masa-masa keemasannya.
BACA JUGA:Â Antara Ikhtiar dan Do’a
Adapun pada masa-masa sekarang ini, banyak sekali lumpur kejahilan, angin kekufuran dan keterasingan Islam keras berhembus, kebid’ahan dan kesesatan tersebarluas, maka pemahaman semacam ini sudah menjadi rancu di kalangan kaum muslimin.
Banyak di antara mereka yang memasukkan sikap “bersandarpasrah” dalam keimanan terhadap qada dan qadar, sebagai alat untuk mengejar kehidupan dunia, dengan menjauhkan diri dari sikap giat dan rajin, dari memikirkan hal-hal yang bernilai tinggi, jalan-jalan menuju kejayaan dan keselamatan; sehingga akhirnya mereka menempuh jalan yang terlihat mudah tapi penuh bencana, ketimbang menempuh jalan yang sulit meski penuh kenikmatan.
Jalan keluar menurut mereka adalah bersandar pada takdir, sadar bahwa Allah itu Maha Mampu melakukan segala yang dikehendaki, bahwa apa yang dikehendaki Allah pasti akan terjadi dan yang tidak dikehendaki-Nya tidak akan terjadi. Kehendak-Nya itu pasti akan terjadi dan keinginan-Nya pasti akan berlangsung. Takdir dan ketentuan-Nya, pasti akan berlaku. Kita tidaklah memiliki daya dan kemampuan, tidak memiliki campur tangan sedikitpun.
Demikianlah semua itu terjadi dengan mudah dan wajar kita berserahdiri kepada takdir tanpa menggugatnya dengan berikhtiar melakukan hal-hal yang boleh dan disyariatkan. Sehingga tidak ada lagi amar ma’ruf nahi mungkar, tidak ada lagi berjihad melawan musuh-musuh Allah, tidak ada lagi hasrat menyebarkan ilmu dan memberantas kebodohan, tidak ada lagi upaya memerangi pemikiran-pemikiran merusak dan prinsip-prinsip yang sesat, dengan alasan, bahwa Allah menghendaki semua itu!
Pada hakikatnya, ini adalah musibah besar dan kesesatan mendalam yang akan menggiring umat ini menuju kehinaan, keterbelakangan dan keruntuhan, menyebabkan para musuh menguasai mereka, sehingga terjadilah musibah demi musibah.
Sesungguhnya ikhtiar tidaklah bertentangan dengan iman kepada takdir, bahkan termasuk bagian kesempurnaan iman tersebut. Allah menghendaki sesuatu terjadi pada diri kita, dan menghendaki kita untuk melakukan sesuatu. Sesuatu yang dikehendaki untuk terjadi pada diri kita pasti akan Allah berlakukan. Sementara sesuatu yang Allah inginkan untuk kita kerjakan pasti akan diperintahkan kepada kita untuk melaksanakannya. Allah menginginkan kita untuk mengemban dakwah terhadap orang-orang kafir, meskipun Allah tahu bahwa mereka tidak akan beriman.
Allah juga ingin kita memerangi mereka, meskipun Allah tahu kita akan kalah di hadapan mereka. Allah ingin kita menjadi umat yang satu, meskipun Allah tahu kita akan berselisih dan berpecah-belah. Allah ingin kita bersikap keras terhadap orang-orang kafir dan bersikap lemah lembut terhadap sesama mukmin, meskipun Allah tahu bahwa akan terjadi permusuhan dahsyat di antara sesama mukmin sendiri, demikian seterusnya.
Mencampuradukkan antara yang dikehendaki Allah terhadap kita dengan yang Allah kehendaki dari diri kita, itulah yang menjadi rancu dan menjerumuskan ke dalam hal-hal terlarang.
Betul, bahwa Allah adalah Maha Mampu melakukan apa saja yang dikehendaki, Yang Menciptakan segala sesuatu, di tangan-Nya terhadap kekuasaan terhadap segala hal, Yang Memiliki ikatan langit dan bumi. Akan tetapi Allah SWT menciptakan rambu-rambu di dunia ini untuk dijadikan sebagai petunjuk, berbagai undang-undang yang dijadikan aturan, meskipun Allah sendiri mampu menghancurkan rambu-rambu dan undang-undang tersebut, meskipun Allah juga tidak menghancurkannya untuk setiap orang.
Keimanan bahwa Allah mampu menolong kaum mukminin melawan orang-orang kafir, tidak berarti Allah akan tetap menolong mereka sementara mereka duduk berpangkutangan tanpa berikhtiar. Karena kemenangan itu mustahil tanpa adanya usaha. Sementara kemampuan Allah itu tidak berhubungan dengan hal yang mustahil, karena itu bertentangan dengan kebijaksanaan dan ke-maha-kuasaan Allah yang berkaitan dengan kebijaksanaan-Nya tersebut.
BACA JUGA:Â Keseimbangan Antara Ikhtiar dan Tawakal
Keberadaan Allah yang Kuasa terhadap sesuatu tidaklah berarti seseorang, satu masyarakat atau satu umatpun kuasa terhadap sesuatu tersebut. Kekuasaan Allah itu adalah sifat yang khusus bagi Allah, sementara kekuasaan seorang hamba itu juga khusus baginya. Mencampuradukkan antara kekuasaan Allah dan kekuasaan hamba serta pelaksanaan hamba terhadap perintah Allah itulah yang akhirnya menggiring pada sikap berpangkutangan, yang telah membius umat dan masyarakat islam.
Demikianlah yang telah diteliti dan dicermati oleh salah seorang orientalis Jerman. Dalam menceritakan sejarah kaum muslimin di masa-masa belakangan ia menuturkan: “Tabiat dasar seorang muslim adalah berserahdiri kepada kehendak Allah, ridha terhadap takdir dan kekuasaan Allah serta tunduk terhadap segala yang dimiliki oleh Yang Maha Tunggal Lagi Maha Perkasa…”
Ketaatan semacam itu menimbulkan dua pengaruh berbeda. Pada masa awal Islam, sikap ini memainkan peranan besar dalam peperangan dan merealisasikan kemenangan yang berkesinambungan, karena dapat menimbulkan semangat pengorbanan pada diri seorang tentara muslim. Sementara pada masa-masa belakangan justru menimbulkan sikap statis yang menghantui dunia Islam, mendorong melakukan bunuh diri, menjauhkan dan mengisolir mereka dari arus perkembangan zaman.” (Al-Ilmaniyyah oleh Safar Al-Hawali menukil dari Belt Smit dalam bukunya Al-Islam Quwwatul Ghad Al-Alamiyyah hal. 87)
SUMBER: ISLAMQA