SYAIKH Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin dalam “Syarh Al-Ushul Min ‘Ilm Al-Ushul” (Hlm. 684, Dar Ibn Al-Jauzi, Saudi Arabia) saat membahas tentang taqlid, menyatakan:
فإذا كان عاميا لا يستطيع معرفة الحكم بنفسه، فالواجب عليه أن يقلد، لأن الله قال: (وَمَا أَرْسَلْنَا مِنْ قَبْلِكَ إِلَّا رِجَالًا نُوحِي إِلَيْهِمْ فَاسْأَلُوا أَهْلَ الذِّكْرِ إِنْ كُنْتُمْ لَا تَعْلَمُونَ) [النحل: ٤٣]، ولم يؤمر بسؤالهم إلا للأخذ بأقوالهم، وإلا فما الفائدة من سؤال أهل الذكر إذا كنا لا نعمل بما قالوا.
Artinya: “Bagi orang awam yang tidak mampu mengetahui hukum syar’i secara mandiri, wajib baginya bertaqlid, karena Allah berfirman: (Dan Kami tidak mengutus sebelum kamu, kecuali orang-orang yang Kami beri wahyu kepada mereka.
Maka bertanyalah kalian pada orang yang memiliki ilmu, jika kalian tidak mengetahui) [An-Nahl: 43]. Dan tidak diperintahkan bertanya kepada para mereka (ahludz dzikr/ulama), kecuali untuk mengambil pendapat yang mereka kemukakan. Jika tidak, lalu apa gunanya bertanya kepada ahludz dzikr, jika kita tidak beramal dengan pendapat yang mereka kemukakan?”
Catatan:
1. Menurut Dr. Wahbah Az-Zuhaili (Ushul Al-Fiqh Al-Islami, Juz 2, Hlm 407-408, Dar Al-Fikr, Suriah), pendapat yang dipegang oleh kebanyakan ulama pengikut empat madzhab dan para ulama muhaqqiq, taqlid wajib bagi orang awam, dan hal ini berdasarkan dalil dari Al-Qur’an dan Ijma’ shahabat dan tabi’in, serta argumentasi akal.
BACA JUGA: Menyampaikan Ilmu kepada Masyarakat Awam
Dalil dari Al-Qur’an adalah Surah An-Nahl ayat 43, sebagaimana disebutkan oleh Al-‘Utsaimin di atas. Dalil dari ijma’ adalah, para shahabat dan tabi’in dulu, sebagian mereka bertanya tentang hukum atas perkara yang mereka temui kepada sebagian yang lain, tanpa ada satu pun dari mereka yang mengingkari hal tersebut, dan tidak ada juga dari mereka yang mewajibkan orang-orang yang bertanya untuk berijtihad sendiri.
Adapun argumentasi akal, bahwa ijtihad itu adalah kompetensi yang hanya bisa dicapai oleh sebagian kecil orang, sedangkan mayoritas orang tidak mampu melakukannya. Sehingga jika ijtihad diwajibkan pada semua orang, maka itu adalah taklif pada perkara yang tidak mampu dilakukan, dan itu tidak bisa diterima secara syara’, karena Allah ta’ala berfirman:
لَا يُكَلِّفُ اللَّهُ نَفْسًا إِلَّا وُسْعَهَا
Artinya: “Allah tidak memberikan taklif pada seseorang kecuali sesuai kemampuannya.” (QS. Al-Baqarah [2]: 286)
2. Masih menurut Az-Zuhaili, definisi “awam” yang wajib taqlid adalah setiap orang yang belum memiliki keahlian ijtihad meskipun dia orang yang berilmu (Hlm. 407).
3. Al-‘Utsaimin adalah salah satu ulama rujukan kalangan salafi (sering juga disebut oleh sebagian orang dengan wahhabi), dan pernyataan beliau di atas, yang mewajibkan taqlid bagi orang awam, senada dengan yang dikemukakan mayoritas ulama. Dan hal ini membantah dua kelompok sekaligus, yaitu: (a) Kelompok anti wahhabi yang menuduh wahhabi menolak taqlid, dan (b) Sebagian pengikut salafi wahhabi sendiri yang mengira taqlid haram hukumnya secara mutlak.
4. Kembali pada Az-Zuhaili, pernyataan beliau bahwa orang awam yang wajib taqlid adalah semua orang yang belum mencapai derajat ijtihad, tidak meniscayakan seluruh orang di zaman sekarang wajib taqlid dan tidak boleh berijtihad. Karena di kesempatan lain, beliau malah menyatakan pintu ijtihad terus terbuka dan ijtihad di masa sekarang bisa dilakukan.
Beliau berkata: “Dan yang tampak, tidak ada hujjah pada mereka (yang membolehkan ketiadaan mujtahid di satu masa), kecuali ghuluw dalam menetapkan batasan level ijtihad, dan membatasinya hanya pada para imam terdahulu, dan mewajibkan semua untuk taqlid pada mereka. Padahal wasilah ijtihad tersedia pada orang-orang setelah mereka lebih dari yang ada pada masa para imam tersebut, dan karunia Allah berupa karunia ilmu dan pemahaman, tidak terbatas pada satu masa saja.” (Hlm. 358).
Beliau juga menyatakan: “Siapa saja yang mengikuti kitab-kitab kalangan mutaakhkhirin, akan mendapatkan gambaran nyata dari ijtihad mutlak, misalnya pada kitab-kitab Ibnu Taimiyyah, Ibnu Al-Qayyim, Al-‘Izz bin ‘Abdis Salam, Ibnu Daqiq Al-‘Id, Ibnu Sayyid An-Nas, Zainuddin Al-‘Iraqi, Ibnu Hajar Al-‘Asqalani, As-Suyuthi, dan orang-orang semisal mereka, yang telah mencapai derajat ijtihad, padahal mereka hidup di masa, yang dikatakan, masa itu adalah masa yang kosong dari para mujtahid.” (Hlm. 360).
5. Sebagian orang, karena mendapatkan doktrin bahwa taqlid itu tercela dan haram secara mutlak, langsung berang saat dikatakan dirinya itu taqlid. Dia pikir itu celaan bagi dirinya, padahal itu sekadar menunjukkan posisi dirinya dalam keilmuan. Karena dia awam, maka yang bisa dia lakukan hanya taqlid, dan amal yang dia lakukan selama ini berdasarkan taqlid.
BACA JUGA: Bolehkah Orang Awam Berfatwa?
Dia mengira dirinya telah lepas dari taqlid, karena membaca satu atau dua artikel yang membahas perkara tertentu, dan di dalamnya disebutkan nash Al-Qur’an dan Hadits Nabi, disertai terjemahannya, lalu ada kesimpulan hukum yang disebutkan penulis artikel tersebut. Dia pikir dia telah mengikuti dalil secara langsung.
Padahal, klaim bahwa dia tidak taqlid karena hal tersebut, malah menunjukkan keawamannya yang sangat akut. Dia tidak tahu, bahwa menyimpulkan hukum dari dalil itu sangat tidak cukup hanya dari terjemahan ayat Al-Qur’an dan terjemahan Hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Kalau memahami teks Arab secara langsung saja belum mampu, bagaimana kita bisa percaya dia memahami bahasan ‘amm dan khash, muthlaq dan muqayyad, nash dan zhahir, manthuq dan mafhum, dan berbagai bahasan lainnya.
Bagaimana kita bisa percaya dia mampu menelusuri makna suatu lafazh langsung dari kamus Arab-Arab klasik seperti Lisan Al-‘Arab karya Ibnu Manzhur dan lainnya, apalagi berhujjah dalam bahasa dengan syair Arab pra-Islam, jika mencari makna kata dari kamus Arab-Indonesia kontemporer saja tidak mampu.
Wallahu a’lam. []
Oleh: Muhammad Abduh Negara