JIKA seorang hamba sudah berada di persinggahan intropesksi diri (muhasabah) secara benar, maka ada persinggahan lain, yaitu taubat. Dengan muhasabah dia bisa membedakan mana yang menjadi haknya dan mana yang menjadi kewajibannya. Maka selanjutnya dia harus tetap membulatkan tekad dan ambisi dalam melanjutkan perjalanan menuju Allah sampai akhir hayatnya.
Taubat merupakan awal persinggahan, pertengahan dan akhirnya. Seorang hamba yang sedang mengadakan perjalanan kepada Allah tidak pernah lepas dari taubat, sampai ajal menjemputnya. Sekalipun dia beralih ke persinggahan yang lain dan melanjutkan perjalanannya, taubat selalu menyertainya. Taubat merupakan permulaan langkah hamba dan kesudahannya. Kebutuhannya terhadap taubat amat penting dan mendesak, tak berbeda dengan permulaannya.
BACA JUGA: Pernah Onani di Bulan Ramadhan ketika Belum Taubat, Bagaimana?
Allah SWT befirman, “Dan, bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, hai orang-orang yang beriman, supaya kalian beruntun,” (QS. An-Nur: 31).
Ayat ini turun di Madinah. Di sini Allah mengarahkan firman-Nya kepada orang-orang yang beriman dan orang-orang pilihan-Nya, agar mereka bertaubat, setelah mereka beriman, bersabar, berjihad dan berhijrah. Bahkan Allah mengaitkan keberuntungan dengan satu sebab, dan juga menggunakan kata “supaya”, yang mengindikasikan pengharapan. Dengan kata lain, jika kalian bertaubat, maka diharapkan kalian akan beruntung. Sementara tidak ada yang mengharap keberuntungan kecuali orang-orang yang bertaubat. Semoga Allah menjadikan kita semua termasuk golongan mereka.
Di samping itu, Allah juga befirman tentang kebalikan dari golongan ini, “Dan, barangsiapa yang tidak bertaubat, maka mereka itulah orangorang yang zhalim,” (QS. Al-Hujurat: 11).
Hamba dibagi menjadi orang yang bertaubat dan yang tidak bertaubat atau zhalim. Tidak ada orang ketiga setelah itu. Cap zhalim diberi-kan kepada orang yang tidak bertaubat dan tidak ada orang yang lebih zhalim dari dirinya, karena dia tidak tahu Allah dan hak-Nya, tidak tahu aib dirinya dan kekurangan amalnya.
Di dalam Ash-Shahih disebutkan dari Rasulullah SAW, beliau bersabda, “Wahai sekalian manusia, bertaubatlah kalian kepada Allah. Demi Allah, aku benar-benar bertaubat kepada Allah lebih dari tujuh puluh kali dalam sehari.”
Dalam suatu majlis sebelum beliau beranjak pergi, para shahabat pernah menghitung, beliau mengucapkan sebanyak seratus kali ucapan berikut, “Wahai Rabbi, ampunilah dosaku dan terimalah taubatku, karena Engkaulah Maha Penerima taubat lagi Maha Pengampun.”
BACA JUGA: Nasihat Sahabat dan Doa untuk Taubat
Karena taubat itu merupakan langkah kembalinya hamba kepada Allah dan meninggalkan jalan orang-orang yang mendapat murka lagi sesat, maka dia tidak bisa memperolehnya kecuali dengan hidayah Allah agar dia mengikuti ash shirathul mustaqim. Sementara hidayah-Nya tidak bisa diperoleh kecuali dengan memohon pertolongan kepada-Nya dan mengesakan-Nya.
Urutan-urutan semacam ini sudah terangkum secara baik dan lengkap di dalam Al-Fatihah. Siapa yang memberikan hak kepada Al-Fatihah sesuai dengan kapasitas ilmu, kesaksian, kondisi dan ma’rifahnya, tentu dia akan mengetahui, bahwa pembacaan surat Al-Fatihah ini belum dianggap sah dalam ibadah kecuali disertai taubat yang sebenar-benarnya (taubatan nashuha). Sebab hidayah yang sempurna untuk mengikuti ash shirathul mustaqim tidak akan diperoleh jika tidak tahu terhadap dosa yang telah dilakukan, terlebih lagi jika dosa itu terus-menerus dilakukan. []
Referensi: E-book Madarijus Salikin (Pendakian Menuju Allah)/Ibnu Qayyim Al-Jauziyah/Pustaka Al-Kautsar/1999