Oleh: Noor Ainy El Mansyur, noerabby.isyqu@gmail.com
HIDUP adalah sebuah pilihan. Entitas semesta yang menghadapkan manusia pada berbagai macam problema, lanjut mencernanya. Kemudian mengharuskan mereka untuk memilah dan mengambil sebuah keputusan. Pun diriku. Butuh waktu lama untuk mengerti makna sebuah pilihan. Hingga usiaku beranjak dua puluh dua tahun kini, tak pernah benar mengerti semua itu.
Faktanya, keputusan tak bisa diperoleh dengan amarah meninggi dan perasaan yang tengah diliputi kekecewaan. Kenapa begini? Karena aku adalah korban daripada pilihan. Hak veto-ku dicabut sejak kecil. Sebagai anak perempuan satu-satunya dari sorang pemuka agama. Aku kehilangan kebebasan mengemukakan pendapat dan uneg-uneg. Walhasil, inilah aku sekarang. Seorang gadis pendiam, penyendiri, kesepian dan tak punya teman. Aku tumbuh menjadi boneka cantik dan manis. Seluruh diri ini murni jiplakan. Hasil daur ulang antara keterpaksaan dan kekecewaan. Aku menelan ludah. Disibukkan kembali dengan pisau dan sayuran di tangan. Air mata mulai jatuh satu persatu meninggalkan isak yang tertahan pada kerongkongan.
“Nur, kamu kenapa?”
Ummi menatapku sekilas kemudian kembali sibuk menggoreng tempe. Aku menggeleng kecil seraya menyeka sisa lelehan air mata.
“Tidak apa-apa, Mi. Mengiris bawang kok bisa perih pada mata ya, Mi?” elakku. Kebohongan nyata sebagai pelarian dari kejujuran tersamarkan. Nyatanya, tak ada bawang di tangan ini selain kol yang semakin remuk kupotong.
“Nur, mau sampai kapan kamu memotong kolnya? Itu bukan lagi memotong, tapi mencacah,” protes Ummi. Aku terkesiap melihat hasil kerja tangan ini.
“Kamu ada apa sih sebenarnya, Nur?” lanjut Ummi.
Aku bungkam selama beberapa saat. Memikirkan dan menyusun kata yang bisa kuucapkan. Mungkin ini alasan keputusanku yang tak begitu dianggap. Terlalu lama memikirkan kata membuat oranglain bosan padaku.
“Ummi, kalau seandainya perjodohannya dibatalin aja gimana? Masih satu bulan lagi kok. Masih belum terlambat untuk membatalkannya,” saranku sedikit hati-hati. Ummi memadamkan kompor lalu menatap tajam ke arahku.
“Kamu gak bisa seenaknya gini donk, Nur. Kemarin kan kamu yang bilang setuju dengan perjodohan ini. Bahkan kamu ingin mempercepat tanggal pernikahan agar kamu bisa segera ke Arab kan? Kenapa sekarang malah kayak gini?” protes Ummi. Aku menelan ludah getir.
“Itu kan kemarin, Mi. Kemarin kan anak gadismu ini sedang patah hati gegara diputusin Brad Pitt. Mana sempat mikir dengan jernih,” belaku, yang tentu saja cuma pembelaan dalam hati.
“Sekarang kamu mau ngomong apa lagi? Calon mertua dan suamimu sedang di perjalanan menuju rumah ini. Apa lagi pembelaanmu hmm?” lanjutnya yang berhasil menohok ulu hati ini.
“Kalau Nur bisa menemukan pria lain yang Nur cintai, boleh kan pertunangannya dibatalin aja?” jawabku penuh kehati-hatian.
“Kamu pikir ini sedang turnamen ya? Memangnya kamu bisa menemukan pria itu dalam waktu kurang dari sebulan? Gak usah mikir yang aneh-aneh. Jalani aja semua ini dengan baik!” elak Ummi mengakhiri obrolan. Mengambil alih potongan sayur di tanganku lalu mulai memasaknya. Aku beranjak pergi dengan perasaan mangkel luar biasa. Dengan cekatan tangan ini menarik jilbab yang tergantung kemudian alat sholat dan kitab. Beranjak pergi menuju Ponpes tempatku menimba ilmu dan mengamalkannya.
“Mau ke mana, Nur? Masaknya kan belum selesai?” komentar Ummi.
“Nur janji sama anak-anak pondok mau ngajarin Imriti bab ke tiga, Mi. Maaf, Nur ke mejid lebih awal,” jawabku meraih tangan Ummi lalu menciumnya. Ummi hanya ber-oh kecil dan membiarkan diri ini berlalu.
Ruangan sebesar empat kali dua ini dulu menjadi tempat peristirahatanku di pondok. Sekarang ini sudah berubah menjadi tempat penyimpanan kitab. Di sinilah aku menghabiskan waktu untuk menyendiri. Ya, mengajar anak-anak pondok hanya alasan agar terhindar dari pertanyaan Ummi. Aku berbohong? Tidak juga. Karena waktu untuk mengajar mereka masih satu jam-an lagi. Sebelum tiba waktunya, aku bisa menghabiskan waktu bercinta dengan kalamullah dan mengadu pada-Nya. Kehampaan menyeruak dalam kalbu. Betapa selama ini aku terlupa pada Sang khaliq. Hanya datang ketika diri ini berlumur harap dan noda. Menyapa sekilas lalu berbalik pergi. Rutinitas mengajar anak-anak pondok hanya sebatas kewajiban. Tak ada alasan lain untuk menjiwainya hingga ke sumsung tulang. Aku menangis meratapi diri. Betapa kecilnya rasa syukur ini. Hingga malam menurunkan tirai pekat. Diri ini masih asyik bertadabur dalam kalamNya. Panggilan kewajiban mengajar anak-anak pondok menghentikan renungan. Ba’da isya, panggilan Kakak ipar memotong pengajian.
“Nur, kamu disuruh pulang. Calon mertuamu sudah tiba,” ujarnya.
“Ada apa Teh, Nur kan masih ngaji?” protesku.
“Badal sama yang lain aja. Teteh udah bilang sama Pak Ustadz kok, beliau juga sudah mengizinkan,” komentarnya.
Aku merengut, sama sekali tak tertarik dengan pembicaraan Kakak ipar. Bayangan ini melayang entah ke mana. Tertahan pada satu titik hitam dan gelap di atas padang tandus. Aku terjebak di antara sepi yang menyiksa diri.
“Nur, kok malah bengong sih? Ayo cepetan! Mereka sudah nunggu dari tadi lho,” lanjut Kakakku, menarik paksa alam bawah sadar ini menuju nyata. Setengah terpaksa, kuikuti langkah kakinya setelah mengantongi izin dari guru besar. Selang lima menit, kami pun sampai di pelataran rumah.
“Cadarnya dibuka aja, Nur. Gak apa-apa kok,” saran Kakak ipar. Aku menggeleng kecil.
“Teteh duluan masuk aja. Nur masuk jalan dapur. Nanti nunggu di ruang tengah,” jawabku seraya berlalu sebelum mendengar penolakannya.
Keringat dingin bermunculan. Sayup kudengar obrolan mereka. Menerka seperti apa kiranya calon suami dan mertuaku. Tak ada keberanian sedikitpun untuk mendekat sebelum mereka memanggil. Dan panggilan itu pun akhirnya datang. Kakak ipar menghampiri lalu mengajakku menemui mereka. Pandangan ini menunduk dalam. Hati gemuruh tak menentu. Selama beberapa saat diri ini bagai manekin di balik etalase perak. Menjadi sosok yang dipuji dan dikagumi. Hal ini tak membuat hati ini melambung, justru sebaliknya. Semakin dipuji, semakin membuatku ketakutan. Kemudian satu persatu dari dua keluarga ini pun berlalu meninggalkan diriku bersama Ahmeed Alkaff, calon suamiku.
“Inti Noor Ainy Siddiqui? Masya allah, inti jamilah jiddan,” ujarnya membuka percakapan.
Ia banyak berbicara menggunakan bahasa arab. Sementara aku semakin bungkam. Bukan karena tak mengerti yang ia ucapkan, tapi lebih menjaga diri.
“Leisy askut, Ya Khumaira? Inti la tatakallam ilalughotil arabiyyah? Kenapa diam saja? Kamu tidak bicara dalam bahasa arab?” tanyanya.
“Alafu minkum. La adry. I can’t speak arabian language,” jawabku sengaja menggunakan campuran bahasa.
Bukan untuk membuatnya tertarik denganku. Tapi, lebih agar dia mengetahui kekuranganku dalam berkomunikasi. Setahuku, orang Arab jarang menggunakan bahasa Inggris dan tak begitu menyukainya. Satu-satunya alasan bagi diri ini agar membuatnya menjauh dan memutuskan menolak perjodohan. Respon yang kuperoleh adalah sebaliknya. Ia tertawa renyah. Terkejut, refleks netra ini menatap wajahnya. Sungguh diluar dugaan. Ahmed bukan seperti pria dalam bayangan otak ini. Ia tak selalu berimamah dan berjubah seperti di film-film timur tengah. Justru ia mengenakan setelan kaos berbalut jacket modis anak muda. Manik hitamnya semakin tajam dan bercahaya saat tersenyum. Hidungnya bangir, alisnya hitam pekat seperti ulat bulu. Tulang rahang yang tegas dengan dagu membelah. Rambutnya sedikit ikal dan gelap dengan perawakan yang tinggi besar. Jika kau pernah melihat aktor India yang bernama Aditya roy kapoor, ya Ahmeed ibarat cerminannya. Seperti pinang dibelah dua. Aku bahkan meragu, apakah aku dijodohkan dengan seorang selebritis? Tapi aku menggeleng cepat. Itu takkan mengubah perasaan ini.
“Hey kenapa bengong?” lanjutnya menggunakan bahasa Indonesia. Logatnya masih kental Arab. Aku terkesiap.
“Anda bisa berbicara dalam bahasa Indonesia?” tanyaku tanpa sadar. Ia kembali tertawa renyah.
“Akhirnya kau mau bicara juga. Suaramu merdu,” jawabnya tak mengindahkan pertanyaan ini.
“Aku terkejut jika Anda bisa mengerti bahasa kami,” lanjutku cuek.
“Kau tak menanyakan apapun. Apa kau tak menyukai perjodohan ini?” jawabnya tersenyum. Aku kembali diam. Ucapannya benar-benar menohok hati ini.
“Apa kau keberatan jika aku memintamu membuka cadar? Dalam adat istiadat kami, seorang calon suami diperbolehkan melihat wajah calon isterinya,” lanjutnya.
Aku mengerti hal itu. Untuk itulah diriku dipanggil menemuinya secara berdua. Hal yang biasanya tak diizinkan kedua orangtuaku. Perlahan aku mulai membuka cadar yang menutupi wajah. Pandangan ini semakin menunduk dalam.
“Kau boleh mengangkat wajahmu,” sarannya yang lebih tepat seperti perintah untukku. Mengikuti keinginannya, aku mengangkat wajah ini menatapnya.
“Yassalam. Inti jamilah jidan. Sudah cukup, kau boleh memakai kembali cadarmu,” ujarnya.
Obrolannya semakin panjang mengajak diri ini berbincang. Tak banyak yang kukatakan selain kata iya, tidak, atau entahlah. Hanya sederet kata-kata singkat yang menjenuhkan. Ia bukannya jera dan bosan, tapi justru sebaliknya. Semakin bersemangat memperisteri diri ini. Beruntung kedua orangtua kami datang menghampiri lalu mengajaknya pamit undur diri. Keputusan sudah diperoleh mereka dari silaturrahmi ini.
Bulan depan kami akan meresmikan pertunangan. Lututku lemas seketika. Sepeninggal mereka, air mata tiada henti mengalir dari kelopak ini. Ahmeed memang sangat rupawan. Tapi hal ini tak cukup membuat hatiku bergetar hebat. Kenyamanan lebih menjadi prioritas utamaku. Dan hal itu masih belum kuperoleh dipertemuan pertama kami. Kembali, kenyataan hidup menampar wajahku. Pilihan macam apakah ini? Haruskah diri ini terjebak dalam lingkaran hidup yang sulit kupecahkan? Dan air mata terus mengalir sebagai jawaban. []
Kirim OPINI Anda lewat imel ke: islampos@gmail.com, paling banyak dua (2) halaman MS Word. Sertakan biodata singkat dan foto diri.