TANYA: Saya bermaksud menghidupkan Lailatul Qadar di masjid, tapi tidak bisa. Maka saya shalat Taraweh di rumah saya bersama isteri dan anak-anak saya. Apakah shalat saya sah atau tidak? Satu hal lagi, ketika saya jadi imam di rumah, saya tidak mengeraskan suara. Apakah itu diperbolehkan?
Jawab:
Dijelasakan di laman Islamqa, melakukan shalat Taraweh di rumah dibolehkan, tidak ada masalah. Akan tetapi shalat berjamaah di masjid lebih utama.
Dalam Fatwa Lajnah Da’imah, 7/201-202, para ulama Lajnah Da’imah Lil Ifta ditanya: “Jika datang bulan Ramadan dan masuk waktu shalat Taraweh, apakah saya pergi ke masjid atau shalat di rumah saya, sedangkan saya bukan seorang imam, hanya seorang makmum. Saya suka membaca Al-Quran, dan lebih senang mendengarkan suara Al-Quran dari suara saya. Jika saya shalat Taraweh di rumah, apakah saya berdosa?”
Mereka menjawab: “Tidak ada masalah dengan anda yang shalat Taraweh di rumah, karena dia perbuatan sunah. Akan tetapi jika anda shalat bersama imam di masjid, lebih utama, untuk meneladani Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam dan para shahabatnya radhiallahu anhum. Juga berdasarkan sabda Nabi shallallahu alaihi wa sallam kepada para shahabatnya ketika beliau mengimami mereka dalam shalat Taraweh pada sebagian malam hingga sepertiga malam, sehingga di antara mereka ada yang berkata, ‘seandainya sisa malam kita lakukan shalat sunah sendiri,’ (maka beliau bersabda),
مَنْ قَامَ مَعَ الإِمَامِ حَتَّى يَنْصَرِفَ كَتَبَ اللهُ لَهُ قِيَامُ لَيْلَتِهِ
“Siapa yang qiyamullail bersama imam hingga selesai, akan dicatat bahwa dia telah qiyam pada semalam itu.” (HR. Ahmad, 5/159, dan Ashhabussunan dengan sanad hasan dari hadits Abu Dzar radhiallahu anhu).
BACA JUGA: Shalat Witir, Sebelum Tidur Sesudah Isya atau Setelah Tahajud?
Jawaban untuk pertanyaan kedua:
Shalat Taraweh asalanya termasuk shalat-shalat jahriah (dikeraskan suaranya), berdasarkan riwayat shahih dari para shahabat radhiallahu anhum saat mereka melakukan shalat pada zaman Umar bin Khatab radhilalhu anhu. Saat itu Ubay bin Ka’ab dan lainnya mengimami shalat dengan memanjangkan bacaan. Akan tetapi mengeraskan bacaan dalam shalat Jahriyah dan tidak mengeraskan bacaan dalam shalat sirriyah bagi imam termasuk sunah shalat, bukan wajib shalat, sebagaimana pendapat mazhab jumhur ulama Maliki, Syafi’i dan Hambali.
Disebutkan dalam “Mausu’ah Fiqhiyah’ 16/188: “Jumhur ulama fuqoha berpendapat bahwa mengeraskan bacaan dalam shalat yang bacaannya dikeraskan atau tidak mengeraskannya dalam shalat yang tidak dikerakan, merupakan sunah shalat. Sedangkan kalangan mazhab Hanafi berpendapat bahwa mengeraskan bacaan pada shalat yang bacaannya dikeraskan dan tidak mengeraskan bacaan pada shalat yang tidak dikeraskan bacaannya, adalah wajib.”
Syekh Ibnu Utsaimin berkata dalam program ‘Nurun Alad-Darb, bab Shalat/218: “Mengeraskan bacaan dalam shalat yang bacaanya dikeraskan, bukan termasuk wajib, akan tetapi merupakan keutamaan saja. Jika seseorang tidak mengeraskan suaranya pada shalat yang bacaannya dikeraskan, maka shalatnya tidak batal. Karena Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda, “Tidak dianggap shalat orang yang tidak membaca Ummul Kitab (Al-Fatihah)” Beliau tidak membatasi bacaannya, apakah keras atau tidak. Jika seseorang membaca bacaan yang wajib dalam shalatnya, apakah dibaca keras atau tidak, maka dia telah dianggap menunaikan yang wajib. Akan tetapi yang lebih utama pada tempat yang disunahkan keras bacaannya, seperti pada dua rakaat pertama shalat Maghrib, shalat Fajar, Shalat Jumat, Shalat Id, Shalat Istisqa, shalat Taraweh dan semacamnya yang sudah dikenal. Jika seorang imam sengaja tidak mengeraskan bacaannya, maka shalatnya tetap sah, akan tetapi kurang. Adapun orang yang shalat sendiri, maka dia boleh memilih antara mengeraskan bacaan atau tidak, dia dapat melihat mana yang lebih membuatnya semangat atau lebih mendatangkan khusyu dalam shalatnya.”
BACA JUGA: Tarawih Dua Kali dalam Semalam, Bolehkah?
Dinyatakan dalam Fatawa Lajnah Daimah Lil Ifta, 6/392: “Terdapat riwayat shahih dari Nabi SAW bahwa beliau mengeraskan bacaan pada shalat Subuh, pada dua rakaat pertama shalat Maghrib dan shalat Isya. Maka mengeraskannya adalah sunah. Dan disyariatkan bagi umatnya untuk mengikutinya, berdasarkan firman Allah SWT:
لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِّمَن كَانَ يَرْجُو اللَّهَ وَالْيَوْمَ الْآخِرَ وَذَكَرَ اللَّهَ كَثِيراً )
“Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan Dia banyak menyebut Allah.” (QS. Al-Ahzab: 21)
Juga terdapat riwayat shahih dari Nabi SAW, beliau bersabda:
صَلُّوا كَمَا رَأَيتُمُونِي أُصَلِّي
“Shalatlah kalian, sebagaimana kalian melihat aku shalat.”
Jadi, jika dia tidak mengeraskan bacaan shalat pada shalat-shalat yang seharusnya dikeraskan bacaannya, maka dia dianggap meninggalkan sunah. Namun shalatnya tidak batal. Dengan kata lain shalatnya tetap sah. []
SUMBER: ISLAMQA