BICARA teknologi, sering orang terdikotomi – atau bahkan terpolarisasi – pada pembagian teknologi “tepat guna” dan “teknologi canggih.” Teknologi tepat guna sering dipahami sebagai teknologi yang menyentuh kehidupan rakyat kecil yang merupakan mayoritas, dan dengan mudah dapat diterapkan untuk menaikan kualitas hidup.
Sedang teknologi canggih diasosiasikan sebagai teknologi yang eksklusif, hanya mampu digunakan oleh orang-orang kaya, atau yang berpendidikan tinggi. Penggunaan teknologi canggih juga tidak secara signifikan menaikan kualitas hidup, kecuali hanya menaikkan gengsi dari penggunanya. Teknologi tepat guna juga secara umum dapat dibuat sendiri oleh penduduk lokal dengan bahan-bahan lokal, sedang teknologi canggih lebih sering masih harus diimpor.
BACA JUGA: Peneliti Arab Saudi Kembangkan Teknologi Alquran Digital untuk Tunanetra
Karena itu, teknologi tepat guna sering diasosiasikan dengan teknologi untuk mendapatkan air, teknologi meningkatkan produksi pertanian dan peternakan, teknologi energi yang murah, teknologi kesehatan dan obat-obatan dari bahan-bahan yang tersedia dan murah, juga teknologi transportasi yang tidak memerlukan teknologi tinggi.
Teknologi tinggi sering dicontohkan dengan teknologi informasi dan komunikasi, serta teknologi hankam. Ini tidak menutup mata pada eksistensi teknologi canggih di bidang pangan, energi, kesehatan dan transportasi; atau juga teknologi tepat guna di bidang informasi, komunikasi serta hankam.
Pada masa keemasan peradaban Islam, sebagian besar teknologi yang berkembang berangkat dari kebutuhan mayoritas rakyat. Karena itu mayoritas teknologi yang ada dapat disebut tepat guna.
Misalnya teknologi pangan. Di dunia pertanian muncul Al-Asma’i (740-828 M) yang mengabadikan namanya sebagai ahli hewan ternak dengan bukunya, seperti Kitab tentang Hewan Liar, Kitab tentang Kuda, kitab tentang Domba, dan Abu Hanifah Ahmad ibn Dawud Dinawari (828-896), sang pendiri ilmu tumbuh-tumbuhan (botani), yang menulis Kitâb al-nabât dan mendeskripsikan sedikitnya 637 tanaman sejak dari “lahir” hingga matinya. Dia juga mengkaji aplikasi astronomi dan meteorologi untuk pertanian, seperti soal posisi matahari, angin, hujan, petir, sungai, mata air. Dia juga mengkaji geografi dalam konteks pertanian, seperti tentang batuan, pasir dan tipe-tipe tanah yang lebih cocok untuk tanaman tertentu.
Pada abad 9/10 M, Abu Bakr Ahmed ibn ‘Ali ibn Qays al-Wahsyiyah (sekitar tahun 904 M) menulis Kitab al-falaha al-nabatiya. Kitab ini mengandung 8 juz yang kelak merevolusi pertanian di dunia, antara lain tentang teknik mencari sumber air, menggalinya, menaikkannya ke atas hingga meningkatkan kualitasnya. Di Barat teknik ibn al-Wahsyiyah ini disebut “Nabatean Agriculture.”
Para insinyur Muslim merintis berbagai teknologi terkait dengan air, baik untuk menaikkannya ke sistem irigasi, atau menggunakannya untuk menjalankan mesin giling. Dengan mesin ini, setiap penggilingan di Baghdad abad 10 sudah mampu menghasilkan 10 ton gandum setiap hari.
Pada 1206 al-Jazari menemukan berbagai variasi mesin air yang bekerja otomatis. Berbagai elemen mesin buatannya ini tetap aktual hingga sekarang, ketika mesin digerakkan dengan uap atau listrik.
BACA JUGA: Apakah Teknologi Sedang Membunuh Budaya kita?
Di Andalusia, pada abad-12, Ibn Al-‘Awwam al Ishbili menulis Kitab al-Filaha yang merupakan sintesa semua ilmu pertanian hingga zamannya, termasuk 585 kultur mikrobiologi, 55 di antaranya tentang pohon buah. Buku ini sangat berpengaruh di Eropa hingga abad-19.
Pada awal abad 13, Abu al-Abbas al-Nabati dari Andalusia mengembangkan metode ilmiah untuk botani, mengantar metode eksperimental dalam menguji, mendeskripsikan, dan mengidentifikasi berbagai materi hidup dan memisahkan laporan observasi yang tidak bisa diverifikasi.
Muridnya Ibnu al-Baitar (wafat 1248) mempublikasikan Kitab al-Jami fi al-Adwiya al-Mufrada, yang merupakan kompilasi botani terbesar selama berabad-abad. Kitab itu memuat sedikitnya 1400 tanaman yang berbeda, makanan, dan obat, yang 300 di antaranya penemuannya sendiri. Ibnu al-Baitar juga meneliti anatomi hewan dan merupakan bapak ilmu kedokteran hewan, sampai-sampai istilah Arab untuk ilmu ini menggunakan namanya.
Ini adalah fakta-fakta yang terkait langsung dengan ilmu pertanian dalam arti sempit. Namun revolusi pertanian yang sesungguhnya terjadi dengan berbagai penemuan lain yang tergolong teknologi canggih. Alat-alat untuk memprediksi cuaca, peralatan untuk mempersiapkan lahan, teknologi irigasi, pemumpukan, pengendalian hama, teknologi pengolahan pasca panen, hingga manajemen perusahaan pertanian, semua tergolong canggih pada masanya. Kombinasi sinergik dari semua teknologi ini selalu menghasilkan akselerasi dan pada moment tertentu cukup besar untuk disebut “revolusi pertanian Muslim.”
Revolusi ini menaikkan panenan hingga 100 persen pada tanah yang sama. Kaum Muslim mengembangkan pendekatan ilmiah yang berbasis tiga unsur: sistem rotasi tanaman, irigasi yang canggih, dan kajian jenis-jenis tanaman yang cocok dengan tipe tanah, musim, serta jumlah air yang tersedia. Ini adalah cikal bakal “precission agriculture,” suatu teknologi yang hingga abad-21 tetap terkesan “canggih,” karena memang tidak semua orang mengerti. Orang merasa lebih mudah memberikan pupuk buatan dan pestisida, karena hasilnya “jelas”, meski dalam jangka panjang justru merugikan petani.
Revolusi ini ditunjang juga dengan berbagai hukum pertanahan Islam, sehingga orang yang memproduktifkan tanah mendapat insentif. Tanah tidak lagi dimonopoli kaum feodal dan tak ada lagi petani yang merasa dizalimi sehingga malas-malasan mengolah tanah. Negara juga menyebarkan informasi teknologi pertanian sampai ke para petani di pelosok-pelosok. Ternyata di samping teknologi tepat guna diperlukan juga “hukum tepat guna” dan “negara tepat guna.”
BACA JUGA: Teknologi tanpa Edukasi
Karena itu sebenarnya tidak perlu ada dikotomi teknologi tepat guna dan teknologi canggih. Dilihat dari perspektif abad-21, semua teknologi di zaman keemasan Islam dari abad-10 M sampai abad-19 M terlihat cukup sederhana dan “tepat guna”, walaupun ada juga yang sudah kadaluwarsa.
Namun ternyata tetap ada sejumlah teknologi yang terasa “canggih’, bahkan hingga hari ini. Kuncinya adalah kaidah fiqih: “Apa saja yang mutlak diperlukan untuk memenuhi suatu kewajiban, maka hukumnya wajib pula untuk diadakan.”
Jadi para ilmuwan Islam tempo dulu tidak terlalu ambil pusing dengan dikotomi canggih atau tepat guna, tetapi apa yang dipandang paling banyak memberi manfaat bagi umat. Kalau itu memang perlu SDM yang mumpuni, itu sudah menjadi tanggung jawab mereka di “negeri yang juga tepat guna.” []
SUMBER: TEKNOISLAM