Oleh: Newisha Alifa
“Pak, sudah jangan dicuci piringnya. Nanti Neng aja yang nyuci!” aku setengah berteriak dari ruang keluarga saat mendengar gemerisik suara air dan kutahu ada Bapak di sana.
Bapak tak menyahut.
Aku menengok ke kamar mandi. Ya mencuci piring di keluargaku tidak dilakukan di wastafel. Pernah kusarankan agar di rumah ini dibuatkan wastafel, tapi menurut Mamah nggak perlu, bikin becek saja katanya.
Kudapati Bapak tengah berjongkok, serius sekali mencuci satu-dua piring.
BACA JUGA:Â Bapak Si Miskin, Sang Pelopor Ternama Islam
Aku mengulangi kata-kata tadi. Kali ini tanpa berteriak karena jarak kami sudah tak sejauh tadi.
“Pak, udah nggak usah dikerjain. Bapak tinggal duduk manis aja nonton TV kenapa sih?”
Tiba-tiba Mamah datang ke arah kami, “Kenapa sih ini rame-rame? Udah sih, Pak. Nggak usah dikerjain. Ada Mamah sama anak-anak.”
Bapak tetap bergeming. Seolah-olah suaraku dan Mamah itu sungguh tak terdengar olehnya.
“Astaghfirullah!” aku mendengus kesal. Kumatikan sakelar lampu kamar mandi.
Gantian Bapak berteriak, “Nyalain donk! Kamu tuh!”
“Nggak mau. Bapak saja susah dikasih tahunya,” jawabku lagi.
Tapi karena kasihan, kunyalakan juga lampunya.
Ini bukan kali pertama atau kesepuluh mungkin, Bapak bersikeras mau mencuci piring. Padahal jelas-jelas anak dan istrinya juga kerap mencuci.
Aku dan Mamah sering merasa berebutan kerjaan rumah dengan Bapak. Karena Bapak orangnya nggak sabaran.
Cucian piring baru satu-dua di kamar mandi saja, harus segera dieksekusi. Capek hati rasanya.
Masalah lainnya adalah, aku dan Mamah menyadari, hasil nyuci Bapak yang sering belum bersih. Apalagi kalau habis makan ikan dan telur. Tercium aroma amis.
Bapak beralibi nggak betah ngelihat kerjaan rumah dianggurin lama-lama. Tapi suatu hari beliau pernah keceplosan. Bahwa beliau suka mencuci piring karena pernah nonton program TV bertema kesehatan. Bahwa mencuci piring itu baik untuk kesehatan. Bisa bikin happy, relaks.
Entah acara apa yang sempat Bapak tonton itu.
Bapak suka memanggil-manggil anak istrinya kalau sedang menonton TV yang menurutnya bagus, dan pantas ditonton anggota keluarga yang lain.
“Mah, Mah! Sini buruan tuh. Mantap ikannya. Bapak ‘kabeki’.”
Aku tak tahu apa arti kabeki sebenarnya. Tapi berkali-kali kudengar Bapak menyebutkan kata itu, sepertinya artinya adalah ‘kesukaan’ atau ‘kepinginan’.
Kadang Mamah yang lagi menyetrika di ruang lain pun mengeluh, “Bapak berisik banget sih, Pak. Nonton, nonton aja kenapa sih?”
Tapi Bapak tetap menceracau. Seperti sengaja membuat istrinya jengkel. Hal yang sama, beliau lakukan pada aku dan adik.
Bapak juga suka iseng mondar-mandir depan TV, ketika kami bertiga sedang asik nonton.
Puas sekali dia rasanya kalau kami kompak berteriak, “Bapaaaakk. Awas ngalangin! Iseng banget sih!”
Seketika Bapak senyum-senyum jahil.
Aku mencintai laki-laki itu dengan sangat.
Sesering apa pun tingkahnya mengesalkan, membuat gregetan, aku tetap mencintainya.
Jika aku mulai kehilangan kesabaran menghadapi ulah Bapak yang semakin seperti anak kecil, aku mencoba memanggil ingatanku dua tahun silam. Ketika dalam kurun waktu empat bulan, dua kali Bapak terserang stroke.
Aku, Ade dan Mamah benar-benar khawatir akan kondisi Bapak saat itu. Beliau bahkan sempat tak bisa menggerakkan anggota badannya sama sekali.
Namun atas izin Allah, diiringi ikhtiar, dukungan doa dari kami sekeluarga, Alhamdulillah Bapak berangsur pulih. Meski harus melakukan pengecekan rutin setiap bulannya.
BACA JUGA:Â Bapak Bisa Beli Motor tapi Tak Bisa Beli Helm untuk Anak?
Menurutku, Mamah adalah sosok yang paling berperan dalam proses sembuhnya Bapak.
Sungguh, tanpa banyak teori, Mamah telah menjadi tauladan, bagaimana seharusnya istri bersikap ketika suaminya tengah tak berdaya.
Mamah begitu sabar mengurusi semua keperluan Bapak di Rumah Sakit. Kalian tentu sudah tahu bagaimana rumitnya pelayanan pasien BPJS kan?
Selama dua tahun lebih. Seingatku, tak sedikit pun Mamah mengeluh.
Paling yang Mamah keluhkan hanya tingkah laku Bapak yang susah diberi tahu dan nggak sabaran. Bukan proses yang harus jalani untuk mengurus Bapak di RS.
Suatu ketika Mamah pernah bercerita, ada seorang ibu yang sampai menangis di ruang tunggu karena pusing dan lelah mengurusi semua birokrasi RS.
Mamah hanya berkomentar, “Ya jalani aja. Emang begitu prosesnya. Jangan dibawa stres. Nanti kita yang sehat jadi ikut sakit juga.”
Aku juga sangat mencintai wanita hebat ini.
Hei, kalian jangan sekejap mengira aku semanis dan se-shalihah itu! Aku belum sebaik yang kalian pikirkan.
Menurutku, anak mencintai orangtua adalah sebuah kewajaran dan keharusan.
Itu mengapa, aku bisa seketika emosi kalau menonton sinetron atau FTV tentang anak yang durhaka pada orangtuanya. Minta ini itulah, padahal ibu bapaknya sudah mati-matian membesarkannya.
Contohnya, semalam. Ingin kutimpuk wajah gadis durhaka yang tega menjual ginjal ibunya demi untuk membeli sebuah gadget. Geblek! Untung saja aku sadar kalau kutimpuk, yang ada TV ku yang pecah! Dan gadis durhaka itu tentu akan tetap baik-baik saja.
Bapak adalah imam yang mengantarkan istri dan anak-anaknya untuk mengenal Islam lebih dalam. Aku berhijab pun, awalnya hanya untuk memenuhi janjiku pada Bapak. Bukan karena aku sadar, itu adalah kewajiban seorang muslimah yang sudah baligh.
Aku mencoba memahami kondisi Bapak di usianya yang kian senja.
Sungguh lebih baik kami sekeluarga dibuat gemas dengan tingkah polahnya yang mirip bocah, ketimbang harus melihatnya tak berdaya seperti dua tahun lalu.
Awalnya aku sangat kesulitan. Mudah kesal menyikapinya. Tapi Alhamdulillah, lama-kelamaan Allah memberiku pemahaman …
“Orangtuamu tengah bersikap sebagaimana dulu kau bersikap saat kecil.”
BACA JUGA:Â Terimakasih Bapak
Hanya bedanya, ketika orangtua menyikapi anak-anaknya waktu kecil, orangtua sadar, “Anakku masih kecil. Ia tak mengerti. Aku yang harus mengalah.”
Sementara ketika seorang anak di usia dewasa menghadapi orangtuanya yang semakin renta. Anak itu tak sadar, bahwa yang dihadapinya bukan lagi ‘orang dewasa’ dengan segala kondisi primanya. Tapi orangtua yang prilakunya memang seperti anak kecil.
Sungguh kurekam dengan kuat, kata-kata Ustadz Salim A. Fillah beberapa bulan lalu di salah satu kajian.
“Orangtua itu ibarat mushaf. Semakin usang, ia semakin berharga. Mushaf seusang apa pun, apa boleh kita membuangnya? Tidak kan? Kita harus tetap memuliakannya. Begitu pula dengan sikap kita pada orangtua.”
Ada banyak buku dan seminar parenting dibuat. Tapi belum pernah saya temukan ada buku atau seminar khusus menyikapi orangtua di usia senjanya.
Ilmu itu cukup dijelaskan dalam aturan agama kita. Untuk kita pahami dan kita praktikkan dalam kehidupab sehari-hari.
Aku sangat bersyukur. Allah masih izinkanku melihat dua sumber surgaku saat ini; Mamah dan Bapak.
Semoga aku dan adik bisa memuliakan keduanya semampu kami.
Rabbighfirli…
Wali wali dayya
Warhamhuma
Kamaa Robbayani Shoghiro.
Aamiin Yaa Robbal Alamiin. []