Oleh: Shafayasmin Salsabila
Pengasuh MCQ Sahabat Hijrah Indramayu
“Karena sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan. Sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan” (TQS. Al-Inshirah : 5-6)
HATIKU merengut. Ditampar ayat yang membuatku malu. Telah kubiarkan pipiku diguyur air mata hanya karena sekelumit derita. Padahal asa haram padam di sisi hamba beriman. Dua ayat telah membawa ingatanku pada kegigihan kekasih Allah, Muhammad Sang Nabi akhir zaman.
Manusia pilihan yang lahir di tengah kejahiliyahan. Dari nashab yang suci, putra Abdullah bin Abdul Muththalib. Sejak Jibril turun membawa wahyu di usianya yang ke empat puluh, kehidupan Muhammad Saw berubah drastis. Beban semesta alam seakan berpindah ke pundak beliau. Bagaimana tidak, risalah yang diemban tak hanya untuk satu kaum melainkan seluruh manusia. Sangat pantas jika hal yang sedemikian mengguncang batin dan membuat gemetar sekujur badan.
Tak ada satupun segmentasi hidup Nabi Saw tanpa sematan fenomenal. Setiap peran menjadi suri tauladan. Tak terkecuali saat sepasang kaki mulianya menapaki cadas perjuangan menegakkan Islam. Maka keistiqomahanlah yang beliau tampakkan.
BACA JUGA: Hijrah Itu Karena Allah
Dalam benakku, figur Nabi tergambar jelas. Melerai air mata, mengemas kesedihan saat berturut-turut ditinggalkan dua orang kesayangan. Setelah tiga tahun berkawan panas dan lapar akibat pemboikotan. Allah meminta kembali sang Paman, Abu Thalib dan istri tercinta, Khadijah r.a. Hilangnya dua penopang penting dalam hidup Nabi Saw menjadi pukulan hebat, namun tak urung melumpuhkan semangat juang.
Jangan ditanya tentang koyakan luka dan gencarnya gangguan setelah paman yang biasa melindungi telah pergi. Sikap tidak menyenangkan menjadi hidangan sehari-hari. Permusuhan kafir Quraisy makin menjadi-jadi. Meski demikian, Nabi Saw tak berniat mundur dari dakwah.
Mata elangnya menerawang. Menembus sedalam-dalamnya penglihatan. Berbalut visi besar dan misi yang wajib dituntaskan. Nabi mebuat sketsa rencana. Berkabungnya tak lama. Fokus Nabi kembali kepada penyebaran risalah Islam. Nabi harus segera mencari satu negeri sebagai titik tegaknya daulah Islam.
Jika ditelisik, metode dakwah yang Nabi telah gariskan meliputi perencanaan, kerja keras, organisasi, manufer politik serta kegigihan mencari dukungan fisik, yang diistilahkan dengan nushrah. Dan di sinilah dadaku mulai sesak. Saat mengingat hati Nabi Saw yang remuk dan dipatah-patahkan. Penolakan demi penolakan mewarnai cadasnya jalan Nabi. Ada rasa tak terima dan ingin aku ada di sana biarpun hanya sekedar mengusap debu di terompahnya.
Fakta jumudnya orang-orang Quraisy, membuat Nabi Saw harus mencari dukungan dari suku yang lain. Melebarkan sayap. Maka Rasul mengawali dengan menapakkan kaki di negeri Thaif pada tahun ke 10 kenabian. Thaif atau Ta’if (الطائف aṭ-Ṭā’if) merupakan sebuah kota di Provinsi Mekkah, Arab Saudi pada ketinggian 1.700 m di lereng Pegunungan Sarawat. Kota ini adalah kota terbesar kedua yang berada di kawasan Hijaz. Disana terdapat kabilah bani Tsaqif dimana banyak hidup saudara ibunda Nabi, Aminah binti Wahab. Penerimaan dan dukungan mestinya masuk logika. Toh, masih ada ikatan keluarga.
Tapi nyata membelakangi. Di luar ekspektasi, ejekan serta makianlah yang diterima. Bahkan kerikil dan bebatuan menghujani Nabi. Dilempar oleh orang-orang bodoh, tanpa kenal ampun melukai tumit Nabi. Berdarahlah. Meski hati Nabi jauh lebih berdarah-darah. Kebaikan yang Nabi tawarkan berbalas persekusi nan memilukan.
BACA JUGA: 4 Nasehat Rasulullah SAW untuk Para Pemuda
Lalu Nabi Saw menjumpai tempat yang dirasa aman dari gangguan orang-orang Thaif yang mengamuk dan menggila. Di sebuah kebun anggur. Pada saat itu Nabi merasakan kebingungan dan kebuntuan. Apakah harus kembali pulang kepada kaum yang amat memusuhinya di Makkah? Sementara tidak mungkin lagi bagi Nabi memaksakan diri menetap di Thaif. Dan mustahil pula bagi Nabi untuk tidak segera beranjak dari kebun anggur ini.
Di saat gamang seperti itu, hanya kepada Allah sajalah Nabi memasrahkan semuanya. Nabi Saw pun menengadahkan kedua tangannya dan berdoa:
“Wahai Rabb-Ku, kepada Engkaulah aku adukan kelemahan tenagaku dan kekurangan daya upayaku pada pandangan manusia. Wahai Rabb-ku yang Maha Rahim. Engkaulah Robbnya orang-orang yang lemah dan Engkaulah Robb-ku. Kepada siapa Engkau menyerahkan diriku? Kepada musuh yang akan menerkamku, atau kepada keluarga yang Engkau berikan kepadanya urusanku, tidak ada keberatan bagiku asal Engkau tidak marah kepadaku. Sedangkan afiat-Mu lebih luas bagiku. Aku berlindung dengan cahaya muka-Mu yang mulia yang menyinari langit dan menerangi segala yang gelap. Dan atas-Nyalah teratur segala urusan dunia dan akhirat. Dari Engkau menimpakan atas diriku kemarahanMu atau dari Engkau turun atasku adzab-Mu. Kepada Engkaulah aku adukan halku sehingga Engkau ridha. Tidak ada daya dan upaya melainkan dengan Engkau.”
Demikian sedihnya do’a yang dipanjatkan nabi Muhammad ini, sehingga Allah Swt mengutus Malaikat Jibril untuk menemuinya dan berkata:
‘Sesungguhnya Allah Azza wa Jalla telah mendengar perkataan kaummu kepadamu dan penolakan mereka terhadapmu. Dan Allah Azza wa Jalla telah mengirimkan malaikat penjaga gunung untuk engkau perintahkan melakukan apa saja yang engkau mau atas mereka’. Malaikat (penjaga) gunung memanggilku, mengucapkan salam lalu berkata: ‘Wahai Muhammad! Jika engkau mau, aku bisa menimpakan Akhsabain’.”
Lalu Nabi Saw menjawab: “(Tidak) namun aku berharap supaya Allah Azza wa Jalla melahirkan dari anak keturunan mereka orang yang beribadah kepada Allah semata, tidak mempersekutukan-Nya dengan apapun jua”. [HR Imam al-Bukhâri dan Imam Muslim].
Ma syaAllah, luhurnya akhlak beliau.
Tak lama berselang, Allah mengubah kesedihan Nabi menjadi cahaya yang meneranginya. Allah datangkan tujuh rombongan jin dari komunitas Nashibin. Yang langsung memilih beriman setelah menyimak bacaan Alquran saat Nabi mendirikan salat. Satu hiburan tersendiri bagi Nabi. Cara terindah yang Allah hadirkan untuk membangun kembali asa yang sempat lesu. Berimannya para jin menegaskan bahwa Allah sekali-kali tidak akan mengabaikannya. Bahkan Allah akan senantiasa menyertainya.
BACA JUGA: Ketika Rasulullah Hancurkan Sebuah Masjid
Melalui jaminan perlindungan dari Muth’im bin Adi, Nabi bisa kembali masuk ke dalam Makkah.
Tak patah arang. Nabi kembali mencari jalan untuk mendapatkan nusyroh. Mata elangnya menangkap satu peluang emas yang dibawa bersama musim haji. Di mana ketika musim haji, berbagai suku dan para tokoh berdatangan. Memanfaatkan moment untuk menawarkan agama dan ideologi pada mereka. Ada dua perkara yang Nabi pinta : Pertama, beriman kepada Allah, membuang sesembahan palsu dan beriman kepada Muhammad sebagai Rasulullah. Kedua, Melindungi dakwah Nabi.
Bani Kindah dan Bani Kalb adalah yang pertama ditemui. Nabi menyeru mereka agar menerima Islam. Namun mereka menepis permintaan Nabi.
Apakah Nabi surut nyali? Tidak. Selanjutnya Nabi mendatangi Bani Amir bin Sha’sha’ah. Lalu terjadilah tawar menawar. Dengan berharap bahwa kekuasaan kelak akan diberikan kepada suku mereka jika Nabi telah tiada. Nabi tak segan-segan segera menepisnya dengan berkata : ‘Kekuasaan adalah urusannya Allah. Allah akan memberikan kekuasaan kepada siapa saja yang dikehendaki-Nya.’
Nabi kembali ditolak. Tetapi Nabi pun tak ingin orang oportinis menjadi bagian dari barisan dakwah.
Keyakinan pada janji Allah, menyala dikedua bola mata. Nabi meneruskan pencarian nusyrohnya. Nabi menemui Bani Hanifah yang kemudian kembali menolak beliau dengan cara yang sangat buruk.
Realitas pada saat itu adalah rentetan penolakan. Dengan demikian penduduk Makkah berpaling dari Islam begitu juga penduduk Tha’if. Kabilah-kabilah yang Arab lainnya pun menolak dakwah Nabi. Kabilah-kabilah yang datang untuk menunaikan haji ke Mekkah menyaksikan pengucilan yang dialami Nabi Muhammad Saw. Saat itu dakwah kian sulit. Berkawan dengan kekufuran serta perlawanan kejam dari masyarakat Makkah.
Aku menghela nafas. Nabi sungguh berada dalam posisi sulit. Namun terus gigih mnyebarkan Islam tanpa kenal lelah apalagi menyerah. Nabi tau, ini adalah tahap krusial yang memang harus ditapaki, sepedih apapun. Nabi tak pernah meragu terhadap pertolongan Allah serta janji-Nya. Beliau setia menanti tidak lama waktu berlalu, kabar gembira akan kemenangan tiba dari Madinah.
Aku sadar, sungguh amat mudah bagi Allah untuk membolak-balikan keadaan. Bersama kesulitan ada kemudahan. Hanya saja untuk menguji nyali dakwah, Allah akan sebar duri di sepanjang jalan menuju surga.
Kini aku pun ada di fase yang tak jauh berbeda. Masa iman diuji, ketika dakwah makin dipersempit. Persekusi siap mengeksekusi pendakwah yang konsisten di jalan para Nabi. Labelisasi dan Islamophobia menjadi hantu sehari-hari. Namun dengan kembali memeluk erat sosok Nabi. Aku yakin asa itu tak akan pudar justru sebaliknya mata elang sang Nabi menitis di jutaan mata para penerus tongkat estafet perjuangan Nabi. Wallahu a’lam bish-shawab. []
Kepustakaan:
Prof. Dr. Muh. Rawwas Qol’ahji. 2015. Sirah Nabawiyah Sisi Politis Perjuangan Rasulullah Saw. Bogor: Al-Azhar Press
Iyad Hilal MA. 1997. Kisah Pilihan Dari Kehidupan Rasulullah Saw. Bogor: Pustaka Thariqul Izzah
Abu Muhammad Abdul Malik bin Hisyam Al-Muafiri. 2005. Sirah Nabawiyah Ibnu Hisyam. Darul Falah
Almanhaj: Berdakwah ke Thaif
Kabar Makkah: Begini Doa Nabi ketika Mereka Menghina