BANYAK orang yang menafsiri taubat dengan tekad untuk tidak kembali mengulangi dosa, melepaskan diri darinya seketika itu pula dan menyesali apa yang telah dilakukannya di masa lampau. Jika dosa itu berkaitan dengan hak seseorang, maka dibutuhkan cara lain, yaitu membebaskan diri dari dosa itu.
Inilah yang mereka sebut dengan taubat, dan bahkan itulah syarat-syaratnya. Sementara taubat menurut penyampaian Allah dan Rasul-Nya, di samping meliputi hal-hal itu, juga meliputi tekad untuk melaksanakan apa yang diperintahkan dan mengikutinya. Jadi, taubat tidak sebatas membebaskan diri dari dosa, tekad dan menyesal, yang kemudian dia disebut orang yang bertaubat, sehingga dia mempunyai tekad yang bulat untuk mengerjakan apa yang diperintahkan dan mengikutinya.
BACA JUGA: Bertaubat, Ini Dia 3 Syaratnya
Inilah hakikat taubat, suatu istilah yang memadukan beberapa hal dari dua perkara ini. Tapi kalau istilah taubat ini disertakan dengan pelaksanaan apa yang diperintahkan, memang merupakan ungkapan seperti yang mereka sebutkan itu. Namun jika disendirikan, maka secara otomatis dia akan meliputi dua perkara ini. Seperti lafazh “Taqwa”, yang jika disendirikan mengandung pengertian mengerjakan apa yang diperintahkan Allah dan meninggalkan apa yang dilarang-Nya. Jika disertakan kepada pelaksanaan apa yang diperintahkan, maka artinya bisa menahan diri dari apa yang dilarang.
Hakikat taubat adalah kembali kepada Allah dengan mengerjakan apa-apa yang dicintai-Nya dan meninggalkan apa-apa yang dibenci-Nya, atau kembali dari sesuatu yang dibenci kepada sesuatu yang dicintai.
Kembali kepada apa yang dicintai merupakan bagian dari kelazimannya dan kembali dari apa yang dibenci merupakan bagian yang lain. Karena itu Allah mengaitkan keberuntungan yang mutlak dengan pelaksanaan apa yang diperintahkan dan meninggalkan apa yang dilarang. Firman-Nya,
“Dan, bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, hai orang-orang yang beriman, supaya kalian beruntung,” (QS An-Nur: 31).
Setiap orang yang bertaubat adalah orang yang beruntung. Seseorang tak akan beruntung kecuali dengan mengerjakan apa yang diperin-tahkan dan meninggalkan apa yang dilarang. Firman-Nya,
“Dan, barangsiapa yang tidak bertaubat, maka mereka itulah orangorang yang zhalim,” (QS Al-Hujurat: 11).
Orang yang meninggalkan apa yang diperintahkan dan mengerjakan apa yang dilarang adalah orang zhalim. Untuk menghilangkan sebutan zhalim ini, hanya bisa dilakukan dengan taubat, yang menghimpun dua perkara sekaligus. Karena manusia itu ada dua macam: Orang yang bertaubat dan orang yang zhalim. Tidak ada yang lain. Orang-orang yang bertaubat adalah mereka yang disifati Allah,
BACA JUGA: Beda Istighfar dan Taubat
“Yang beribadah, yang memuji (Allah), yang melawat, yang ruku’, yang sujud, yang menyuruh berbuat ma’ruf dan mencegah berbuat mungkar dan yang memelihara hukum-hukum Allah,” (QS At-Taubah: 112).
Memelihara hukum-hukum Allah merupakan bagian dari taubat. Jadi taubat merupakan kumpulan dari perkara-perkara ini. Seseorang disebut orang yang bertaubat, karena dia kembali kepada perintah Allah dari larangan-Nya, kembali kepada ketaatan dari kedurhakaan kepada-Nya. Jadi taubat merupakan hakikat Islam, dan semua unsur Islam masuk dalam istilah taubat.
Karena itu orang yang bertaubat layak menjadi kekasih Allah, karena Allah mencintai orang-orang yang bertaubat dan juga orangorang yang mensucikan diri. Allah suka jika perintah-Nya dilaksanakan dan larangan-Nya ditinggalkan. Jika taubat juga disebut kembali dari apa yang dibenci Allah secara lahir dan batin kepada apa yang dicintai Allah secara lahir dan batin, berarti di dalamnya terkandung istilah Islam, iman dan ihsan.
Inilah yang menjadi tujuan setiap orang Mukmin, permulaan dan kesudahan hidupnya. Banyak orang yang tidak mengetahui porsi taubat dan hakikatnya, terlebih lagi pengamalannya berdasarkan ilmu dan kondisinya. Karena Allah memberikan kecintaan-Nya kepada orang-orang yang bertaubat, berarti mereka adalah orang-orang yang khusus di sisi-Nya.
ISTIGHFAR ada dua macam: Istighfar yang berdiri sendiri dan istighfar yang dikaitkan dengan taubat. Istighfar yang berdiri sendiri seperti perkatan Nuh AS kepada kaumnya, dan firman Allah SWT:
“Dan, mohonlah ampun kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang,” (QS Al-Baqarah: 199).
Istighfar yang dikaitkan dengan taubat, seperti firman Allah:
BACA JUGA: Bagaimana Tata Cara Shalat Taubat dan Doanya?
“Hendaklah kalian meminta ampun kepada Rabb kalian dan bertaubat kepada-Nya. (Jika kalian mengerjakan yang demikian), niscaya Dia akan memberi keniktnatan yang baik (terus-menerus) kepada kalian sampai kepada waktu yang telah ditentukan dan Dia akan memberi kepada tiaptiap orang yang mempunyai keutamaan (balasan) ke-utamaannya,” (QS Hud: 3).
Istighfar yang berdiri sendiri seperti taubat, dan bahkan istighfar itu sendiri adalah taubat, yang berarti menghapus dosa, menghilangkan pengaruhnya dan mengenyahkan kejahatannya, tidak seperti yang dikira sebagian orang, bahwa artinya adalah menutupi aib. Toh, Allah menutupi aib orang yang diberi-Nya ampunan atau yang tidak diberi-Nya ampunan. Penutupan aib hanya sekedar kelaziman dari maknanya atau sebagian di antaranya. Istighfar inilah yang mencegah turunnya adzab, sebagaimana firman-Nya:
“Dan, tidaklah Allah akan mengadzab mereka, sedang mereka meminta ampun,” (QS Al-Anfal: 33).
Allah tidak akan mengadzab orang yang meminta ampunan. Sedangkan orang yang masih tetap berbuat dosa, namun dia juga meminta ampun kepada Allah, maka hal ini tidak bisa disebut istighfar yang murni.
Karena itu, istighfarnya tidak mampu mencegah adzab. Istighfar mencakup taubat dan taubat mencakup istighfar, masing-masing masuk dalam pengertian yang lain. Jika keduanya disertakan, maka makna istighfar adalah menjaga dari kejahatan yang lampau, sedangkan makna taubat adalah kembali dan mencari penjagaan dari sesuatu yang ditakutinya di masa mendatang, berupa keburukan-keburukan amalnya. Ada dua macam dosa, yaitu dosa yang telah lampau dan dosa yang dikhawatirkan akan terjadi di masa mendatang. Istighfar dari dosa yang telah lampau berarti mencari perlindungan dari kejahatannya, dan taubat dari dosa yang dikhawatirkan akan terjadi berarti bertekad untuk tidak mengulanginya lagi.
Orang yang berdosa diibaratkan orang yang melewati suatu jalan, padahal jalan ini akan membawanya kepada kehancuran dan tidak menghantarkannya ke tujuan. Maka dia diperintahkan untuk menghentikan langkah kakinya, meninggalkan jalan itu dan kembali ke jalan yang membawanya kepada keselamatan dan menghantarkannya ke tujuan.
Dari sinilah bisa diketahui secara jelas masalah taubatan nashuhan dan hakikatnya, seperti firman Allah:
“Hai orang-orang yang beriman, bertaubatlah kepada Allah dengan taubat yang semurni-murninya, mudah-mudahan Rabb kalian akan menghapus kesalahan-kesalahan kalian dan memasukkan kalian ke dalam surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai,” (QS At-Tahrim: 8).
BACA JUGA: Doa Tak Terkabul? Ini 8 Penyebabnya?
An-Nashuh dalam taubat dan ibadah artinya membersihkannya dari kebohongan, kekurangan dan kerusakan serta mengerjakannya sesempurna mungkin. An-Nashuh kebalikan dari tipuan. Orang-orang salaf saling berbeda dalam mendefinisikannya. Umar bin Al-Khaththab dan Ubay bin Ka’b Radhiyallahu Anhuma berkata, “At-Taubatun-nashuh artinya taubat dari suatu dosa dan pelakunya tidak mengulanginya lagi, sebagaimana air susu yang tidak bisa kembali ke kantong kelenjarnya.”
Al-Hasan Al-Bashry berkata, “Seorang hamba menyesali apa yang dilakukannya di masa lampau dan bertekad untuk tidak mengulanginya lagi.”
Al-Kalby berkata, “Seorang hamba harus memohon ampun dengan lidahnya, menyesal dengan hatinya dan menahan diri dengan anggota tubuhnya.”
Sa’id bin Al-Musayyab berkata, “Kalian harus jujur terhadap diri sendiri.”
Muhammad bin Ka’b Al-Qarzhy berkata, “Seorang hamba harus menghimpun empat perkara: Istighfar dengan lidah, membebaskan diri dengan anggota badan, tekad untuk tidak mengulang lagi dengan hati dan menjauhi teman-teman yang masih melakukannya.” []
BERSAMBUNG…