Oleh: Daud Farma
Mahasiswa Universitas Al-Azhar Kairo-Mesir
EROPA boleh punya Romeo dan Juliet, dari Afrika Laila dan Majnun, dan dari Asia juga tidak kalah, ada; Zainudin dan Hayati. Tepatnya dari Indonesia pulau Sumatera. Romeo dan Juliet memang kisah cinta yang menyedihkan, diakhiri dengan kematian. Tapi yang tak kalah menyentuh jiwa adalah kisah cinta yang dilalui dengan kesucian, seperti karya Buya Hamka. Cinta Zainudin pada Hayati begitu besar! Tapi penulis memberitahu agar makhluk tidak kalah dengan cinta pada sang Khaliq, Allah Swt. Qois dan Laila, Zainudin dan Hayati, adalah kisah cinta yang bernasib tidak beruntung. Saling mencintai, namun tak bersemi. Penuh dengan cobaan, dan mereka tidak mampu menaklukkannya. Kenapa? Karena “takdir” berkata lain.
Novel ini ditulis dengan tutur bahasa yang indah, dengan gaya uslub khas MinangKabau, khas melayu. Kehalusan bahasanya berasa berada di era tahun tigapuluhan, nampak betul orang dulu itu bertutur kata nan indah. Ditulis dengan jiwa tentu masuk juga ke dalam jiwa pembaca. Dari membaca isi cerita, terasa mulia akhlak penulisnya.
Novelnya nyaris sempurna. Namun masih banyak kudapati typo. Ada yang dapat kuterka bacaannya dan ada pula yang tidak dapat kutebak, tapi rata-rata tertebak olehku. Husnuzhonku adalah mungkin ini cetakan lama yang di-pdf-kan, atau mungkin sengaja tidak diubah sedikitpun oleh tim penerbit demi menghargai karya ulama, tapi aku memilih agar editor mengeditnya saja. Supaya pembaca lebih mudah tahu kata apa yang ditulis.
BACA JUGA:Â Memperbaiki Akhlak, Bagaimana?
Di dalam ceritanya, terlihat betul Hayati memilih dan mengikuti nasibnya yang malang saat mengambil keputusan untuk tidak menikah dengan Zainudin. Tetapi dia telah melanggar sumpahnya. Karena sumpahnya itulah penulis hendak membuat Hayati menyesalinya. Bukankah penulis adalah pembuat “takdir” di dalam ceritanya? Kalaulah suaminya Aziz tidak jatuh miskin, maka tidaklah Hayati mengingat Zainudin lagi, dia sudah melupakan Zainudin. Hayati telah mencintai suaminya. Lantaran karena tak punya harta itulah yang mempertemukan Zainudin dan Hayati kembali, malah dalam satu rumah pula. Perasaan cinta Hayati pada Zainudin pun mulai tumbuh lagi. Tapi; pantang pisang berbuah dua kali, pantang pemuda makan sisa.” Apalagi janji Hayati dulu itu, tak dapat dimaafkan! Zainudin.
Yang selalu membuat sedih itu adalah saat kedua tokohnya meninggal, itulah yang disebut sad ending. Kalaulah Hayati selamat dari karamnya kapal Van Der Wijck itu, lalu menikah dan hidup bersama, tentu ini jadi happy ending. Meskipun di awal penuh dengan penderitaan. Tapi bukahkan sad endinglah yang terkenang oleh masa? Tak lekang dari zaman? Tak pudar dari ingatan? Dan semua kesedihan itu penulis tak lupa mengingatkan bahwa sebesar apapun kecintaan hamba selain daripada sang Pencipta, semuanya akan sirna, tak lupa mengingatkan kematian.
BACA JUGA:Â Ciri Akhlak Muslim
Lama aku menunggu sembari membaca menemukan kata; kapan ya ada kata kapal Van Der Wijck di dalam buku ini? Oh ternyata di akhir-akhir sekali.
Yang sempat mengganggu konsentrasiku saat membacanya adalah; aku selalu terbayang filmnya. Jadi tidak bisa mengkhayal bebas dan luas. Ah salahku kenapa menonton filmya terlebih dulu daripada membacanya. Agaknya kubaca sebelum filmya diagarap oleh sutradara. Tapi kabar baiknya jugalah aku malah ingin sekali lagi menonton filmya setelah tadi selesai membaca novelnya.
Ternyata Zainudin juga meninggal dunia karena sakitnya, separuh jiwanya telah dibawa Hayati ke dalam kubur. Benar-benar menyedihkan. Patut novel ini adalah novel religius yang melegenda. Sayangnya sudah sejak kecil kudengar ceritanya namun baru hari ini sempat kubaca, dan 140 halaman pdf novelnya kuhabiskan dalam 14 jam
Lamanya. Semoga kisah cintamu adalah kisah cinta yang beruntung, Kawan! []
Kirim RENUNGAN Anda lewat imel ke: islampos@gmail.com, paling banyak dua (2) halaman MS Word. Sertakan biodata singkat dan foto diri.