SEBAGAI orangtua tentu kita menginginkan anak-anak kita -yang masih SD misalnya- berprestasi di sekolah dan selalu menjadi ranking. Tak jarang orangtua rela menawrkan hadiah besar agar anaknya jadi juara. Namun adakah orangtua yang bilang :”Nak, kalau kamu bisa jadi juara tahun ini, ayah akan membelikan kamu lukisan asli karya Rembrandt yang harganya milyaran, untuk kamu pasang di dinding kamarmu.”
Pertanyaannya: apakah iming-iming hadiah tersebut akan memacu si anak untuk berusaha menjadi juara?
Lukisan Rembrandt mungkin bernilai mahal, namun seorang anak SD lebih suka diberi hadiah PlayStation keluaran terbaru, atau gadget paling mutakhir yang harganya jauh lebih murah dari lukisan tadi. Karena memang kebutuhan dan keinginan anak SD bukanlah sebuah lukisan mahal.
BACA JUGA: 4 Keistimewan Bidadari Surga yang Belum Pernah Terbayangkan
Pertanyaan lainnya; Apakah untuk melatih seekor harimau peliharaan agar bisa main sirkus, kita mengiming-iminginya dengan seikat rumput saat harimau tersebut berhasil menjalankan perintah? Atau seekor lumba-lumba yang dilatih akan diberikan handphone karena berhasil melakukan atraksi sesuai keinginan? Bisa dipastikan kita sudah salah kaprah menilai keinginan dan kebutuhan hewan peliharaan kalau melakukan hal tersebut.
Janji surga juga demikian.
Ketika Allah SWT menciptakan manusia, lalu menginginkan mereka untuk menjalani hidup dalam kepatuhan dan ketaatan kepada perintah dan larangan, janji surga seperti apa yang akan ‘diiming-imingi’-Nya agar manusia bisa terdorong untuk mengikutinya?
Sebagai pencipta manusia, Allah SWT tentu saja mengetahui apa yang ada dalam diri manusia, menyangkut kebutuhan dan obsesi manusia tersebut, karena Dia telah mendesainnya berdasarkan ilmu-Nya. Bahkan dipastikan Allah jauh lebih mengetahui manusia melebihi pemahaman manusia tersebut terhadap dirinya sendiri.
Allah SWT menciptakan kita lengkap dengan nafsu dan keinginan, lalu bagaimana mungkin ketika Dia menjanjikan surga, lalu Allah SWT mengatakan: ”Aku akan menjadikan kamu hidup seperti malaikat yang tidak punya keinginan lagi.” Siapakah manusia – yang sudah menjalani hidup lengkap dengan keinginan dan bisa merasakan nikmatnya ketika keinginan tersebut terpenuhi – merasa tertarik untuk hidup menjadi malaikat?
Siapakah manusia yang selama ini bisa merasakan kenikmatan hubungan seksual akan terpesona ketika dijanjikan nanti tidak akan lagi punya keinginan tersebut, tidak kawin dan dikawinkan? Kecuali kalau berhubungan seksual bukan sesuatu hal yang nikmat bagi manusia, tapi lebih berbentuk sebagai siksaan, maka janji ‘tidak kawin dan dikawinkan’ bisa dikatakan sebagai suatu hal yang didambakan.
Kita bisa mengatakan bahwa Allah SWT telah salah memberikan janji, seolah-olah Dia tidak tahu apa yang menjadi kebutuhan dan harapan hamba-Nya.
Islam mengajarkan bahwa manusia ditempatkan ke dunia bukan untuk menjalankan kutukan, sebaliknya ini adalah kesenangan yang sementara, disampaikan Allah ketika Dia memerintahkan Adam dan Hawa untuk turun ke bumi:
“Lalu keduanya digelincirkan oleh setan dari surga itu dan dikeluarkan dari keadaan semula dan Kami berfirman: ‘Turunlah kamu! Sebagian kamu menjadi musuh bagi yang lain, dan bagi kamu ada tempat kediaman di bumi, dan kesenangan hidup sampai waktu yang ditentukan.” (QS. Al-Baqarah: 36)
Dan bagaimana bentuk kesenangan tersebut dijelaskan Al-Qur’an secara lebih rinci :
“Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu: wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia, dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik (surga).” (QS. Ali-Imran: 14)
Ketika Allah menceritakan apa saja faktor yang bisa dijadikan kesenangan hidup manusia di dunia, Dia sama sekali tidak mengecam semua itu sebagai sesuatu yang salah, hina, dan rendah. Jelas sekali kalau ayat tersebut menyatakan bahwa memang itulah bentuk-bentuk kesenangan manusia yang telah dianugerahkan Allah.
Lalu disaat Allah mengiming-imingi kita dengan janji surganya, Dia seolah-olah mengatakan :”Bisa dirasakan toh, bagaimana enaknya kalau kesenangan dan keinginan kamu terpenuhi? Nah di surga akan kamu dapatkan yang lebih dari itu.” Selanjutnya kita hanya bisa membayangkan bagaimana nikmatnya kalau janji tersebut bisa kita peroleh.
Janji surga dalam Islam sangat memenuhi kodrat kita sebagai manusia, sanggup memenuhi relung-relung hati, merasuk ke alam bawah sadar dan menyentuh segala obsesi yang mungkin ada. Ini ibarat anak SD dijanjikan gadget terbaru atau PlayStation mutakhir yang memang sangat diimpi-impikannya. Janji tersebut lalu memberi dorongan positif kepada sikap kita untuk berusaha memenuhi segala persyaratan agar bisa memperolehnya.
BACA JUGA: Kisah di Balik Aroma Surga Dekat Gunung Uhud
Kita lalu berusaha untuk menjadi hamba-Nya yang patuh, menjalankan segala perintah dan menjauhi semua larangan, mengisi setiap perbuatan dengan penuh pengharapan agar Allah meridhoi dan menerimanya. Maka ketika Allah menjanjikan surga, tempat segala keinginan terpenuhi (QS 16:31 dan QS 25:16) ini menunjukkan bahwa Allah sangat mengetahui manusia dengan segala keinginannya, janji yang diberikan-Nya sanggup memenuhi kebutuhan dan keinginan kita.
Ada ‘pembelaan diri’ yang disampaikan ketika seseorang mengatakan :”Bagi saya kebahagiaan tertinggi adalah bisa hidup bersama Allah SWT di surga, setiap hari menerima curahan rahmat dan anugerah-Nya. Tidak ada lagi kebahagiaan yang lebih tinggi dari itu..”. Kita bisa bertanya :”Lalu dalam peranan sebagai apa kamu harus menjalani keadaan tersebut?” Karena umat Islam tentu saja akan menjalani hal yang sama, di surga akan hidup bersama Allah, setiap hari mendapat rahmat dan curahan kasih-sayang-Nya yang tidak terbatas, bahkan dalam Alquran dikatakan para penghuni surga akan diberikan kesempatan untuk melihat wajah Allah. Namun semua itu dijalankan dalam peranannya sebagai manusia lengkap dengan segala kodrat kemanusiaannya, bukan sebagai makhluk lain seperti malaikat.
Apa enaknya jadi malaikat? Makhluk yang tidak punya keinginan, yang artinya tidak pernah bisa merasakan kenikmatan ketika keinginan tersebut terpenuhi? Sesuatu dikatakan nikmat bukan karena kita tidak pernah merasakan gatal, tetapi ketika kita gatal, lalu kita bisa menggaruknya dengan bebas.
Janji surga dalam Islam, bukan seperti mengiming-imingi harimau dengan seikat rumput. []
SUMBER: LAMPU ISLAM