Oleh: Robi Afrizan Saputra
“Dewasa, Cinta dan Bahagia”
MASIH ingatkah kita, beberapa tahun yang lalu, ibu dengan segenap tenaga dan perjuangannya mengandung kita? Membawa kita ke mana pun ia pergi dan berada. Sembilan bulan lamanya ia ikhlas dan tabah menjaga kita sang buah hatinya.
Masih ingatkah kita, saat bayi, kita terjaga dan merengek di gelapnya malam, ibu bangun dan ayah pun terjaga. Demi kita, demi si buah hatinya. Ia gendong dan bujuk kita agar diam dan kembali tidur dalam lelapnya malam.
Dan ingatkah kita, saat mulai beranjak sekolah TK, kita merengek dan meminta ingin dibelikan mainan ini dan itu, padahal ayah sedang tak punya uang banyak. Ia rela meminjam dan berusaha demi membelikan mainan yang kita pinta, demi bahagianya sang anak yang dicinta.
Ingatkah kita, saat masuk Sekolah Dasar (SD), ibu antarkan kita hingga pintu kelas. Lalu ia berbisik dan mencium kita, “Nak, sekolah yang rajin agar kelak kau menjadi orang berhasil.” Kita pun mengangguk lugu dan seolah paham dengan makna yang disampaikan ibu.
Lalu ingatkah kita, saat diri ini telah lulus SMA dan melanjutkan kuliah. Betapa banyak biaya yang dibutuhkan untuk itu, betapa berat (sebenarnya) ayah dan ibu melepas kita ke negeri orang, negeri rantau. Namun banyaknya biaya, ayah usahakan mendapatinya. Entah itu meminjam atau lembur di pekerjaannya.
Dan sekarang, saat diri ini mulai mencapai puncak keberhasilan, masih ingatkah kita pengorbanan dan perjuangan kedua orang tua dulunya? Atau kita seolah-olah lupa dan berpura-pura keberhasilan hari ini dicapai karena perjuangan diri sendiri, tanpa sadar bahwa dulu ada peran besar ayah dan ibu yang menyertai kita.
Sejenak, marilah kita merenung tentang perjuangan, tentang ayah dan ibu yang kian hari kian menua. []