ALKISAH, saya baru saja lepas dari sebuah pengalaman yang sangat bodoh, namun terus-terang saja sangat berharga, dan rasanya akan menjadi pelajaran yang paling saya ingat sepanjang hidup saya.
Kejadian awalnya sebenarnya dimulai sekitar setahun yang lalu, ketika saya mulai ikut pengajian. Tiba-tiba saja saya mulai merasakan begitu banyak sisi kejam (dan mungkin kelam) dari kehidupan yang saya miliki. Betapa tidak, entah karena apa, saya merasa bahwa dua sahabat saya yang paling dekat dengan saya, begitu saja meninggalkan saya. Padahal kami bertiga sudah berteman sejak masih SMP kelas 1.
Palu godam itu tiba-tiba menghantam. Saya tak pernah tahu alasannya sampai sekarang, tapi tiba-tiba aja mereka begitu aja menghentikan segala kontak dengan saya. Awalnya memang secara halus, tapi kemudian isyaratnya makin jelas; mereka tak mau lagi berteman dekat dengan saya. Mungkin, perpisahan jika dikarenakan tulus dan dikehendaki masing-masing akan jadi lebih berarti dibandingkan dengan perpisahan yang saya rasakan ketika itu. Saya merasa bahwa mereka berdua masih terus menjalin hubungan.
Okelah, mungkin saya melakukan sesuatu yang tidak mereka senangi—ikut pengajian itu dan kemudian ada banyak hal yang berubah dari saya. Saya kemudian menarik mundur teratur dari mereka. Siapa yang kuat melihat mereka berdua bertingkah laku di depan mata kepala sendiri? Singkat cerita, betapa hancurnya saya.
Dan kejadian itu sungguh menjadi sebuah trigger, yang mengubah cara pandang saya dalam banyak hal. Sedikit demi sedikit, dengan sangat terkonsep—bukan hanya dengan mereka, namun dengan serta merta saya mempunyai pertemanan yang lain. Saya mulai membiasakan diri untuk tidak pernah merasa mempunyai keuntungan terhadap orang lain. Artinya, saya mencoba bersikap datar-datar saja terhadap siapapun.
Apa berhasil? Setelah beberapa bulan, totally, ya. Benar-benar sangat membantu proses recovery saya yang berdarah-darah. Terhadap siapapun saya merasa tidak punya kepentingan, dan vice versa (begitu juga sebaliknya) orang pun tidak merasa punya kepentingan apapun terhadap saya. Wal hasil, semuanya terasa sama saja, tak ada rasanya. Misalnya saja, saya tidak pernah sakit hati lagi. Saya tidak pernah tersinggung. Saya tidak pernah marah. Saya tidak merasa bahagia manakala ada orang lain atau seorang teman yang saya kenal mendapatkan sebuah kebaikan. Saya juga tidak merasa harus bersedih ketika misalnya ada kerabat seorang teman yang meninggal dunia. Sekali lagi, semuanya tidak memberikan perbedaan bagi saya.
Selama beberapa bulan—kurang lebih saya hidup dengan cara seperti itu. Tak ada yang serius, namun juga tak ada yang main-main. Dan saya merasa baik-baik saja dengan kondisi itu. Jadi, dengan demikian, walau saya dengan mati-matian menolak dikatakan apatis, kenyataannya memang saya seperti itu. Ketika itu, jangankan peduli dengan urusan yang mungkin sedang terjadi di Palestina atau di mana gitu, di sekeliling pun saya hanya berjalan lurus saja. Paling yang masih menarik perhatian saya adalah keluarga sendiri.
Dan keuntungan terbesar yang saya dapatkan dari sikap seperti itu adalah saya tidak pernah lagi merasa sakit atau terluka.
BACA JUGA: Teman Didekati, Ayah Dijauhi, Tanda Akhir Zaman
TAPI ternyata, pada suatu titik ketika saya bener-bener tengah menikmati puncak dari sikap datar itu, saya malah harus mengalami peristiwa yang benar-benar membikin saya berada di bumi lagi. Kejadiannya sepele saja. Bahkan sama sekali di luar perhitungan saya—karena jelas, dengan mengambil sikap bersosialisasi yang benar-benar superdefensif tersebut, saya sudah banyak mengalkulasi apa saja gerangan yang bisa mereduksinya.
Suatu kali sepulang kerja, saya mampir ke sebuah kios yang menjual es jeruk. Sore hari itu sangat panas, jadi jelaslah minum es jeruk bakalan membuat kerongkongan segar. Ketika tengah duduk mengaso mendinginkan kepala dan pikiran, seorang ibu dengan dua orang anak, yang paling besar berumur sekitar empat tahun, dan yang satunya lagi masih kecil dalam gendongan, masuk dan duduk tepat di samping saya.
Wajah si anak yang paling besar, cemberut. Sementara di tangannya banyak sekali makanan yang bermacam-macam. Sambil memesan es jeruk, si ibu terus saja ngomong sama si anak, “Kalo Kakak tidak mau ngasih orang lain, nanti Kakak bakalan sendirian. Tidak ada temen. Kakak boleh punya banyak makanan, tapi Kakak tidak punya temen.”
Si anak, setelah diam sejenak, menjawab masih dengan wajah yang cemberut, “Ah, kemarin Nisa aja punya makanan, aku tidak dikasih.”
“Lho itu kan Nisa. Kakak kan tidak bukan Nisa. Kalo Kakak juga tidak mau berbagi, ngasih sama orang lain, apa bedanya Kakak sama Nisa? Sama dong?”
Percakapan ibu-anak itu, das!, begitu saja membuat saya lemas dan tertunduk, dan merasa terpukul berat. Entah apa hubungan dan pentingnya dengan sikap saya selama ini, tapi percakapan itu benar-benar membuat saya tiba-tiba sadar, saya sudah melakukan kesalahan besar.
Malamnya, saya tiba-tiba ingin sekali menelefon kedua sahabat saya dulu. Satu per satu saya mencoba menghubungi mereka. Sikap keduanya masih sama, tidak berubah, masih sinis dan dingin. Tapi saya tidak lagi merasa jatuh mental. Tapi saya kembali merasakan sakit hati, walau tidak terlalu. Tapi bagi saya, setelah berbulan-bulan saya berada dalam posisi yang datar tak merasakan apapun, rasa sakit begitu saya hayati.
Tengah malam, saya keluar rumah, memandangi langit hitam. Ternyata, dalam hidup kita memang akan selalu dihadapkan pada pilihan-pilihan. Tapi manakala pilihan itu menyudutkan kita dalam keadaan yang paling meruntuhkan dan menyakitkan, tidak selayaknya kita meninggalkan hiruk-pikuk dunia. Rasa sakit itu ternyata menjadi proses pembelajaraan bagi kita untuk jadi seseorang yang lebih baik lagi.
Sekarang, saya tengah mencoba memulai untuk membangun sandaran-sandaran yang lain. Biarlah saya kehilangan dua orang yang pernah jadi sahabat itu. Tapi ternyata, masih ada beberapa orang lain yang sesungguhnya bisa jadi teman sejati kita. []
Oleh : Dede S.S (Tnggal di Purwakarta, mempunyai tiga orang anak)