SAUDARAKU,
Dari semua aktivitas tubuh yang begitu nyaman dilakukan manusia adalah tawa. Ringan. Lepas tanpa beban. Tawa menggambarkan suasana bahagia dari si pemiliknya.
Orang bisa menebak suasana seperti apa yang sedang dialami seseorang dari ekspresi tawanya. Ada yang lepas, menandakan sebuah kebahagiaan alami. Ada yang terbahak, menandakan sebuah kepuasan yang tiada tara. Dan, ada yang tertahan; sebagai tanda keraguan. Atau bahkan keterpaksaan.
Saudaraku,
Buat mereka yang piawai mengelola ekspresi, tawa bisa dijadikan topeng. Tawanya seolah memperlihatkan kepuasan jalinan pertemanan, padahal hatinya menyimpan dendam. Ada juga yang demi tuntutan publik, tawanya menutupi rasa duka yang disembunyikan.
Ada makna lain dari tawa. Makna ini biasa ditangkap dari ekspresi tawa para pemimpin. Bisa pemimpin negeri, masyarakat, bahkan keluarga. Tawa buat orang-orang ini menyiratkan bahwa keadaan baik-baik saja. Tidak ada masalah.
Kadang kenyataan tidak serupa dengan yang diperkirakan. Tidak sedikit, tawa pemimpin tidak serta merta juga tawa bawahannya. Justru, kian lebar tawa pemimpin, kian gelisah orang-orang di sekitarnya. Ada semacam ketidakpercayaan.
Saudaraku,
Khalifah Umar bin Khaththab r.a. menyimpan tawa puasnya hingga benar-benar bisa dipastikan kalau semua warganya memang sedang tertawa. Bahwa tawa Umar baru terlihat setelah bersungguh-sungguh memakmurkan warganya. Dengan kata lain, tawa seorang pemimpin bukan sekadar terjemahan bahwa semua baik-baik saja. Melainkan, sebagai ujung dari rangkaian tawa para bawahannya.
Saudaraku,
Dari sekian pelaku tawa, tidak sedikit yang lengah menata tawanya. Lengah karena tawa bisa menusuk hati orang lain yang berduka. Lengah karena tawa bisa menambah jurang pemisah kaya miskin. Lengah karena tawa bisa merusak wibawa pemimpin.
Berhati-hatilah memperlihatkan tawa. Karena tidak sedikit di antara kita yang sedang menangis. []