PERNAHKAH kita merasakan koneksi dengan Allah tidak berjalan lancar? Terkadang bagus, tapi terkadang eror. Atau sulit konsisten dalam mengamalkan ilmu. Baik setelah menerimanya ataupun menyampaikan kembali ilmu tersebut kepada orang lain. Kuncinya adalah tawadhu.
Salah satu penyebabnya adalah karena Allah belum memberikan taufik kepadanya. Yakni kemampuan untuk melaksanakan ketaatan kepadaNya.
Kunci mendapatkan taufik adalah dengan tawadhu. Sifat mudah menerima kebenaran dan rendah hati kepada manusia. Tidak merasa lebih baik dari orang lain sehingga mau menerima kebenaran dari siapapun. Tak sakit hati saat dikritik dan tidak baper bila diremehkan.
Tawadhu hanya dimiliki oleh orang mulia. Yang membuat manusia mencintainya. Kebalikan dari tawadhu adalah sombong. Yakni menolak kebenaran dan merendahkan manusia.
Menurut Ulama salaf, Hasan Bashri, “Tawadhu adalah tidaklah seseorang bertemu dengan orang lain kecuali menganggap semua lebih baik darinya. Ketika bertemu orang yang lebih tua menganggap bahwa ia lebih banyak amalnya, dan ketika melihat yang lebih muda berpikir bahwa ia lebih sedikit dosanya. Dan inilah yang menjadi puncak ketawadhuan.
BACA JUGA:Â 3 Keutamaan Tawadhu
Dua poin ketawadhuan adalah mudah menerima kebenaran dan menghargai orang lain. Ke-2nya tidak akan pernah bisa bertemu dengan sifat sombong.
1. Mudah menerima kebenaran
Adakah yang bisa menjamin dirinya tidak pernah sombong. Saat disampaikan sebuah ayat Al-Qur’an atau hadits Nabi malah menolak dan mencari-cari dalih. Bukankah artinya kita merasa lebih hebat dari pada Allah.
Sebagaimana iblis yang merasa lebih baik sehingga enggan memenuhi perintah Allah untuk sujud kepada Adam. Saat Allah murka apakah ia mau mengakui kesalahannya? Atau meminta ampun kepadaNya? Yang terjadi justru meminta penangguhan waktu untuk menggoda manusia sebagai temannya di neraka. Naudzubillah.
Tidak akan bisa bertemu sifat tawadhu dengan menolak kebenaran.
2. Rendah hati kepada manusia
Rendah hati bukanlah orang yang merendahkan diri (minder). Melainkan menganggap dirinya tidak lebih baik dari orang.
Tawadhu bisa menghimpun akhlak mulia dan membersihkan hati dari segala penyakitnya. Orang yang tawadhu selalu menjadikan ilmu bukan sebagai kaca pembesar untuk mencari-cari kesalahan orang lain melainkan untuk menambah kemuliaannya di sisi Allah.
Sedangkan sifat mudah menjustifikasi atau meremehkan orang lain tidak pernah bertemu dengan sifat tawadhu.
Beberapa alasan mengapa kita tidak boleh menvonis orang lain diantaranya, bahwa siapa yang bisa melihat perbuatan orang lain selama 24 jam. Bisa jadi banyak amalan tersembunyi yang derajatnya jauh di atas kita. Kemudian siapa yang tahu amalan hati seseorang. Bisa jadi ia lebih ikhlas, sabar, tawakal atau amalan hati lainnya.
BACA JUGA:Â Tawadhunya Nabi
Seorang ulama kontemporer pernah membahas tentang betapa besarnya keutamaan amalan hati dibanding amalan fisik. Siapa yang tak tahu keutamaan keikhlasan Abu bakar dan amalan fisik Amr bin ash. Disebut dalam hadits, bahwa Amr bin ash adalah sahabat yang pernah menyanggupi puasa sepanjang hari dan khatam Al-Qur’an setiap hari. Tapi bisakah beliau menandingi keutamaan Abu bakar? Ternyata amalan hati yang dimiliki abu bakar jauh di atas Amr bin ash yang juga salah satu sahabat terdepan.
Atau adakah yang tahu akhir dari kehidupan seseorang? Sebagaimana Umar bin Khattab yang tadinya memusuhi Islam kemudian menjadi pembela Islam terdepan.
Oleh karena itu apa alasan kita tidak bisa tawadhu ketika sudah mengetahui keutamaannya?
Wallahu a’lam bi showab. []