Oleh: Maya A
Penulis, Tinggal di Kedamean, Gresik
Muslimah dan hijab. Dua komponen yang tidak bisa dan tidak seharusnya dipisahkan. Namun modernitas zaman nyatanya berhasil menyeret ‘fashion’ untuk berada di tengah tengah mereka. Menarik minat para perempuan untuk melakukan kolaborasi, alias memadu padankan hijab agar tetap sesuai trend, atau malah sekedar sebagai penunjang penampilan.
Fenomena DJ bercadar yang viral di media sosial, kemudian seorang guru berhijab yang menunjukkan bakat tari jaipongnya saat kompetisi hijab hunt, adalah bukti kecil bahwa virus berbahaya ini sudah menyebar. Mengopinikan kepada massa bahwa status tidak bisa menghalangi seorang perempuan untuk berekspresi. Parahnya lagi, sang DJ justru menyeru muda mudi untuk tidak takut menjadi diri sendiri tanpa perlu memusingkan komentar oranglain. Sebuah ajakan yang menjurus pada konsep liberal.
Sadar atau tidak, ini adalah buah dari serangan yang digencarkan Barat. Mendoktrin pemikiran para perempuan bahwa hijab hanya mengekang perempuan. Akibatnya, banyak kalangan yang tanpa segan merespon secara defensif dengan mengambil jalan tengah. Artinya, mereka berhijab, namun juga bersolek dan menonjolkan lekuk tubuh demi tetap tampil cantik dan menarik.
Minimnya pengetahuan tentang batasan syariah ketika memandang makna kebebasan berekspresi semakin memperkeruh suasana. Masyarakat terus dibiarkan berasumsi sendiri tentang tata busana dan tata pergaulan. Definisi aurat disempitkan sebatas pada rambut. Campur baur juga bukan lagi masalah yang perlu dipusingkan. Point inilah yang kemudiam dimanfaatkan oleh komoditas industri dalam menyedot perhatian para muslimah masa kini. Sebagai kiblat fashion, kaum kapitalis secara berkala meluncurkan desain hijab terbaru demi kesesuaian tren.
Tidak berhenti disitu, kuatnya cengkraman kapitalis juga berimbas pada berubahnya arah pandang terhadap perempuan. Mereka tidak lagi dianggap sebagai sesuatu yang harus dijunjung tinggi kehormatannya, tapi justru sebagai komoditas yang diperlombakan kecantikannya. Dalam sekup kecil saja semisal putri Indonesia, terhitung sudah berapa banyak perempuan yang mati matian mengejar prestise, menampilkan kemolekan paras demi sebuah kemenangan yang sebenarnya nonsense. Nilai duniawi berhasil mengelabui pemikiran mereka hingga berani menukar dan memainkan kodratnya sebagai individu yang terjaga.
Kerusakan yang menyasar para muslimah ini tentu tidak bisa didiamkan begitu saja. Harus ada perombakan utuh. Edukasi tata pergaulan, kemudian penanaman nilai takwa guna menumbuhkan kesadaran bahwa manusia senantiasa terikat dengan nilai nilai syara’ adalah langkah yang tidak boleh diabaikan. Tidak hanya itu, pemerintah juga harus berani mengambil tindakan besar seperti menutup kran kebebasan yang terlanjur dialirkan Barat. Segala hal yang berhubungan dengan pemberdayaan perempuan bernilai ekonomi harus dihentikan. Karena sadar atau tidak, arus liberal inilah yang sering melalaikan perempuan dari kewajiban dan fitrahnya. []