KAIDAH yang dikemukakan oleh para ulama, “Asal dari ibadat itu tauqifiyyah, sedangkan asal dari perkara ‘adah (non-ibadat) itu boleh”. Artinya, dalam ibadah (maksudnya ibadah mahdhah, bukan ibadah dalam arti luas) kita wajib menemukan dalil yang menunjukkan disyariatkannya ibadah tersebut, baru ia kita lakukan, baik dalilnya dinashkan dalam Al-Qur’an dan/atau As-Sunnah maupun yang diturunkan dari keduanya, berupa ijma’ atau qiyas yang benar.
Sedangkan perkara ‘adah (non ibadah mahdhah), baik dalam makanan, minuman, pakaian dan berbagai aktivitas kehidupan dan interaksi antar sesama manusia, hukum asalnya boleh atau mubah atau halal, kecuali jika terdapat dalil yang menunjukkan ia dilarang.
BACA JUGA: Hukum Orang yang Meninggalkan Shalat
Jadi, dalam perkara ‘adah, yang perlu dicari bukanlah dalil yang membolehkannya, karena hukum asalnya memang boleh. Yang perlu dilihat, adakah dalil yang menunjukkan ia dilarang, jika tak ditemukan, maka kembali ke hukum asal yaitu boleh.
Ini bisa diterapkan untuk kasus mudik, ucapan selamat hari raya, saling berkunjung pada ‘idul fitri, memakai jenis pakaian tertentu, tradisi berkumpul dan makan-makan karena hal tertentu yang tak ada unsur ibadahnya, dan lain-lain. []
Facebook: Muhammad Abduh Negara