Oleh: dr. Ifa Mufida
Penulis adalah Praktisi Kesehatan dan Pemerhati Masalah Umat
PADA tanggal 22 Desember, lagu kasih ibu seakan mengalun syahdu di setiap sudut negeri ini. Berbagai ucapan dan pemberian kado untuk sang Ibu pun diberikan oleh anak-anak kepada Ibunda tercinta. Ibunda yang telah mengandung, melahirkan dan merawat mereka. Terlepas dari sejarah awal mula adanya hari ibu, terlepas pula dari pro kontra perlu tidaknya memperingati hari ibu secara seremonial, namun yang pasti kita patut bersyukur dan memberikan penghormatan pada sesosok ibu.
Ibu memiliki peran strategis untuk mampu mencetak generasi berkualitas, penerus tampuk perjuangan negeri. Hal ini pastinya merupakan mimpi semua kaum perempuan, baik yang masih ingin ataupun yang sudah menjadi ibu. Pepatah Arab menyatakan “Al-ummu madrasatul ula, iza a’dadtaha a’dadta sya’ban thayyibal a’raq.” Ibu adalah sekolah utama, bila engkau mempersiapkannya, maka engkau telah mempersiapkan generasi terbaik. Demikianlah, peran ini adalah peran yang sangat penting dan mulia di dunia ataupun di akhirat. Masya Allah.
Namun faktanya saat ini, menjadi ibu yang berkualitas sangatlah sulit diwujudkan. Tantangan kehidupan yang serba sekuler-liberal, termasuk kebijakan negara membuat bahaya yang siap merusak harapan para ibu. Sebut saja, dalam permasalahan ekonomi ibu yang sejatinya harus menjadi pendidik utama untuk anak-anak harus berjuang menjadi pahlawan devisa.
Mereka rela meninggalkan keluarga dan negerinya untuk mengais rezeki di negeri orang. Meski tak sedikit tantangan dan ancaman yang harus mereka hadapi, mulai pelecehan seksual sampai harus menerima eksekusi mati karena sesuatu yang belum tentu karena kesalahannya. Belum lagi kebijakan negara tentang gaji pekerja perempuan yang lebih murah dibanding pekerja lelaki menjadikan banyak perusahaan yang membuka lowongan kerja untuk ibu-ibu. Demi mempertahankan kehidupan yang serba sulit dan mahal, dengan terpaksa ibu-ibu pun berangkat menjadi buruh-buruh pabrik.
Ibu-ibu rumah tangga, juga dikabarkan saat ini menduduki “profesi” terbanyak yang mengidap penyakit HIV/AIDS. Sebagian kecil dari mereka memang berawal dari masa lalu sebagai pekerja seks komersil, namun kebanyakan karena tertular dari suami mereka yang suka jajan atau suami yang ternyata gay. Padahal ibu-ibu adalah sosok yang akan mengandung anak-anak generasi mendatang. Ini sangat mengkhawatirkan, karena kondisi ibu akan berpengaruh pada keberlangsungan generasi. Lagi-lagi tidak bisa dipungkiri kondisi ini karena tata kehidupan yang liberal dan permissif sehingga terjadi kerusakan sistem pergaulan yang luar biasa di masyarakat.
Belum lagi tantangan yang luar biasa sulit untuk mendidik anak-anak yang berasal dari lingkungan dan kebijakan pemerintah saat ini. Menyebarnya perilaku LGBT misalnya, hal ini cukup mengkhawatirkan karena LGBT bukanlah permasalahan individu, tetapi sudah menjadi gerakan global yang hari demi hari terus bertambah pengikutnya. Sebagai sebuah gerakan mereka tidak diam tetapi terus berupaya menyasar anak-anak atau remaja untuk menjadi pengikutnya. Terlebih Tidak ada kebijakan yang melarang dan menjadikan nya tindakan kriminal. Atas nama hak asasi manusia, LGBT pun seolah direstui sistem untuk berkembang. Selain itu, media juga begitu bebas mempertontonkan pornografi dan pornoaksi.
Sistem pendidikan saat ini juga tidak mengutamakan pendidikan untuk penguatan aqidah dan perbaikan akhlak untuk menghasilkan generasi yang berkepribadian Islam tangguh, justru hanya berkutat dengan nilai-nilai di atas kertas. Bahkan geng di sekolah rawan adanya bullying dan tawuran di antara pelajar. Belum lagi peredaran Miras dan NAPZA juga ternyata tidak bisa diberikan solusi. Pelajar pun menjadikan sasaran empuk untuk pegedarannya. Hal ini pun tidak bisa terselesaikan dengan regulasi aturan negara, karena faktanya UU miras pun alot di meja DPR, padahal sudah jelas keharamannya. NAPZA juga masih mudah diselundupkan, bahkan ketika di penjara para pengedar masih begitu mudah melakukan transaksi jual beli. Sebenarnya apa yang terjadi di sistem hukum negeri ini? Tentu saja semua fakta di atas menjadi kado buruk bagi ibu untuk menjalankan peran utamanya sebagai ibu dan pendidik utama.
Keluar dari fakta begitu besarnya tantangan yang harus dihadapi oleh sang ibu, ternyata kita juga dihadapkan dengan fakta banyak ibu yang tega membuang bayi darah dagingnya sendiri. Kebanyakan karena kasus hamil di luar nikah. Demi menutupi aibnya, mereka rela membunuh janin yang sudah dikandungnya selama 9 bulan. Benar, naluri ke ibu-an sudah tidak ada pada mereka. Kembali lagi itu samua buah dari seks bebas. Kasus gizi buruk yang dialami oleh anak-anak dari kalangan miskin juga belum bisa terselesaikan. Belum lagi tindak kekerasan dari ibu kepada anak-anak kandungnya sendiri karena bermula dari rumah tangga yang rusak dan perceraian yang tinggi.
Maka tantangan sebagai ibu juga diikuti dengan segala harapan-harapan. Harapan dimana sang ibu bisa memaksimalkan perannya. Solusi mengembalikan ketahanan keluarga, berkali-kali digaungkan oleh penguasa negeri ini. Memang benar, itu harus diwujudkan karena ibu sebagai orang tua adalah penanggung jawab pertama dalam melindungi keluarga dan generasi. Namun, faktor lain seperti terwujudnya iklim yang kondusif juga harus ada. Iklim dan lingkungan yang kondusif ini ada pada tanggung jawab masyarakat dan negara.
Islam mengatur tanggung jawab ini dalam sinergi harmonis antara orang tua, keluarga dan kerabat, masyarakat dan juga penguasa (negara). Misalnya dalam masalah jaminan nafkah terhadap anak dan keluarga, maka Islam memberikan tanggung jawab ini kepada ayah. Maka negara berkewajiban menyediakan lapangan kerja yang mencukupi dan juga memastikan agar semua laki-laki mampu bekerja dan menjalankan tanggung jawabnya untuk mencari nafkah. Tidak seperti saat ini, negara justru mencanangkan perempuan sebagai garda depan penyelamat ekonomi bangsa.
Namun bila ayah ternyata tidak mampu memenuhi kebutuhan keluarga karena beberapa kondisi seperti sakit, maka tanggung jawab ini beralih kepada wali dan kerabat. Bila kerabat juga tidak mampu, maka Islam membuka pintu kontribusi masyarakat untuk membantunya. Dan bila masih belum bisa terpenuhi, maka tanggung jawab nafkah beralih pada penguasa (negara) dengan memberikan santunan dari kas baitul mal. Dengan demikian maka masalah banyaknya ibu yang menjadi TKW atau buruh untuk mencukupi kebutuhan keluarga dan gizi buruk pada anak-anak teratasi.
Demikian pula masalah menjaga moral anak. Di rumah ibu bersama keluarga berusaha mendidik anak sebaik mungkin dengan Islam. Masyarakat berusaha menjaga lingkungan supaya tetap kondusif dan menumbuhkan iklim saling peduli. Negara menyediakan sistem pendidikan yang tujuan utama adalah pembentukan kepribadian bangsa dan mencetak ilmuwan pengisi peradaban. Negara juga berusaha menjaga supaya segala corong yang mengantarkan pada rangsangan seksual di tengah-tengah masyarakat dihilangkan. Media bersih dari pornografi dan pornoaksi. Tempat-tempat kemaksiatan tidak boleh diberi ijin beroperasi. Pelaku kemaksiatan dihukum dengan hukuman yang menimbulkan efek jera. Tidak seperti saat ini, perzinaan dan pelaku LGBT justru tidak bisa terkena sanksi pidana. Pornografi dan pornoaksi merebak dimana-mana.
Dengan sinergi antara ibu (keluarga), masyarakat dan negara maka akan terwujud ibu-ibu idaman, keluarga-keluarga yang memiliki daya tahan tinggi dan generasi yang berkualitas. Sungguh, itulah kondisi yang kita harapkan bersama. Maka dibutuhkan kepemimpinan yang peduli dan menerapkan solusi Islam dalam menyelesaikan segala permasalahan. Karena hanya dengan Islam segala permasalahan umat bisa terselesaikan. Solusi ini untuk semua, muslim ataupun non muslim, karena Islam adalah Rahmat bagi seluruh Alam. Allahu A’lam bi Showab. []
OPINI ini adalah kiriman pembaca Islampos. Kirim OPINI Anda lewat imel ke: redaksi@islampos.com, paling banyak dua (2) halaman MS Word. Sertakan biodata singkat dan foto diri. Isi dari OPINI di luar tanggung jawab redaksi Islampos.