Oleh: Dian Salindri
Anggota Tim Komunitas Muslimah Menulis Depok
Ibu Rumah Tangga
emakpeduligenerasi@gmail.com
NABI Nuh a.s. membutuhkan waktu seratus tahun untuk menanam pohon bakal pembuatan bahtera, dilanjutkan seratus tahun lagi untuk menebang pohonnya, menggergajinya dan menghaluskannya, kemudian seratus tahun berikutnya untuk membuat sebuah bahtera yang sangat besar, kalau di masa ini mungkin kurang lebih sama dengan sebuah kapal pesiar.
Ketika Allah SWT memerintahkan menanam benih pohon, kemudian menebangnya dan membuat bahtera, saat itu Nabi Nuh a.s tidak tahu tujuan dari pembuatan bahtera itu. Yang Nabi Nuh tahu bagaimana beliau untuk selalu taat kepada Allah SWT dan tidak meragukan-Nya sedikit pun.
Waktu kurang lebih tiga ratus tahun bukanlah waktu yang sekejap, bayangkan beliau harus bersabar dan menerima ejekan dari kaumnya selama itu dan tidak mengeluh kepada Allah. Beliau yakin bahwa takdir Allah pasti baik bagi umatnya yang bertakwa.
Begitu pun dengan kisah Nabi Ibrahim a.s, beliau diperintahkan untuk menyembelih anaknya sendiri yaitu Nabi Ismail a.s. tanpa tahu bahwa anaknya akan digantikan dengan domba di detik-detik terakhir. Tak terbayang betapa pilunya hati Nabi Ibrahim a.s ketika mengasah pisau, kemudian mengikat kedua tangan anaknya dan meletakkann pisau di leher darah dagingnya sendiri.
Yang dilakukan oleh Nabi Ibrahim hanyalah taat atas perintah Rabb-Nya dan yakin ini merupakan ketentuan dari Allah SWT.
Lalu apakah Nabi Musa a.s dan kaumnya yang ketika itu sampai di bibir pantai mengetahui bahwa laut akan terbelah untuknya? Di tengah kebingungan dan ketakutan akan kejaran Firaun dan pasukannya, Nabi Musa hanya diperintahkan untuk memukulkan ujung tongkatnya ke laut.
Tanpa mengetahui bahwa akan ada jalan keluar baginya dan kaumnya. Yang dilakukan Nabi Musa hanya taat dan tidak meragukan Allah SWT sedikit pun.
Begitulah sejatinya kita sebagai umat Muslim, berserah diri kepada Allah SWT dan beriman kepada takdir yang telah Allah gariskan kepada kita. Tak ada timbangan yang mampu menanggung beratnya pahala kesabaran.
Begitulah yang telah dicontohkan oleh Nabi Nuh. Sabar yang tiada berbatas, kalau hari ini kita sudah mengeluh dengan ujian yang Allah berikan untuk kita, maka bagaimana dengan Nabi Nuh yang harus bersabar ratusan tahun lamanya.
Kalau hari ini kita sering tidak yakin dan merasa takut untuk meninggalkan sesuatu yang tidak sesuai dengan syariat Islam, lalu bagaimana dengan kisah Nabi Musa yang di tengah rasa takutnya atas kejaran Firaun dan pasukannya namun tetap yakin akan pertolongan Allah SWT.
Kalau hari ini kita masih bersedih atas kehilangan sesuatu yang berharga di dalam hidup, bagaimana dengan kisah Nabi Ibrahim yang hampir kehilangan anaknya Ismail dan yakin ini adalah ketetapan Allah. Allah pun pasti menggantinya dengan sesuatu yang lebih baik.
Bisa jadi apa yang kita sangka itu baik buat kita tapi ternyata menurut Allah itu bukanlah hal yang baik, ataupun sebaliknya. Maka, bersabar dan tetap yakin akan takdir/ketentuan Allah adalah yang terbaik. Seperti dalam firman-Nya: “…Tetapi boleh jadi kamu tidak menyenangi sesuatu, padahal itu baik bagimu dan boleh jadi kamu menyukai sesuatu, padahal itu tidak baik bagimu. Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.” (TQS. Al-Baqarah: 216)
Allah-lah Yang Maha Mengetahui segalanya. Kisah para nabi yang kita ketahui-pun merupakan “hujjah” Allah untuk kita manusia. Tugas kita di dunia ini adalah untuk beribadah kepada Allah, karena kita akan kembali kepada Allah dan akan mempertanggungjawabkan perbuatan kita di akhirat kelak.
Jikalau ingin selamat dunia akhirat, buatlah kapalmu sendiri. Buatlah kapal seperti Nabi Nuh yang bisa menyelamatkan bukan hanya diri kita sendiri, tapi juga menyelamatkan orang-orang yang kita cintai. []
Kirim RENUNGAN Anda lewat imel ke: islampos@gmail.com, paling banyak dua (2) halaman MS Word