Oleh: Muhammad Arsyad Arifi
Darus-Sunnah International Institute for Hadith Sciences Jakarta, Aktivis Pemuda Muhammadiyah DIY
Seringkali kita bertanya kepada diri sendiri tentang tujuan apa yang kita lalui di hidup ini. Apakah ontologi kehidupan? Lalu apakah aksiologinya? Serta bagaimana epistemologinya? Banyak spekulasi jawaban yang bermunculan bersamaan dengan berlalunya sejarah. Hidup yang kita lalui adalah sebuah pertanyaan bagi yang tidak mengetahui hakikat kehidupan.
Apakah kehidupan itu? Apakah sebuah drama tragedi Nietzsche? atau sebuah penderitaan Sidharta Gautama? Atau misi penyelamatan suci Yesus Kristus? Apasih tujuan kehidupan itu? Apakah “Tathagatha” Buddha? atau kematian kosong Abraham Maslow? Lalu harus bagaimana cara mengarungi kehidupan itu? Apakah dengan aktif menyelaraskan kehidupan keluarga Konfusius? ataukah dengan asketikisme Ibnu Arabi?
Teringat dengan ucapan seorang Buya Hamka ulama besar yang lahir dari rahim Persyarikatan Muhammadiyah: “Kalau hidup sekedar hidup babi di hutan juga hidup, kalau bekerja sekedar bekerja kera pun bekerja.”
Hidupku penuh dengan renungan, kalau tak ada renungan bukanlah hidupku. Makalah kita harus merenungi apa yang terjadi dan yang akan terjadi dan sudah lama terjadi. Sebersit didalam suatu renunganku ketika ku beranjak menapaki hidup sebuah pertanyaan, “Siapakah kita? Darimana kita berasal? Dimana kita sekarang? Apa yang kita cari disini? Di sebuah Madrasah Mu’allimin Muhammadiyah Yogyakarta? Pertanyaan lebih singkatnya lagi apakah hakikat hidup di Mu’allimin?”
Pertanyaan itu terngiang-ngiang dalam pikiranku selama ini, mengapa aku ada disini? Di Mu’allimin. Berangkat dari pertanyaan yang sangat mendasar inilah pencarian diriku di Mu’allimin bermula.
Sepintas suatu ketika diriku melaksanakan shalat Dhuha di masjid jami’, mengalir lewat kalbu pernyataan, “aku sedang dipenjara oleh ruang, dan ruang yang kupikir raksasa ini dinamakan dunia.”
Dari-Mu air surut ini berasal dan dariku mengalir,
Selanjutnya, Oh Yang Maha Agung, lautanku tenang.
Kini, dari sumber yang sama darimana kesengsaraan ini
Engkau datangkan kepadaku, kirimkanlah pula kesenangan nan penuh kasih sayang
Oh Engkau yang penderitaannya membuat pria lemah bak wanita
Tunjukanlah kepadaku jalan yang satu itu
Jangan biarkan aku tersesat mengikuti sepuluh jalan !
Aku seperti seekor unta yang letih
Pelana kemauan bebas telah membuat punggungku terasa memar
Dilantak berat keranjang-keranjang yang sebentar
Merosot ke sini sini sebentar ke sini sana
Biarkan beban yang tak seimbang ini lepas
Supaya ku dapat memamah rerumputan di Padang Rahmat-Mu
Bagai sebutir debu di udara
Ratusan ribu tahun aku melayang tak tentu arah tanpa mauku
Jika aku telah melupakan waktu dan keadaan itu
Perpindahan dalam tidur kan menngingatkanku lagi pada kenangan
Pada malam hari aku kan melarikan diri dari palang
Cabang empat ini menuju padang penggembalaan ruh
Dari tidur sang perawat, kuhisap susu hari-hari laluku oh Tuan
Seluruh makhluk melarikan diri dari kemauan-kemauan bebas dan keberadaan-diri mereka
Menuju ke diri mereka yang tak sadar
Diatas diri sendiri mereka letakkan anggur kehinaan dan nyanyian
Supaya dapat bebas sesaat dari keadaan diri mereka
Semua tahu, keberadaan adalah sebuah perangkap
Sedangkan keinginan dan pikiran serta kenangan itu neraka
Sebersit Jalaluddin Rumi membisikiku dengan syair-Nya bahwasannya hidup beserta ruangnya adalah penjara bagiku. Dengan segala keterasingan aku berpijak dan dengannya aku beranjak untuk bergerak memerdekakan diriku.
“Tidaklah aku menciptakan jin dan manusia hanya untuk beribadah,” (Q.S. Adz-Dzariyat:56)
Dengan perasaan yang terpenjara dan bahagia aku mengasing terhadap dunia, menyendiri, membuat duniaku sendiri. Ibadah kupersembahkan kepada-Mu shalat berjamaah, membaca Al-Qur’an, dan segala shalat sunnah kulakukan hanya untukmu. Rindu sekali diriku pada Dzat pencipta alam ini, ingin rasanya diriku kembali kepada-Mu dengan segera saat ini juga.
Terucap dari lisan ku, “ Ya Allah pulangkan aku ke pangkuanmu, aku siap untuk bertemu denganmu.” Lama berselang diriku tak beranjak dari keterasingan, akan tetapi diriku merasa ada sesuatu yang urung sesuai dengan apa yang dikatakan diriku sebagai “manusia”.
Kebingungan diriku bermula dalam melihat nash-nash ilahi bahwasannya derajat ahli ilmu lebih tinggi daripada derajat ahli ibadah,
“Keutamaan orang yang berilmu dibandingkan dengan ahli ibadah, seperti keutamaan bulan purnama atas seluruh bintang-bintang. Sesungguhnya Ulama adalah pewaris para nabi, Sesungguhnya para nabi tidak mewariskan dinar dan dirham, (tetapi) mereka mewariskan ilmu, barangsiapa yang mampu mengambilnya, berarti dia telah mengambil kuntungan yang banyak.” (HR Abu Dawud-Tirmidzi)
Memasuki derajat ini aku resapi sebuah ayat yang sangat membekas dalam relung kalbu, “Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi dan pergantian siang dan malam sungguh merupakan tanda-tanda bagi orang yang berpikir.” (QS. Ali-Imran: 190)
Berpikir ? Mengapa berpikir ? mengapa berpikir lebih utama daripada terus beribadah mencapai kebahagaiaan dan menyatu dengan-Mu ? Seolah diriku telah mereguk anggur dengan lezatnya dan diriku diperintah untuk minum selainnya.
Teringat ucapan Rene Descartes seorang filosof Perancis, “Cogito ergo sum.”, aku berpikir maka aku ada. Apa yang dimaksud ada? Apa yang dimaksud tiada? Jika kita berpikir maka kita ada dan senantiasa hidup di dunia ini. Ketika stagnasi berpikir membiuat kita mandek dan tidak punya daya kreasi disitulah kematian kita. Karena kematian menurutnya adalah ketika manusia tidak berfungsi sebagaimana mestinya.
Ucapan Descartes, menusuk sedalam-dalamnya ke relung hatiku yang sedang asyik mereguk anggur kenikmatan. Tak pelak, aku merenung kembali dan perenunganku beranjak menapaki etape kedua.
Aku harus berpikir! Akan tetapi bagaimana caraku berpikir? Apakah diriku harus menghianati Allah SWT yang telah memberi kenikmatan tiada tara dan mengikuti Descartes yang berpikir bebas sebebas-bebasnya? Aku berpikir tentang berpikir, tentang bagaimana cara berpikir. Berpikir membutuhkan sumber, sedangkan sumber harus terjaga validitasnya. Maka dari aku harus menuntut ilmu, kalau seperti itu, ilmu apa yang aku tuntut? Apakah selama ini aku tidak menuntut ilmu dengan bersekolah dari TK hingga kini?
Einstein pernah mengatakan, “ Ilmu tanpa agama buta, dan agama tanpa ilmu lumpuh.” Sebagai seorang Yahudi taat sekaliber Einstein ucapannya perlu dipertimbangkan. Jadi ilmu harus disandarkan kepada sesuatu yang haq.
“Kebenaran itu hanya dari tuhanmu, maka janganlah kamu sekalian beragu (dengan kebenaran tuhanmu)”
(QS. Al-Baqarah : 147)
Akan tetapi, semenjak kemunculan filsafat humanistik pada era J.J. Rousseau, Abraham Maslow, Carl R. Rogers, dan Combs, kebenaran diukur oleh konsensus sejumlah manusia. Para filsuf peripatik sebelumnya masih menghargai tuhan walaupun tuhan yang dianggap mereka dengan kita berbeda, sepertihalnya Tuhan Aristoteles yang dinamakan akal murni merupakan penggerak yang tidak digerakkan. Puncak dari sekularisasi tuhan adalah ungkapan Nietszche yang menyatakan bahwa tuhan telah mati ! Sebuah pernyataan yang mencengangkan pada saat itu. Setelah sekularisasi besar-besaran yang dilakukan lalu menghilangkan nilai kebenaran mutlak yang bisa disebut tuhan, standar nilai terjun bebas menjadi relativisme nilai.
Filsafat dan sains menggantikan peran privat agama, merongrong, serta membuat kering kehidupan. Hidup menjadi tak jelas arahnya, karena hidup merupakan spekulasi. Orang yang muda bersenang-senang ingin mencari kebahagiaan, karena relativisme nilai akhirnya mendekat ke seks, narkoba, seni, sains, clubbing dan budaya hedonistik lainnya.
Sedangkan orang yang lebih dewasa sudah mencari pekerjaan dan mempunyai anak yang berkelakuan sama dengan dirinya terdahulu. Pekerjaan yang dilakukan terasa sia-sia karena hanya dilakukan untuk hura-hura. Pekerjaan yang dilakukan juga tanpa arah dan tanpa integritas karena relativisme nilai. Selepas ketidakjelasan pekerjaan yang dilakukian anaknya membesar dan orang itu menjadi tua. Orang tua berharap orang yang lebih muda bisa memperbaiki hidup tidak seperti dirinya. Penyesalan ketika tua muncul karena ketidak jelasan hidupnya. Tanpa menunggu lama maut menjemput dan itulah yang disebut drama tragedi kehidupan Nietszche.
Maka dari itu jelaslah rasanya, kalau kehidupan ini jangan dilepaskan dari agama, Allah SWT berfirman :
“Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai, dan ingatlah akan ni`mat Allah kepadamu ketika kamu dahulu (masa Jahiliyah) bermusuh musuhan, maka Allah mempersatukan hatimu, lalu menjadilah kamu karena ni`mat Allah orang-orang yang bersaudara; dan kamu telah berada di tepi jurang neraka, lalu Allah menyelamatkan kamu daripadanya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu, agar kamu mendapat petunjuk.” (Q.S. Ali-Imran :103)
Di dunia ini tidak ada sesuatu yang baru, yang ada hanya pengulangan kejadian yang disebut kausalitas. Pada ayat diatas merupakan nasehat dari Tuhan yang muncul menuntun kausalitas kehidupan. Pada dasarnya drama tragedi yang telah menjiwai peradaban barat telah terjadi pada dahulu kala. Allah SWT telah memberikan rumus kausal yang tepat dalam mengarungi kehidupan. Seks, narkoba, seni, sains, clubbing dan budaya hedonistik tidak bisa menggantikan kebahagiaan dan ketenangan yang ada dalam agama.
Dengan bangunan dan yang Islami, aku berpikir dalam mencari ilmu di Mu’allimin ini. Berikhtiar menjadi manusia yang sejati, yakni manusia sesuai dengan definisi manusia menurut Allah SWT bersama tujuan penciptaannya. Muhammad Naquib Al-Attas mengatakan,
“The man of Islam is he whose reason and language are no longer controlled by magic, mythology, animism, his own national and cultural traditions and secularism. He is liberated from both the magical and the secular world”
“Manusia dalam Islam adalah yang tujuan dan bahasanya tidak dikendalikan oleh sihir, mitos, animisme, dan tradisi kultural dan nasionalnya, dan juga sekularisme. Dia terbebas dari dunia sekular maupun dunia magis.”
Pada suatu hari, dalam perenunganku yang lain di masjid Jami’ dalam sujud Dhuhaku, seolah diriku menemukan ilham dari-Nya. Hidup itu hanya untuk beribadah kepada-Nya, sedangkan ibadah itu ada dua jenis. Pertama, ibadah mahdhah yang telah pasti dan terikat waktu dan ketentuannya. Sedangkan ibadah yang kedua adalah ibadah ghairu mahdhah yaitu segala amalan baik yang kita niatkan untuk beribadah kepada Allah SWT. Pada saat inilah aku memasuki etape hidupku yang ketiga.
Etape dimana aku menyadari bahwa yang dimaksud ibadah yang dimaksudkan pada surat Adz-dzariyat ayat : 56 adalah korelasi antara kedua ibadah tersebut. Didalam Al-Qur’an kata tentang ilmu derivasinya mencapai sekitar 780 kali. Alangkah banyak pengulangan tersebut dan lebih utama lagi perintah pertama yang turun bukanlah perintah untuk shalat, zakat, puasa, maupun haji melainkan tentang ilmu,
“Bacalah dengan nama tuhanmu yang menciptakan, Yakni yang menciptakan manusia dari segumpal darah, Bacalah, dan Tuhanmulah Yang Maha Pemurah, Yang mengajar (manusia) dengan perantaran kalam, Dia mengajar kepada manusia apa yang tidak diketahuinya.” (Al-Alaq:1-5)
Ketika Malaikat Jibril bersama Nabi SAW di Gua Hira, dengan suasana mencekam Jibril mengucapkan,”Iqra !” hingga tiga kali, karena apa ? Karena Rasulullah SAW seorang ‘ummi atau buta huruf. Maka dari itu perintah membaca untuk menuntut ilmu sangat mulia dalam Islam.
Tak hanya Islam tetapi awal penciptaan manusia saja, Nabi Adam AS langsung diajari nama-nama benda bukan tata cara beribadah kepada Allah SWT,
“Dan Dia mengajarkan kepada Adam nama-nama itu semuanya, kemudian Dia mengemukakan mereka itu kepada para malaikat lalu Dia berfirman: ” Beritahukanlah kepada-Ku nama-nama mereka ini jika kamu memang benar.” Mereka berkata: “Mahasuci Engkau, kami tidak memiliki pengetahuan kecuali apa yang telah Engkau ajarkan kepada kami, sesungguhnya Engkau benar-benar Maha Mengetahui, Mahabijaksana.” (Al-Baqarah :32-33)
Setelah itu barulah Adam disuruh untuk beribadah yakni dengan ketaatannya untuk menjauhi dan tidak memakan buah khuldi, karena hal itu merupakan sebuah kedzaliman kepada Allah SWT.
Inilah hakikat manusia menurut Murtadha Muthahhari,seorang reformis yang ikut mendirikan Republik Islam Iran bersama Khomeini. Dikatakan bahwasannya perbedaan antara manusia dengan makhluk lain terletak pada Iman dan Ilmu.
Ketika berbicara iman sudah jelaslah kumengerti bagaiman iman itu menurut nash-nash yang kupelajari. Akan tetapi terkadang dalam memandang ilmu diriku sering gusar mengapa orang banyak mengelompokkan ilmu menjadi dua, yakni ilmu umum dan ilmu agama. Kegusaran ini yang berusaha aku cari jawabannya, maka dalam lingkaran gusar diriku memasuki etape hidup yang keempat.
Setelah sekian lama aku menuntut ilmu dalam pelbagai disiplinnya kuberjumpa kembali dengan Syed Muhammad Naquib Al-Attas, seorang ulama kharismatik dari negeri Jiran, melalui bukunya “Risalah Untuk Kaum Muslimin” serta “Islam and Secularism”. Menurutnya ilmu itu merupakan sesuatu yang integral dengan agama sebelum terjadinya sekularisasi besar-besaran yang merupakan penetrasi peradaban barat terhadap Islam. Sebutlah saja ini gerakan reconquista (balas dendam) dalam artian luas kepada peradaban Islam. Maka dari itu perlulah kita kembali ke khazanah kebudayaan kita.
Akan tetapi yang lebih menarik, beliau menjelaskan bahwasannya ilmu itu terbagi menjadi dua, pertama adalah ilmu sebagai pengenalan. Apa maksudnya ? terfikir dalam olehku mencari dan menyelami alam pemikiran Al-Attas. Yang dimaksudkan ilmu adalah pengenalan ialah sampainya jiwa pada makna. Yakni dimanakala jiwa seseorang telah mengetahui darimana ia berasal, dimana posisi dia sekarang, akan kemana ia hidup, apa tujuan ia hidup, dan langkah apa yang ia lakukan untuk mencapai tujuan hidup tersebut. Inilah pengetahuan primer yang harus dimiliki oleh setiap muslim. Mengapa muslim? Karena pertanyaan-pertanyaan tersebut hanya terdapat dalam Dinul Islam. Sedangkan yang kedua adalah pengetahuan.
Dijelaskan bahwasannya pengetahuan itu ialah sampainya makna pada jiwa. Dalam artian ada suatu “hal” dari luar diri kita yang masuk dan merasuk mencapai diri kita. Disebut makna karena dalam mengarungi samudera kehidupan kita membutuhkan sasuatu untuk menyingkap rahasia dibalik kosmos. Yang dinamakan rahasia itulah yang dinamakan ketidaktahuan.
Kupejamkan mataku lalu kembali merenungi pertanyaan yang muncul dari jiwa yang bersemayam dalam diriku. Aku bertanya, apakah diriku sudah mempunyai ilmu yang wajib kuketahui. Siapa diriku? Dengan meraba-raba aku menjawab,
“Aku adalah hambamu ya Allah.” Renunganku kembali mendalam. Darimanakah diriku, setitik kelamun menjawab, “Dari-Mu Ya Rabbil Izzati.” Dimanakah diriku, kujawab, ”Aku berada di dunia.” Untuk apa kuberada disini, kernyitan dahi tanda berfikir menjawab, “Diriku diciptakan oleh Allah untuk hanya beribadah kepada-Nya dan menjadi khalifah, menjadi wakil-Nya di muka bumi untuk menebarkan rahmat-Nya.” Kemana tujuan hidupku ini? Hela nafasku menjawab,”Untuk kembali kepada-Mu ya Malik” Apa yang kucari di dunia ini ? Lama menunggu dalam pencarian terakhir hakikat kehidupanku, akhirnya terjawab dengan suatu ayat,
“Wahai jiwa-jiwa yang tenang, kembalilah kepada tuhanmu dengan puas dan diridhai (oleh tuhanmu), masuklah kedalam golongan hamba-hamba-Ku, masuklah kedalam surgaku.”
(QS. Al-Fajr : 27-30). []