TAKDIR.
Adalah ilmu Allah/ ketentuanNya yang sudah ditulis di lauhul mahfuzh 50.000 tahun sebelum diciptakan langit dan bumi.
Beriman kepada takdir butuh terhadap ketundukan terhadap dalil-dalil, sebab kemampuan akal manusia yang terbatas jika dipaksa untuk memahami takdir maka tidak akan mampu.
Allah Ta’ala berfirman,
وَمَا أُوتِيتُمْ مِنَ الْعِلْمِ إِلَّا قَلِيلًا
“Dan tidaklah kamu diberi ilmu melainkan sedikit.” (QS. Al-Isra’: 85)
Akal manusia memiliki keterbatasan untuk menjangkau ilmu Allah. Begitu juga dengan mata dan pendengaran.
Bagaimana mungkin seseorang dapat memikirkan tentang perbuatan Allah seperti memikirkan mengapa Allah berbuat begini dan begitu, sedang ilmu Allah sangat luas.
8 POIN PENTING TENTANG TAKDIR
Takdir adalah ilmu Allah bahwa sejak 50 ribu tahun Allah telah tetapkan segala sesuatu di lauhul Mahfuz. Yang pertama kali Allah ciptakan adalah al-qalam (pena), lalu Allah berfirman, ‘Tulislah!’ Ia bertanya, ‘Wahai Rabb-ku apa yang harus aku tulis?’ Allah berfirman, ‘Tulislah takdir segala sesuatu sampai terjadinya Kiamat.’”(Shahih, riwayat Abu Dawud (no. 4700)
Ada beberapa poin penting tentang takdir yang perlu dipahami. Benar dalam memahaminya akan berpengaruh terhadap kehidupan seseorang.
1. Kita harus yakin bahwa Allah itu maha adil.
Semua yang diciptakanNya sudah dalam takaranNya. Artinya Allah maha tahu hal yang pantas untuk makhlukNya. Semua dalam pengetahuanNya.
Kasat mata orang yang merana, miskin, jalan hidup yang buruk akan merasa Allah tidak adil kepadanya. Padahal semua itu sudah dalam IlmuNya. Apa tujuan Allah? Bagaimana bisa Allah berkehendak? Kita hanya bisa melihat hikmah dan kita wajib menerima.
Karena sejatinya baik dan buruk sesuatu itu bukanlah yang akan diperkarakan Allah kelak. Melainkan bagaimana manusia menyikapi dan melaluinya. Tak ada yang lepas dari skenario Allah, apa pun dan siapa pun yang datang hanyalah sebuah ujian yang akan menentukan baik atau buruknya diri seseorang.
BACA JUGA: Iman kepada Takdir
2. Allah beri manusia akal, untuk bisa memilih mana yang baik dan buruk, dosa atau pahala.
Karena Ada wilayah ikhtiar. Dimana manusia diberi pilihan (lingkaran kehendak manusia) yang akan diminta pertanggungjawabannya kelak.
Contoh, menjaga iman, menjaga tubuh, menjaga bumi, memilih jalan yang lurus.
Ada wilayah dimana kita tidak bisa memilih. Ini ranah Allah secara mutlak. kita tidak bisa memilih (hanya Allah yang tahu rahasia di balik itu)
Contoh: bentuk tubuh, cantik, jelek, cacat atau tidak, rezeki, lahir, ajal dan sebagainya. Perkara ini tidak akan dihisab atau diminta pertanggungjawabannya.
3. Ikhtiar dinilai sebagai ibadah.
Masalah hasil itu bukan wilayah pilihan manusia tapi wilayah Allah secara mutlak.
Hasil yang baik sejatinya bukan karena hebatnya manusia dalam ikhtiar. Tapi Allah yang menghendaki dan ditakar sesuai yang dikehendakiNya.
Contoh, ingin menjadi pemimpin, mencari kerja, ingin beramal yang banyak. Ingin menjadi pengusaha, dokter, dan seterusnya.
4. Allah akan memudahkan apa yang menjadi takdir seseorang.
Jika Allah ingin menghinakan seseorang, maka Allah mudahkan orang tersebut untuk melakukan dosa (Allah halangi ia dari kebaikan).
Sebaliknya jika Allah ingin memuliakan seseorang Allah mudahkan ia dalam menjalankan ketaatan.
Contoh, seseorang sudah memilih ingin terus beribadah tapi jika Allah tak menghendakinya ya tak akan terlaksana.
Seseorang ingin berniat mencuri tapi jika Allah halangi dari perkara buruk maka juga tidak terlaksana.
Jadi hukum sebab akibat tidak selamanya berlaku. Misalnya berpikir bahwa dengan ikhtiar yang banyak pasti hasilnya banyak, belum tentu. Atau ada takdir orang yang bekerja dari pagi hingga malam tapi hasilnya tak seberapa. Karena kuncinya ada pada bagaimana Allah berkehendak aja
Adilkah? Lihat di poin 3
5. Hal besar yang membedakan ahlussunah dengan pemikiran lain adalah bahwa *SAAT MANUSIA BERKEHENDAK, TENTUNYA TIDAK LUPUT DARI KEHENDAK ALLAH *
Karena Semua yang terjadi adalah atas kehendak Allah.
Dan perlu diketahui bahwa “Allah menghendaki” tidak sama dengan “Allah merestui/ meridhoi”
Pemikiran qodariyah, jabariyah atau pemikiran lain yang mengelompokkan kehendak Allah dengan manusia (secara mutlak terpisah) berbeda dengan pemikiran yang diambil ahlussunah. Karena manusia tidak bisa memilih secara mutlak tanpa adanya kehendak Allah.
6. Doa mengubah takdir (takdir yang bisa berubah)
Terdapat dalam hadis Tsauban radhiyallahu ‘anhu, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, bahwasanya beliau bersabda,
إن العبد ليحرم الرزق بالذنب يصيبه، وإن القضاء لا يرده إلا الدعاء، وإن الدعاء مع القضاء يعتلجان إلى يوم القيامة، وإن البر يزيد في العمر
“Sesungguhnya seorang hamba terhalangi dari rizkinya karena dosa yang dilakukannya. Sesungguhnya takdir itu tidaklah berubah kecuali dengan doa. Sesungguhnya doa dan takdir saling berusaha untuk mendahului, hingga hari kiamat. Dan sesungguhnya perbuatan baik (kepada orang tua) itu memperpanjang umur.” (HR. Ahmad no. 22438, Ibnu Majah no. 22438, dihasankan oleh Syu’aib Al-Arnauth dalam Takhrij Al-Musnad)
Dengan doa manusia bisa meminta diperbaiki semua urusannya. Maka dalam wilayah ini manusia diberi kesempatan untuk meminta sebanyak banyaknya kepada Allah. Sesungguhnya doa adalah inti dari ibadah. Meski tidak dikabulkan akan tetap bernilai pahala di sisi Allah.
7. Setiap apa yang ditakdirkan kepada seseorang adalah yang terbaik untuknya.
Dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Aku begitu takjub pada seorang mukmin. Sesungguhnya Allah tidaklah menakdirkan sesuatu untuk seorang mukmin melainkan pasti itulah yang terbaik untuknya.” (HR. Ahmad, 3:117)
BACA JUGA: 4 Cara Mengubah Takdir, Apakah Bisa?
8. Sebuah kesalahan dalam memahami takdir adalah berdalil dengan takdir untuk melegalkan kesalahan.
Sebab bagaimana mungkin seseorang berdalil dengan sesuatu yang ia tidak tahu tentangnya. Memang benar sudah ditakdirkan, akan tetapi takdir tersebut tidak diketahui, dan Allah pun memberikan pilihan kepada setiap manusia untuk menjalankan takdirnya. Perkara inilah disebut dengan Sirrullah Al-Makhtum (rahasia Allah yang tersembunyi).
Imam Ibnu Hajar berkata, “Tatkala kaum musyrikin menentang (untuk melegalkan kesyirikan mereka)…mereka berdalil dengan kehendak Allah dan takdir yang mendahului. Ini adalah argumentasi yang terbantahkan, karena takdir tidaklah membatalkan syariát dan berlakunya hukum-hukum kepada para hamba dengan perbuatan mereka. Barangsiapa yang Allah takdirkan melakukan kemaksiatan maka itu pertanda bahwa Allah mentakdirkan atasnya hukuman…dan barangsiapa yang Allah takdirkan melakukan ketaatan maka ini tanda bahwa mentakdirkan baginya pahala.” (Fathul Baari 13/449)
Wallahu a’lam. []