SUATU saat, orang tidak merasa berat hati melakukan perbuatan yang dulunya pernah dibenci. Dan itu bukan lantaran keterpaksaan. Tapi, karena adanya pelarutan dalam diri terhadap nilai-nilai yang bukan sekadar tidak pernah dicontohkan Rasul, bahkan dilarang. Sekali lagi, pelan tapi pasti.
Anas bin Malik pernah menyampaikan sebuah ungkapan yang begitu dahsyat di hadapan generasi setelah para sahabat Rasul. Beliau r.a. mengatakan, “Sesungguhnya kamu kini telah melakukan beberapa amal perbuatan yang dalam pandanganmu remeh, sekecil rambut; padahal perbuatan itu dahulu di masa Nabi saw. kami anggap termasuk perbuatan yang merusak agama.” (Bukhari)
BACA JUGA: Aku Hanya Hafal 7 Ayat, Maka Aku Lantas Menyampaikannya
Tanpa terasa, kita jadi begitu asing dengan Islam
Pelunturan terhadap nilai yang dipegang seorang hamba Allah terjadi tidak serentak. Tapi, begitu halus: sedikit demi sedikit. Pada saatnya, hamba Allah ini merasa asing dengan nilai Islam itu sendiri.
Ajaran Islam tentang ukhuwah misalnya. Kebanyakan muslim paham betul kalau orang yang beriman itu bersaudara. Saling tolong. Saling mencintai. Dan, saling memberikan pembelaan. Tapi anehnya, justru nilai-nilai itu menjadi tidak lumrah.
Semua pertolongan, perlindungan, pengorbanan kerap dinilai dengan kompensasi. Ada hak, ada kewajiban. Ada uang, ada pelayanan. Tiba-tiba, seorang muslim jadi merasa wajar hidup dalam karakter individualis. Bahkan, tidak tertutup kemungkinan, seorang dai merasa enggan berceramah di suatu tempat karena nilai bayarannya kecil. Sekali lagi, tak ada uang, tak ada pelayanan.
Firman Allah swt. “Dan sesungguhnya jika Kami menghendaki, niscaya Kami lenyapkan apa yang telah Kami wahyukan kepadamu, dan dengan pelenyapan itu, kamu tidak akan mendapatkan seorang pembela pun terhadap Kami, kecuali karena rahmat dari Tuhanmu….” (QS. 17: 86-87)
Tanpa terasa, kita tak lagi dekat dengan Allah swt.
Inilah sumber dari pelunturan nilai keimanan seorang hamba Allah. Kalau orang tak lagi dekat dengan majikannya, sulit bisa diharapkan bagus dalam kerjanya. Kesungguhan kerjanya begitu melemah. Bahkan tak lagi punya nilai. Asal-asalan.
BACA JUGA: Saat Masih Ada Waktu
Jika ini yang terus terjadi, tidak tertutup kemungkinan, ia lupa dengan sang majikan. Ketika hamba Allah melupakan Tuhannya, Allah akan membuat lupa terhadap diri orang itu sendiri. Ada krisis identitas. Orang tak lagi paham, kenapa ia hidup, dan ke arah mana langkahnya berakhir.
Maha Benar Allah dalam firman-Nya, “Dan janganlah kamu seperti orang-orang yang lupa kepada Allah, lalu Allah menjadikan mereka lupa kepada diri mereka sendiri. Mereka itulah orang-orang yang fasik.” (QS. 59: 19)
HABIS
SUMBER: DAKWATUNA