Oleh: Andromedanisa
BARANGKALI saat kita berada dititik terendah kita. Kita kehilangan apapun dalam hidup kita, bahkan itu sebuah kebanggaan kita. Kita terpuruk dan terpukul. Merasa diri adalah orang yang paling hina dina didunia ini. Kelam, tak ada harapan untuk kembali menjadi baik.
Barangkali saat perasaan kita begitu kalut. Kitapum menyadari bahwasannya kehidupan kita, bukanlah kehidupan orang baik pada umumnya. Kelam, tak ada pijakan bahkan untuk kembali memulai tak ada kekuatan sedikitpun.
Barangkali kitapun pernah merasa memaki-maki takdir tersebab kehidupan kita tidak sebaik teman-teman sebaya kita. Dimana mereka mendapatkan pendidikan agama terbaiknya, kasih sayang begitu banyak yang ia terima. Sementara hidup kita terlalu menyakitkan jika harus diingat kembali. Kelam, tak ada kebaikan sedikitpun disana.
Barangkali kita pernah demikian. Kita memahami hal itu salah. Namun tetap saja kita ulangi dan ulangi kembali perbuatan itu. Kita menyadari sepenuhnya bahwasanya hal itu salah. Namun apa daya, tak ada satupun yang peduli dengan hidup kita. Kita terperangkap lada jerat-jerat keburukan disekitar hidup kita. Kelam, hanya pengakuan diri sendiri yang mengatakan bahwasanya itu salah.
Iya, kita mungkin pernah disituasi yang demikian. Kehidupan yang pahit, masa lalu yang getir, masa depan yang suram, dan tak ada satupun harapan kebaikan itu ada pada diri kita.
Namun barangkali kitapun pernah dititik, dimana airmata kita kuyup oleh ratapan penyesalan dosa-dosa kita. Kita berada dititik dimana hanya airmata yang dapat memahami perasaan kita. Kalut, marah, benci, dan haru. Perasaan kita haru saat itu. Bukan pada apa-apa yang telah kita lewati. Namun lebih kepada baiknya Allah pada diri kita.
Baiknya Allah yang mana atas rahmat dan karuniaNya, Ia melembutkan hati kita. Kitapun sampai pada fase dimana, hanya Allah yang tau betapa hancurnya hati kita saat itu juga.
Kitapun menangis sepilu-pilunya, merapal maaf berkali-kali pada-Nya. “Ampuni diriku ini, ya Rabb. Kasihilah diriku ini. Manusia hina dina dan akan tetap hina tanpa mendapat pengampunan-Mu.”
Kitapun merapalnya berkali-kali, sampai terasa sesak, sampai terasa pilu memilukan. Hanya satu yang dimintakan, sebuah ampunan. AmpunanNya saja, tidak ada yang lain.
Pada titik ini, kitapun akan menyadari. Siapa-siapa yang pada akhirnya akan tetap tulus membersamai.
Pada jalan hijrah menuju-Nya, kaki kita akan berkali-kali gontai, keyakinan kita akan berkali-kali diuji, dan kecintaan kitapun akan berkali-kali dihunuskan tepat pada inti jantung kita.
Maka jika kelak kita merasakan samapi dititik ini. Mintakan selalu padaNya sebuah hidayah, berupa keyakinan penuh hanya pada-Nya saja. Sebab pada titik inilah, kita akan merasakan betapa manisnya menjadi seorang hamba.
Kembalilah hati yang baik, tak mengapa. Rahmat Allah begitu luas, dan ampunan melebihi apapun yang ada didunia ini. Ia Maha Baik, dan Maha Pengampun. Jangan takut. Selama kau tak punya siapa-siapa selain Allah, maka Allah itu lebih dari cukup. Ia tidak akan pernah mengecewakan, tidak pernah sekalipun. []