SEORANG sebut saja A menelpon temannya si B yang berada di sebuah pusat perbelanjaan untuk membelikan HP dengan merk dan spesifikasi tertentu, nanti uangnya akan dia ganti di rumah. Artinya, temannya tersebut, yaitu si B diminta untuk menalangi dulu harga HP tersebut, nanti kalau sudah ketemu di rumah akan diganti penuh oleh si A.
Kasus lain, A titipi untuk uang ke si B untuk dibelikan beras. Saat sampai di pasar, -qadarullah-, B lupa tidak membawa uang titipan si A. Lalu B menalangi dulu pembelian beras si A dengan uangnya, tinggal nanti jika sudah sampai di rumah akan diganti dengan uang yang telah diberikan kepadanya.
BACA JUGA: Ketika Wanita Berdagang
Dua contoh kasus di atas, dan mungkin masih ada kasus-kasus yang mirip dengan keduanya, sering kali ditanyakan kepada kami. Menurut informasi dari beberapa penanya, ada sebagian ikhwan atau ustadz yang mengharamkannya. Karena merasa bingung, maka beberapa orang menanyakannya kepada kami untuk mendapatkan kepastian hukum. Apa benar diharamkan atau bagaimana hukum sebenarnya ?
Jika kita amati dengan seksama, maka tidak ada masalah dalam kasus-kasus di atas, berarti hukumnya BOLEH. Akad yang terjadi adalah akad qardh (pinjam) sejumlah uang, untuk sekalian yang dipinjami membelikan sesuatu yang dibutuhkan oleh peminjam. Dalam istilah kita dikenal dengan “talang” atau “menalangi”. Kalau kita lihat dalam KBBI, tersebutkan bahwa “menalangi” adalah : Memberi pinjaman sejumlah uang untuk membayar sesuatu. Ada sebuah kaidah yang berbunyi :
الأصل في العقود الإباحة حتى يرد دليل على تحريمها
“Asal segala akad (perjanjian) hukumnya mubah (boleh), sampai ada dalil yang mengharamkannya.”
Kemungkinan, pihak yang mengharamkan perkara ini berdasar kepada sebuah hadits dari Abdullah bin Amer-radhiallahu ‘anhu-, Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam- bersabda :
لَا يَحِلُّ سَلَفٌ وَبَيْعٌ
“Tidak halal hutang piutang yang digabung dengan jual beli.”[HR. Abu Dawud : 3504]
Menurut mereka (yang mengharamkan), bahwa kasus-kasus di atas dan yang semisalnya telah terjadi apa yang dilarang dalam hadits ini. Pihak pertama hutang sekaligus ada akad jual beli di dalamnya. Maka transaksi seperti ini haram.
Menurut hemat kami, memakai hadits di atas untuk mengharamkan permasalahan ini merupakan penempatan dalil yang tidak pada mestinya (keliru). Karena yang dimaksud larangan dalam hadits di atas, adalah seorang menjadikan jual beli sebagai syarat untuk mendapatkan kemudahan dalam hutang. Dia akan menjual barangnya kepada seseorang dengan harga murah, agar orang tersebut mau menghutanginya. Jika demikian, maka orang yang menghutangi akan mendapat manfaat (keuntungan) dari jual belinya, disebabkan karena pihak penjual berhutang kepadanya. Ini masuk bentuk riba yang haram.
BACA JUGA: Khalifah yang juga Berdagang
Imam Al-Khathabi –rahimahullah- (wafat : 388 H) berkata :
وَذَلِكَ مِثْلَ أَنْ يَقُولَ أَبِيعُكُ هَذَا الْعَبْدَ بِخَمْسِينَ دِينَارًا عَلَى أَنْ تُسَلِّفَنِي أَلْفَ دِرْهَمٍ فِي مَتَاعٍ أَبِيعُهُ مِنْكَ إِلَى أَجَلٍ أَوْ يَقُولُ أَبِيعُكَهُ بِكَذَا عَلَى أَنْ تُقْرِضَنِي أَلْفَ دِرْهَمٍ وَيَكُونُ مَعْنَى السَّلَفِ الْقَرْضُ وَذَلِكَ فَاسِدٌ لِأَنَّهُ يُقْرِضُهُ عَلَى أَنْ يُحَابِيَهُ (الْمُحَابَاةُ الْمُسَامَحَةُ وَالْمُسَاهَلَةُ لِيُحَابِيَهُ أَيْ لِيُسَامِحَهُ فِي الثَّمَنِ) فِي الثَّمَنِ فَيَدْخُلُ الثَّمَنُ فِي حَدِّ الْجَهَالَةِ وَلِأَنَّ كُلَّ قَرْضٍ جَرَّ مَنْفَعَةً فَهُوَ رِبًا
“Maksud (Tidak halal hutang-piutang yang digabung dengan jual beli), yang demikian semisal seorang menyatakan: “Aku akan jual budakku ini, dengan syarat kamu memberi pinjaman kepada saya seribu dirham (dengan pembayaran diangsur).” Atau : “Aku akan jual ini kepadamu dengan harga sekian, dengan syarat kamu harus menghutangi aku seribu dirham.” Maka salaf di sini, adalah hutang. Bentuk seperti ini fasid (rusak). Karena dia memberi pinjaman kepadanya agar yang diberi pinjaman memudahkan/memberi kemurahan) dalam harga barang yang dijualnya. Maka harga barang di sini masuk batasan tidak jelas, dan karena setiap pinjaman yang menyeret adanya manfaat, maka termasuk riba.”[ Ma’alimus Sunan : 3/141, cetakan Al-Mathba’ah Al-Ilmiyyah tahun 1351 H].
Adapun dalam kasus-kasus yang kami contohkan di atas, pihak yang memberi pinjaman tidak melakukan transaksi sama sekali dengan pihak yang diberi pinjaman. Akan tetapi transaksi jual belinya terjadi dengan pihak ke tiga. Lalu bagaimana bisa kasus seperti ini diharamkan dengan dalil di atas ? Dalilnya benar, tapi penempatannya yang keliru. Walhamdulillah rabbil ‘alamin. []
Facebook: Abdullah Al Jirani