ADA satu tempe yang rasanya terus teringgal di lidah ini. Satu tempe yang tidak bisa kautemukan, kecuali dari hati yang tulus.
Sewaktu SD, saya melaratnya minta ampun. Inferior. Nggak percaya diri. Kumel. Dekil. Mungkin saya adalah gambaran nyata orang-orang miskin di zaman itu. Setiap berangkat sekolah, saya hanya dibekali duit 25 perak. Kadang nggak sama sekali. Pikiran saya, dengan duit segobang itu, memikirkan satu jajanan makanan yang harus bisa membuat saya bertahan setidaknya sampe dhuhur.
So, 25 perak itu dibelikanlah nasi uduk, kerupuk gendar, dan satu gorengan oncom di warung Ceu Empat. Sekali dalam seumur hidup, Anda harus mencoba semua makanan di lapak Ceu Empat, sebangsa ayam goreng tepung zaman now, ga ada apa-apanya sama makanan-makanan ini.
Celaka, uduk, gendar dan goreng oncom hanya bertahan sampe jam 9.30. Setelah itu, saya akan selalu merasa kelaparan. Saya inget, kadang saya berkeringat dingin saking laparnya. Di saat itu, teman satu kelas, akan mengajak saya ke rumahnya yang nggak jauh dari sekolah inpres kami. Rumah itu menggunakan bilik, namun sejak pertama kali menginjakkan kaki di sini, kita akan mengetahui, ada kehidupan di sana. Dan juga cinta yang besar.
Setelah usia 30 tahun, saya baru tahu, perasaan menginjakkan kaki di rumah Lukman seperti Harry Potter setiap kali mengunjungi The Burrow. Ayah Lukman seorang pekerja di Indorama, dan kakeknya, yang sangat ramah, adalah seorang penarik becak, namun mereka sangat terhormat. Oleh ibunya Lukman saya diraih, bersama Lukman, disediakan nasi dengan menu yang selalu sama: tempe bacem. Itulah tempe bacem yang sangat sakti, menambal kelaparan saya yang akut. Tempe bacem yang dihadirkan dengan kebaikan-kebaikan orang di dalam rumah itu.
Sejak itu, saya selalu mencintai tempe bacem.
Tiga tahun lalu, saat Lebaran, saya mengunjungi Lukman. Yang ada hanya ibunya. Lukman hari itu masuk kerja, sama seperti ayahnya, di Indorama. []