Oleh: Ali Akbar
FUDHAIL bin ‘Iyadh merupakan sosok yang dahulu lebih banyak bersentuhan dengan dunia hitam, menjadi perampok yang amat ditakuti. Hanya saja demikianlah tabiatnya, “man yahdihil Laah falaa mudhillalah.” Ketika di antara hamba, ada yang menerima karunia hidayah, yang Allah hadiahkan kepadanya, memeluknya dalam dekapan, memegangnya dengan segenap keteguhan, maka tak ada yang mampu menyesatkannya dari jalan ini.
Tak ada kekuatan yang mampu menyimpangkannya dari jalan ini, meski tabiat hidayah itu sendiri, mengandung konsekuensi, menuntut pengorbanan tak berhingga, dan menguras banyak air mata. Dan ia, al-Fudhail, di antara sekian hamba itu.
BACA JUGA: Saudaraku, Saat Kita Bertaubat
Awal taubatnya dikisahkan, bahwa hanya dengan satu ayat, hatinya kemudian tersentuh, jiwanya tersentak, kesadarannya tiba-tiba saja terbangun. Ia tergugah dengan al-Quran surat Hadid:16, yang tengah dibaca oleh seorang mukminah.
Rangkaian keagungan dalam satu ayat ini, langsung saja memenuhi segenap relung jiwanya, mengantarnya untuk berkata tanpa menunggu jeda, “Tentu saja wahai Rabbku. Sungguh telah tiba waktunya, bertaubat dari kezaliman besar ini.”
Selanjutnya, dalam perjalanan kembali, tak jauh darinya, lamat-lamat ia mendengar percakapan sekumpulan manusia, “Kita jalan terus sampai pagi, karena biasanya Al-Fudhail menghadang kita di jalan ini.” Ia termenung sesaat, lalu kejujuran taubatnya menuntunnya untuk berucap, “Aku bergelut dengan dosa di malam hari, dan sekumpulan manusia pun takut kepadaku. Tidaklah Allah menggiringku kepada mereka ini, melainkan agar aku berhenti dari jalan penuh noda ini. Ya Allah, sungguh aku telah taubat kepadaMu, dan aku menjadikan taubatku, dengan berdiam di Baitul Haram.”
Setelah itu, kesungguhan taubatnya, dipenuhi dengan kepadatan mencari dan mencatat ilmu, orientasi belajar serius tanpa diselingi permainan dan kesia-siaan, mengganti dosa yang dahulu dengan ketaatan dan ubudiyah yang amat tekun, dan itu semata-mata, demi mendapatkan ridha Ar-Rahman. Tidak lebih.
BACA JUGA; Cara Taubat dari Dosa
Maka jadilah setelah itu, atas taufik Allah, ia menjadi ulama Rabbani, yang jujur dalam bermuamalah dengan Rabbnya, tergantikan segenap dosa dengan catatan-catatan kebaikan pada akhirnya, terpercaya kata-katanya, di hadapan segenap manusia yang hidup di zamannya dan setelahnya.
Di ujung perjalanan hidupnya, namanya tercatat dalam deretan rawi hadits yang terpercaya, hidupnya kemudian berkah, karena akhirnya ia dikenal sebagai ulama yang amat disegani. Sekali lagi, kejujuran taubatnya telah mengantarnya hingga jauh ke atas puncak kemuliaan.
Allah menakdirkan namanya, hingga kini, dalam jejak-jejak kebaikan, yang mengandung banya kibrah dan pelajaran. []