Oleh: Subhan Akbar
subhan_akbar@yahoo.com
SAYA dan istri sangat senang dengan iklan teh Sari Wangi yang mengangkat tema “mari bicara”. Dengan iklan itu saya dan istri jadi dapat ide untuk berkomunikasi manakala hubungan kami sedang ada masalah.
Caranya gampang, saya atau istri cukup meletakkan secangkir teh di meja makan keluarga sebagai ajakan ngobrol membahas masalah yang terjadi. Tehnya boleh manis, boleh juga tawar. Tergantung situasi saja. Yang penting tehnya harus Sariwangi, teh celup idola keluarga dan meletakan cangkir tehnya di tempat yang mudah dilihat. Jadi agar pihak yang diundang mudah memahami maksud dari sajian teh tersebut.
Jika pihak yang diajak ngobrol itu meminum teh yang disajikan itu artinya dia bersedia memenuhi ajakan ngobrol dari si pembuat teh. Dan, sebagai tanda kesediaan, pihak yang diundang akan mengisi cangkir yang sama dengan air putih. Selanjutnya kedua pihak akan bertemu di ruang keluarga untuk mendiskusikan masalah yang terjadi. Simpel kan?
Nah, suatu saat saya dan istri benar-benar menghadapi masalah. Karena satu dan lain hal saya dan istri enggan bicara satu sama lain. Saya merasa benar dengan sikap saya. Sedangkan istri saya juga merasa tak salah dengan pendapatnya. Jadilah di antara kami perang dingin. Selama dua hari saya dan istri tak bertegur sapa walaupun setiap malam tetap tidur satu ranjang.
Di hari ketiga pertengkaran, ketika saya pulang kantor, saya mendapati secangkir teh di atas meja makan. Aha, saya langsung berpikir istri saya mengajak membicarakan masalah yang sedang terjadi. Okelah saya akan penuhi tapi saya tidak segera minum teh yang dihidangkan.
Saya ingin bersih-bersih badan dulu dan ganti pakaian sejenak. Setelah itu baru lah saya minum teh yang dihidangkan. Itung-itung jaga gengsi. “Emang saya suami apaan, disuguhkan teh langsung luluh,” ego saya bermain.
Tak sampai sepuluh menit saya sudah siap di meja makan. Tanpa pikir panjang saya teguk teh yang ada di hadapan saya. Dan sesuai peraturan, saya isi kembali cangkir bekas teh tadi dengan air putih lalu saya letakan di tempat yang sama. Kemudian saya menunggu istri saya datang di ruang keluarga.
Lima menit saya tunggu di ruang tamu istri belum datang. Sepuluh menit selanjutnya istri juga belum menampakan batang hidung. Hingga tiga puluh menit berlalu istri masih diam di kamar. Hingga kemudian anak saya yang pertama berteriak, “Ayahhh…ibu….teh kakak yang di atas meja siapa yang minum? Kakak kan lagi dinginin.”
Mendengar itu saya kaget bukan kepalang. Ternyata teh yang tadi saya minum bukan teh undangan. Saya jadi serba salah, apalagi dari dalam kamar istri ikut-ikutan menggoda. “Makanya kalo haus tanya-tanya dulu. Jangan asal minum aja. Teh undangan untuk ayah baru mau ibu bikin nanti malam.”
Istri saya tertawa lepas. Saya pun spontan tersenyum menahan malu. Jadilah masalah selesai sebelum dibicarakan. []